Ia melirik ponselnya yang tergeletak di meja. Tidak ada pesan, tidak ada telepon. Julian pasti sedang sibuk, atau lebih tepatnya, sedang menyibukkan diri agar tidak perlu pulang dan melihat wajahnya. Elara menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa sesak yang mulai merayap di dadanya. Ia sudah terbiasa, bukan? Ia yang memaksa pernikahan ini terjadi. Ia yang menggunakan kekuasaan ayahnya untuk menekan keluarga Julian agar pria itu berlutut di altar bersamanya.
Jadi, bukankah wajar kalau ia harus menelan semua kepahitan ini sendirian?
Tepat pukul sebelas malam, suara deru mobil terdengar di halaman. Jantung Elara berdegup kencang, sebuah reaksi tubuh yang masih saja bodoh setelah tiga tahun disakiti. Ia segera berdiri, merapikan dress sutra merahnya yang ia beli khusus untuk malam ini, dan mencoba memasang senyum terbaiknya.
Pintu depan terbuka. Julian melangkah masuk dengan langkah tegap namun dingin. Jasnya tersampir di lengan, dasinya sudah dilonggarkan. Wajahnya yang tampan terlihat lelah, tapi matanya langsung menajam begitu melihat Elara berdiri di ujung lorong.
"Belum tidur?" suara Julian rendah, tapi ketus.
"Aku menunggumu, Julian. Ini kan hari peringatan pernikahan kita," jawab Elara lembut, berusaha mengabaikan tatapan tajam pria itu.
Julian mendengus sinis. Ia berjalan melewati Elara menuju dapur, menuangkan air es ke gelas dengan gerakan kasar. "Peringatan? Maksudmu peringatan tiga tahun sejak kau menjebakku dalam neraka ini? Harusnya aku yang merayakannya dengan berkabung, bukan makan kue bodoh itu."
Elara mengepalkan tangannya di balik kain dressnya. "Aku memasak makanan kesukaanmu. Hanya sebentar saja, bisakah kita duduk dan bicara tanpa harus bertengkar?"
Julian berbalik, menyandarkan pinggulnya di konter dapur sambil menatap Elara dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tatapannya penuh penghinaan. "Kau dandan seperti ini hanya untuk memamerkan betapa kayanya keluargamu? Atau kau ingin mengingatkanku lagi bahwa kau bisa membeli apa saja, termasuk suami?"
"Aku tidak pernah berniat seperti itu, Julian. Aku hanya ingin kita mencoba lagi. Tiga tahun sudah berlalu, bisakah kita membuka lembaran baru?"
Julian tertawa, tapi tawanya terdengar kering dan menyakitkan. Ia berjalan mendekati Elara, memangkas jarak di antara mereka sampai Elara bisa mencium aroma alkohol tipis dan parfum pria yang mahal dari tubuh suaminya. Julian menarik kotak hadiah kecil yang tergeletak di dekat kue tart itu-sebuah jam tangan edisi terbatas yang Elara pesan berbulan-bulan lalu.
"Ini apa? Mainan baru untukku?" Julian mengangkat kotak itu dengan ujung jarinya seolah itu adalah sampah.
"Itu hadiah untukmu. Aku tahu kau suka mengoleksi jam tangan," kata Elara, matanya mulai berkaca-kaca.
Tanpa diduga, Julian melepaskan pegangannya. Kotak mahal itu jatuh ke lantai dengan suara keras. "Simpan saja uangmu, Elara. Aku tidak butuh barang-barang yang dibeli dengan rasa bersalah. Kau tahu apa yang benar-benar kuinginkan sebagai hadiah? Surat cerai. Itu satu-satunya hal yang bisa membuatku bahagia."
Deg. Elara merasa dunianya seolah berhenti berputar. Meski sudah ratusan kali mendengar kata cerai keluar dari mulut Julian, setiap kali pria itu mengucapkannya, rasanya tetap seperti belati yang dihunus tepat ke jantungnya.
"Kenapa kau begitu membenciku?" bisik Elara dengan suara bergetar. "Aku mencintaimu sejak kita masih kecil, Julian. Apa itu sebuah kejahatan?"
"Cinta?" Julian melangkah maju satu langkah lagi, membuat Elara terpojok ke meja makan. "Apa yang kau lakukan itu bukan cinta. Itu obsesi gila. Kau menghancurkan hubunganku dengan wanita yang kucintai, kau mengancam masa depan keluargaku, dan kau menyeretku ke sini hanya untuk memuaskan egomu. Kau tidak mencintaiku, Elara. Kau hanya ingin memilikiku seperti kau memiliki tas-tas bermerek di lemarimu itu."
Julian mengambil garpu dari meja, mencuil sedikit kue tart buatan Elara, lalu membuangnya ke lantai. "Kuenya hambar. Sama seperti pernikahan ini. Jangan pernah berharap aku akan menyentuh apa pun yang berasal darimu."
Pria itu berbalik dan menaiki tangga tanpa menoleh lagi, meninggalkan Elara yang luruh ke lantai. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya tumpah juga. Ia melihat kue yang berantakan di lantai, jam tangan yang tergeletak tak berdaya, dan meja makan yang begitu luas untuknya sendiri.
Elara memeluk lututnya. Rasa sakitnya bukan lagi sekadar pedih, tapi sudah mulai terasa mati rasa. Ia menyentuh dadanya yang sesak. Selama tiga tahun ini, ia selalu percaya bahwa dengan kesabaran, Julian akan luluh. Ia percaya bahwa jika ia tetap berdiri di samping pria itu, suatu saat Julian akan melihatnya bukan sebagai musuh, melainkan sebagai istri.
Namun malam ini, di bawah cahaya lampu kristal yang mahal itu, Elara sadar bahwa ia telah membohongi dirinya sendiri. Ia terlalu percaya diri dengan kekuasaannya. Ia terlalu sombong dengan berpikir cintanya cukup untuk mereka berdua.
"Ternyata benar," gumam Elara di sela isak tangisnya. "Aku tidak sedang membangun rumah tangga. Aku sedang membangun penjara, dan aku sendirilah yang mengunci diriku di dalamnya."
Kesunyian malam itu terasa jauh lebih berat dari biasanya. Elara menatap bayangannya di cermin besar yang ada di ruang tamu. Wanita di sana terlihat cantik, namun matanya kosong. Tak ada lagi sisa-sisa kesombongan putri konglomerat yang biasanya ia banggakan. Yang tersisa hanyalah seorang wanita yang baru saja sadar bahwa ia telah kalah telak dalam permainan yang ia buat sendiri.
Malam itu, Elara tidak naik ke kamar utama. Ia tetap di sana, di lantai dapur yang dingin, bersama sisa-sisa perayaan yang hancur, menyadari bahwa mungkin bendera putih memang sudah saatnya ia kibarkan.