Elvira Suprianto, cinta pertama yang kembali, mengambil segala yang dia miliki, bahkan perhatian anak yang dia besarkan dengan sepenuh hati.
Lima tahun di dalam perjanjian yang dingin, di mana setiap pengorbanan diabaikan, setiap harapan hancur.
Sampai pada hari dia memutuskan untuk bebas-tetapi apakah kebebasan itu datang dengan harga yang dia mampu bayar?
Di tengah cinta, pengkhianatan, dan impian yang tercuri, Aruna harus memilih: tetap bertahan dalam bayangan, atau bangkit dan merebut hidupnya kembali.
Bab 1
Aruna POV:
"Aku ingin membatalkan kontrak ini," kataku, suaraku datar, tak berekspresi. Itu bukan permintaan. Itu adalah pernyataan.
Gavin Nugraha mengangkat alisnya, tatapan dinginnya menyapu wajahku. Dia selalu seperti itu. Dingin dan jauh. "Apa yang kau bicarakan, Aruna? Kau tahu kita tidak bisa."
Aku tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai mataku. "Mengapa tidak? Bukankah sudah jelas ini hanya kesepakatan bisnis sejak awal? Kita bukan suami-istri sungguhan. Kita hanya dua orang yang terikat oleh perjanjian."
Dia menyeringai, senyum sinis yang selalu membuatku merasa kecil. "Dan bagaimana dengan Arkana? Dia memanggilmu 'Mama'. Kau pikir dia akan mengerti?"
"Arkana adalah bagian dari kontrak itu," jawabku, tanpa ragu. "Dia adalah anak yang kubesarkan, ya. Tapi dia bukan anakku. Dan sekarang, dia sudah punya 'Mama' baru, bukan?"
Elvira Suprianto. Nama itu seperti duri di tenggorokanku. Cinta pertama Gavin yang kembali. Wanita yang dulu meninggalkannya, tapi kini disambut dengan tangan terbuka. Gavin dan Arkana begitu cepat berpaling dariku. Setiap senyum, setiap sentuhan, setiap kata-kata manis yang dulu Gavin berikan padaku kini ia berikan pada Elvira. Aku dulu berpikir aku bisa mengisi kekosongan di hatinya. Aku dulu berpikir cinta tak bersyaratku bisa mengubah segalanya. Tapi aku salah. Aku selalu salah.
Aku ingat semua pengorbananku. Mimpi-mimpi yang kukubur dalam-dalam untuk menjadi pewangi, untuk memiliki karir yang cemerlang. Aku mengabdikan diri pada rumah ini, pada Gavin, dan pada Arkana. Aku mencintai Arkana seperti anakku sendiri, mengajarinya berjalan, membaca, menemaninya saat demam tinggi. Tapi semua itu dibalas dengan ketidakpedulian. Ketidakpedulian Gavin dan bahkan anak yang kubesarkan dengan sepenuh hati.
Gavin menghela napas panjang. "Baiklah. Kalau itu yang kau inginkan. Kontrak ini akan berakhir seminggu lagi. Setelah itu, kau bebas."
"Bagus," balasku, meraih pulpen dan menandatangani dokumen yang sudah tersedia di meja. Tanda tanganku tak bergetar sama sekali. Ini adalah pembebasanku.
Aku bangkit dari kursi, tanpa menoleh lagi padanya, dan berjalan keluar dari ruangan itu. Langkahku terasa ringan, seolah beban berton-ton telah terangkat dari bahuku. Aku menuruni tangga, jantungku berdebar kencang, bukan karena sakit, tapi karena kebebasan yang terasa nyata. Aku mengabaikan tatapan para pelayan yang kebingungan melihatku dengan tas tangan di tangan. Aku membuka pintu utama, merasakan angin sore menerpa wajahku.
Saat mobilku melaju, aku melihat ponselku bergetar. Sebuah notifikasi dari media sosial. Sebuah foto yang diunggah oleh Elvira. Di sana, Elvira berdiri di samping Gavin dan Arkana, senyumnya merekah, tangannya melingkar mesra di pinggang Gavin. Arkana, putra Gavin, anak yang kucintai seperti darah dagingku sendiri, tersenyum lebar sambil memegang tangan Elvira.
Dan yang paling menyakitkan adalah, Elvira mengenakan gaun yang kubeli khusus untuk acara ulang tahun Arkana. Gaun yang seharusnya kupakai. Gaun yang kubayangkan akan membuatku merasa seperti bagian dari keluarga mereka. Gaun itu pas di tubuh Elvira, menonjolkan setiap lekuk tubuhnya yang sempurna.
Mereka ada di pesta ulang tahun Arkana. Pesta yang seharusnya kuatur, pesta yang kudekorasi dengan tangan sendiri, dengan tema kesukaan Arkana. Tapi kini, Elvira yang berdiri di sana, menggantikan posisiku. Gavin menatap Elvira dengan tatapan memuja, tatapan yang tak pernah kuterima selama lima tahun pernikahan kami. Arkana tertawa riang, memanggil Elvira "Tante Elvira yang glamor."
Ini bukan pertama kalinya. Insiden mainan robot itu masih terasa nyeri. Aku mengantre lima jam demi membelikan robot edisi terbatas untuk ulang tahun Arkana. Tapi Elvira datang membawa drone terbaru. Arkana dengan kasar melempar robot pemberianku dan berteriak, "Hadiah Mama Aruna norak! Aku lebih suka hadiah Tante Elvira!" Gavin diam saja, tidak membelaku. Aku merasa hancur.
Lalu insiden alergi Arkana. Gavin tahu Arkana memiliki asma akut dan alergi bulu binatang. Tapi Elvira, dengan senyum manisnya, membawa kucing Persia lucu untuk Arkana bermain. Ketika aku melarang, Gavin malah menatapku tajam. "Jangan terlalu kaku, Aruna! Elvira cuma ingin Arkana senang. Kamu cemburu saja." Malamnya, Arkana sesak napas. Tapi Gavin dan Elvira malah pergi makan malam, meninggalkanku sendirian merawat Arkana di UGD. Aku merasa seperti mayat hidup.
Melihat mereka bertiga, aku merasa seperti orang asing yang mengintip ke dalam kehidupan orang lain. Lima tahun. Lima tahun aku hidup dalam bayangan ini. Segalanya bermula dari kebangkrutan ayahku. Bisnisnya hancur karena penipuan, meninggalkan kami terlilit utang yang tak terbayarkan. Di saat yang sama, Gavin Nugraha, pewaris tunggal Nugraha Group, sedang hancur. Elvira, cinta pertamanya, meninggalkannya demi karier model internasional yang lebih menjanjikan. Gavin yang dingin dan arogan berubah menjadi pemabuk, menghancurkan diri sendiri. Citranya berantakan di mata kakeknya yang konservatif, mengancam posisinya sebagai CEO.
Kakek Nugraha, seorang pria tua yang cerdik, melihatku. Seorang mahasiswa kimia berbakat dengan indra penciuman yang tajam, yang terpaksa berhenti kuliah karena masalah keuangan keluarga. Aku adalah pilihan yang sempurna. Lembut, patuh, dan putus asa.
"Menikahlah dengan Gavin," kata Kakek Nugraha. "Jadilah ibu sambung yang sempurna bagi Arkana. Bantu Gavin mengamankan posisinya. Sebagai imbalannya, semua utang ayahmu akan terbayar, dan keluargamu akan aman."
Aku tak punya pilihan. Ayahku, yang selalu kucintai, membutuhkan operasi mahal yang tak mampu kami biayai. Aku mengubur impianku menjadi seorang pembuat parfum. Aku menyetujui kontrak itu, lima tahun. Lima tahun untuk mengabdikan diri pada keluarga ini.
Gavin pada awalnya acuh tak acuh. Dia melihatku sebagai formalitas, sebuah bayangan yang mengisi kekosongan tempat Elvira pernah berada. Kami menikah secara sederhana, tanpa perayaan, tanpa cinta. Dia tidak pernah memintaku untuk mendaftarkan pernikahan kami secara resmi, dan aku, karena kesedihan dan kebodohan, tidak pernah mendesaknya. Aku hanya ingin memenuhi kontrak, menyelamatkan keluargaku.
Arkana, yang ibunya meninggal saat melahirkan, awalnya sangat dekat denganku. Aku membesarkannya sejak bayi, melimpahinya dengan kasih sayang yang tulus. Aku mengajarinya segala hal, dari cara memegang sendok hingga cara membaca cerita pengantar tidur. Dia memanggilku 'Mama' dengan suara riang, dan setiap kali ia melakukannya, hatiku terasa hangat. Aku jatuh cinta padanya, pada Gavin, pada gagasan tentang keluarga ini.
Tapi itu semua adalah fantasi. Gavin selalu menganggap keberadaanku di rumah adalah hal yang wajar dan "sudah semestinya." Dia terjebak dalam nostalgia masa lalu dengan Elvira, buta terhadap ketulusan yang ada di depan matanya. Dia tidak pernah melihatku. Dia hanya melihat bayangan Elvira.
Malam itu, di dalam mobil yang melaju di jalan tol yang basah kuyup karena hujan deras, aku duduk di belakang, di antara Gavin dan Elvira. Arkana duduk di pangkuan Elvira. Sebuah truk tiba-tiba memotong jalur. Gavin membanting setir. Ban mobil selip.
"Aaaarrrgh!" teriak Elvira, memeluk Arkana erat.
Mobil kami menabrak pembatas jalan. Dinding baja itu menembus sisi penumpang, tepat di tempatku duduk. Aku merasakan benturan keras, tubuhku terhempas, kepalaku membentur jendela. Kaca pecah berhamburan.
"Gavin!" teriak Elvira histeris. "Arkana!"
Gavin, dalam kepanikannya, secara naluriah menarik Elvira dan Arkana keluar dari mobil. Dia berhasil mengeluarkan mereka berdua, yang hanya menderita luka lecet ringan. Aku terjepit di dalam, rasa sakit mencengkeramku. Darah hangat mengalir di wajahku.
"Gavin!" panggilku lemah.
Gavin berbalik. Matanya bertemu dengan mataku, penuh dengan keraguan. Mobil mulai berasap tebal, percikan api terlihat di bagian depan. Dia hanya berdiri di sana, menatapku. Keraguan itu, ketidakpastian itu, terukir jelas di wajahnya. Dia harus memilih. Dan dia sudah memilih.
Dengan sisa tenaga terakhirku, aku melepaskan sabuk pengaman yang terjepit, mendorong pintu yang bengkok dengan kedua kaki. Aku berhasil merangkak keluar, sesaat sebelum mobil itu meledak. Ledakan itu begitu keras, tubuhku terlempar beberapa meter. Aku merasakan sakit yang tak tertahankan di kepalaku, di sekujur tubuhku. Pandanganku buram. Gavin, Elvira, dan Arkana berdiri di kejauhan, menatapku. Tidak ada yang datang menghampiri.
Aku selamat dari maut, tapi hatiku mati. Aku tahu, kontrak ini tak lagi berarti. Di rumah sakit, Gavin sibuk menenangkan Elvira yang histeris karena "syok." Tidak ada yang menjengukku. Tidak ada yang bertanya keadaanku. Aku hanya sendirian. Saat aku diizinkan pulang, aku meninggalkan cincin kontrak itu dan surat cerai di meja nakas. Aku pergi tanpa pamit. Aku menghilang ke luar negeri.
Aku menghubungi teman lamaku, seorang pengacara. Dia membantuku mengurus semuanya. Aku tidak ingin apa-apa dari keluarga Nugraha. Tidak ada uang, tidak ada properti. Hanya kebebasan. Aku ingin memulai hidup baru.
Dua tahun telah berlalu sejak hari itu. Dua tahun aku mengubur diriku dalam dunia wewangian, mengasah bakatku yang sempat terkubur. Aku muncul kembali sebagai "The Alchemist," pencipta parfum misterius yang paling dicari di Eropa. Aku bukan lagi Aruna Larasati yang rapuh dan penuh harapan. Aku adalah Mystique.
"Aruna tahu apa yang dia lakukan," gumamku pada diriku sendiri, menatap foto Elvira dan Gavin di ponselku. "Dia tidak akan kembali lagi."
Aku membuang ponselku ke kursi penumpang. Aku tak lagi peduli dengan mereka. Aku tak lagi butuh validasi dari pria yang pernah menyia-nyiakanku. Aku sudah terbang bebas.
"Aruna! Aruna!"
Suara Gavin memecah keheningan di dalam mobil. Aku mengabaikannya. Suara itu, aku sudah muak mendengarnya. Dia tak pantas lagi memanggil namaku.
"Aruna! Kau dengar aku? Jangan coba-coba membatalkan kontrak ini!" Gavin berteriak, suaranya dipenuhi amarah yang tidak beralasan.
Aku tetap diam. Tidak ada gunanya berdebat. Kata-kataku tidak akan pernah sampai padanya.
"Kau tidak bisa begitu saja pergi! Ingat Arkana! Dia membutuhkanmu!"
Aku tersenyum miris. "Dia tidak membutuhkanku. Dia punya Elvira, bukan?"
Gavin terdiam. Aku tahu kata-kataku menusuknya. Tapi aku tidak peduli lagi. Aku sudah terlalu lama disakiti.
"Aruna, ini tidak lucu! Aku tidak akan membiarkanmu pergi!"
Aku menatapnya dengan tatapan kosong. "Kau tidak punya hak untuk menahanku. Kontrak ini sudah berakhir. Kita bukan apa-apa lagi."
Aku keluar dari mobil, meninggalkan Gavin yang masih berteriak. Malam ini adalah malam terakhirku di rumah ini. Besok, aku akan terbang bebas. Dan tidak ada yang bisa menghentikanku.
Aku menatap rembulan yang bersinar di langit malam. Besok, hidupku akan berubah. Aku akan menjadi wanita yang kuat, mandiri, dan tidak akan pernah lagi membiarkan siapa pun menyakitiku.
"Aku ingin membatalkan kontrak ini," kataku, suaraku datar, tak berekspresi.
Itu bukan permintaan. Itu adalah pernyataan.
Gavin Nugraha mengangkat alisnya, tatapan dinginnya menyapu wajahku.
Dia selalu seperti itu. Dingin dan jauh.
"Apa yang kau bicarakan, Aruna? Kau tahu kita tidak bisa."
Aku tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai mataku.
"Mengapa tidak? Bukankah sudah jelas ini hanya kesepakatan bisnis sejak awal? Kita bukan suami-istri sungguhan. Kita hanya dua orang yang terikat oleh perjanjian."
Dia menyeringai, senyum sinis yang selalu membuatku merasa kecil.
"Dan bagaimana dengan Arkana? Dia memanggilmu 'Mama'. Kau pikir dia akan mengerti?"
"Arkana adalah bagian dari kontrak itu," jawabku, tanpa ragu.
"Dia adalah anak yang kubesarkan, ya. Tapi dia bukan anakku. Dan sekarang, dia sudah punya 'Mama' baru, bukan?"
Elvira Suprianto. Nama itu seperti duri di tenggorokanku.
Cinta pertama Gavin yang kembali. Wanita yang dulu meninggalkannya, tapi kini disambut dengan tangan terbuka.
Gavin dan Arkana begitu cepat berpaling dariku. Setiap senyum, setiap sentuhan, setiap kata-kata manis yang dulu Gavin berikan padaku kini ia berikan pada Elvira.
Aku dulu berpikir aku bisa mengisi kekosongan di hatinya. Aku dulu berpikir cinta tak bersyaratku bisa mengubah segalanya.
Tapi aku salah. Aku selalu salah.
Aku ingat semua pengorbananku. Mimpi-mimpi yang kukubur dalam-dalam untuk menjadi pewangi, untuk memiliki karir yang cemerlang.
Aku mengabdikan diri pada rumah ini, pada Gavin, dan pada Arkana. Aku mencintai Arkana seperti anakku sendiri, mengajarinya berjalan, membaca, menemaninya saat demam tinggi.
Tapi semua itu dibalas dengan ketidakpedulian. Ketidakpedulian Gavin dan bahkan anak yang kubesarkan dengan sepenuh hati.
Gavin menghela napas panjang. "Baiklah. Kalau itu yang kau inginkan. Kontrak ini akan berakhir seminggu lagi. Setelah itu, kau bebas."
"Bagus," balasku, meraih pulpen dan menandatangani dokumen yang sudah tersedia di meja.
Tanda tanganku tak bergetar sama sekali. Ini adalah pembebasanku.
Aku bangkit dari kursi, tanpa menoleh lagi padanya, dan berjalan keluar dari ruangan itu.
Langkahku terasa ringan, seolah beban berton-ton telah terangkat dari bahuku. Aku menuruni tangga, jantungku berdebar kencang, bukan karena sakit, tapi karena kebebasan yang terasa nyata.
Aku mengabaikan tatapan para pelayan yang kebingungan melihatku dengan tas tangan di tangan. Aku membuka pintu utama, merasakan angin sore menerpa wajahku.
Saat mobilku melaju, aku melihat ponselku bergetar.
Sebuah notifikasi dari media sosial. Sebuah foto yang diunggah oleh Elvira.
Di sana, Elvira berdiri di samping Gavin dan Arkana, senyumnya merekah, tangannya melingkar mesra di pinggang Gavin.
Arkana, putra Gavin, anak yang kucintai seperti darah dagingku sendiri, tersenyum lebar sambil memegang tangan Elvira.
Dan yang paling menyakitkan adalah, Elvira mengenakan gaun yang kubeli khusus untuk acara ulang tahun Arkana.
Gaun yang seharusnya kupakai. Gaun yang kubayangkan akan membuatku merasa seperti bagian dari keluarga mereka.
Gaun itu pas di tubuh Elvira, menonjolkan setiap lekuk tubuhnya yang sempurna.
Mereka ada di pesta ulang tahun Arkana. Pesta yang seharusnya kuatur, pesta yang kudekorasi dengan tangan sendiri, dengan tema kesukaan Arkana.
Tapi kini, Elvira yang berdiri di sana, menggantikan posisiku. Gavin menatap Elvira dengan tatapan memuja, tatapan yang tak pernah kuterima selama lima tahun pernikahan kami. Arkana tertawa riang, memanggil Elvira "Tante Elvira yang glamor."
Ini bukan pertama kalinya. Insiden mainan robot itu masih terasa nyeri.
Aku mengantre lima jam demi membelikan robot edisi terbatas untuk ulang tahun Arkana. Tapi Elvira datang membawa drone terbaru.
Arkana dengan kasar melempar robot pemberianku dan berteriak, "Hadiah Mama Aruna norak! Aku lebih suka hadiah Tante Elvira!"
Gavin diam saja, tidak membelaku. Aku merasa hancur.
Lalu insiden alergi Arkana. Gavin tahu Arkana memiliki asma akut dan alergi bulu binatang.
Tapi Elvira, dengan senyum manisnya, membawa kucing Persia lucu untuk Arkana bermain.
Ketika aku melarang, Gavin malah menatapku tajam. "Jangan terlalu kaku, Aruna! Elvira cuma ingin Arkana senang. Kamu cemburu saja."
Malamnya, Arkana sesak napas. Tapi Gavin dan Elvira malah pergi makan malam, meninggalkanku sendirian merawat Arkana di UGD.
Aku merasa seperti mayat hidup.
Melihat mereka bertiga, aku merasa seperti orang asing yang mengintip ke dalam kehidupan orang lain.
Lima tahun. Lima tahun aku hidup dalam bayangan ini.
Segalanya bermula dari kebangkrutan ayahku. Bisnisnya hancur karena penipuan, meninggalkan kami terlilit utang yang tak terbayarkan.
Di saat yang sama, Gavin Nugraha, pewaris tunggal Nugraha Group, sedang hancur.
Elvira, cinta pertamanya, meninggalkannya demi karier model internasional yang lebih menjanjikan.
Gavin yang dingin dan arogan berubah menjadi pemabuk, menghancurkan diri sendiri. Citranya berantakan di mata kakeknya yang konservatif, mengancam posisinya sebagai CEO.
Kakek Nugraha, seorang pria tua yang cerdik, melihatku.
Seorang mahasiswa kimia berbakat dengan indra penciuman yang tajam, yang terpaksa berhenti kuliah karena masalah keuangan keluarga. Aku adalah pilihan yang sempurna. Lembut, patuh, dan putus asa.
"Menikahlah dengan Gavin," kata Kakek Nugraha. "Jadilah ibu sambung yang sempurna bagi Arkana. Bantu Gavin mengamankan posisinya. Sebagai imbalannya, semua utang ayahmu akan terbayar, dan keluargamu akan aman."
Aku tak punya pilihan. Ayahku, yang selalu kucintai, membutuhkan operasi mahal yang tak mampu kami biayai.
Aku mengubur impianku menjadi seorang pembuat parfum. Aku menyetujui kontrak itu, lima tahun.
Lima tahun untuk mengabdikan diri pada keluarga ini.
Gavin pada awalnya acuh tak acuh. Dia melihatku sebagai formalitas, sebuah bayangan yang mengisi kekosongan tempat Elvira pernah berada.
Kami menikah secara sederhana, tanpa perayaan, tanpa cinta.
Dia tidak pernah memintaku untuk mendaftarkan pernikahan kami secara resmi, dan aku, karena kesedihan dan kebodohan, tidak pernah mendesaknya.
Aku hanya ingin memenuhi kontrak, menyelamatkan keluargaku.
Arkana, yang ibunya meninggal saat melahirkan, awalnya sangat dekat denganku.
Aku membesarkannya sejak bayi, melimpahinya dengan kasih sayang yang tulus.
Aku mengajarinya segala hal, dari cara memegang sendok hingga cara membaca cerita pengantar tidur.
Dia memanggilku 'Mama' dengan suara riang, dan setiap kali ia melakukannya, hatiku terasa hangat.
Aku jatuh cinta padanya, pada Gavin, pada gagasan tentang keluarga ini.
Tapi itu semua adalah fantasi. Gavin selalu menganggap keberadaanku di rumah adalah hal yang wajar dan "sudah semestinya."
Dia terjebak dalam nostalgia masa lalu dengan Elvira, buta terhadap ketulusan yang ada di depan matanya.
Dia tidak pernah melihatku. Dia hanya melihat bayangan Elvira.
Malam itu, dalam perjalanan pulang dari acara keluarga, mobil yang dikendarai Gavin melaju di jalan tol yang basah kuyup karena hujan deras.
Aku duduk di belakang, di antara Gavin dan Elvira. Arkana duduk di pangkuan Elvira.
Sebuah truk tiba-tiba memotong jalur. Gavin membanting setir. Ban mobil selip.
"Aaaarrrgh!" teriak Elvira, memeluk Arkana erat.
Mobil kami menabrak pembatas jalan. Dinding baja itu menembus sisi penumpang, tepat di tempatku duduk.
Aku merasakan benturan keras, tubuhku terhempas, kepalaku membentur jendela. Kaca pecah berhamburan.
"Gavin!" teriak Elvira histeris. "Arkana!"
Gavin, dalam kepanikannya, secara naluriah menarik Elvira dan Arkana keluar dari mobil.
Dia berhasil mengeluarkan mereka berdua, yang hanya menderita luka lecet ringan. Aku terjepit di dalam, rasa sakit mencengkeramku.
Darah hangat mengalir di wajahku.
"Gavin!" panggilku lemah.
Gavin berbalik. Matanya bertemu dengan mataku, penuh dengan keraguan.
Mobil mulai berasap tebal, percikan api terlihat di bagian depan. Dia hanya berdiri di sana, menatapku.
Keraguan itu, ketidakpastian itu, terukir jelas di wajahnya. Dia harus memilih.
Dan dia sudah memilih.
Dengan sisa tenaga terakhirku, aku melepaskan sabuk pengaman yang terjepit, mendorong pintu yang bengkok dengan kedua kaki.
Aku berhasil merangkak keluar, sesaat sebelum mobil itu meledak.
Ledakan itu begitu keras, tubuhku terlempar beberapa meter. Aku merasakan sakit yang tak tertahankan di kepalaku, di sekujur tubuhku.
Pandanganku buram. Gavin, Elvira, dan Arkana berdiri di kejauhan, menatapku.
Tidak ada yang datang menghampiri.
Aku selamat dari maut, tapi hatiku mati. Aku tahu, kontrak ini tak lagi berarti.
Di rumah sakit, Gavin sibuk menenangkan Elvira yang histeris karena "syok."
Tidak ada yang menjengukku. Tidak ada yang bertanya keadaanku. Aku hanya sendirian.
Saat aku diizinkan pulang, aku meninggalkan cincin kontrak itu dan surat cerai di meja nakas.
Aku pergi tanpa pamit. Aku menghilang ke luar negeri.
Aku menghubungi teman lamaku, seorang pengacara. Dia membantuku mengurus semuanya.
Aku tidak ingin apa-apa dari keluarga Nugraha. Tidak ada uang, tidak ada properti. Hanya kebebasan.
Aku ingin memulai hidup baru.
Dua tahun telah berlalu sejak hari itu. Dua tahun aku mengubur diriku dalam dunia wewangian, mengasah bakatku yang sempat terkubur.
Aku muncul kembali sebagai "The Alchemist," pencipta parfum misterius yang paling dicari di Eropa. Aku bukan lagi Aruna Larasati yang rapuh dan penuh harapan.
Aku adalah Mystique.
"Aruna tahu apa yang dia lakukan," gumamku pada diriku sendiri, menatap foto Elvira dan Gavin di ponselku. "Dia tidak akan kembali lagi."
Aku membuang ponselku ke kursi penumpang. Aku tak lagi peduli dengan mereka.
Aku tak lagi butuh validasi dari pria yang pernah menyia-nyiakanku.
Aku sudah terbang bebas, dan tak akan ada lagi ikatan yang bisa menarikku kembali.