Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Takdir Cinta Zahrana
Takdir Cinta Zahrana

Takdir Cinta Zahrana

5.0
75 Bab
5.3K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Pertemuan tak menyenangkan antara Zahrana dan Zafran menyisakan kebencian di hati Zahrana. Ayahnya telah menjualnya pada lelaki itu. Namun, karena keteguhan Zahrana, Zafran melepaskannya. Setelah satu tahun berlalu, mereka bertemu lagi. Namun, Zahrana telah menikah. Tak hanya itu, pernikahannya berada di ujung tanduk karena sang mertua menuduhnya berselingkuh.

Bab 1 Kematian Ibu

Iring-iringan pelayat tampak menghadiri pemakaman di area Tempat Pemakaman Umum yang tak jauh dari sebuah desa. Para pelayat yang tak seberapa itu berjalan mengikuti keranda yang dipikul empat orang pemuda dan berhenti di depan sebuah liang besar yang baru selesai digali.

Di samping liang, keranda itu lalu diturunkan. Penutup keranda yang dilapisi kain berwarna hijau lantas dibuka. Tampak jasad yang tertutup kain jarik panjang menyelimuti tubuh yang sudah kaku. Seorang gadis muda terlihat menangis saat jasad itu diangkat dan bersiap untuk dimakamkan.

"Zahra, kamu yang ikhlas, Nak. Doakan ibumu agar diterima di sisi Allah. Jangan buat beban ibumu dengan air matamu itu," ucap seorang ibu yang duduk di samping gadis muda yang berusia 23 tahun itu.

Gadis itu menyeka wajahnya yang basah karena air mata dengan sapu tangan dan berusaha menahan air matanya agar tidak kembali jatuh. Tatapannya tertuju pada jenazah ibunya yang sudah diletakkan di dalam liang lahat.

Walau sudah berusaha untuk tidak menangis, tetapi air bening itu selalu mencari celah untuk keluar. Tanpa isakkan, hanya tangisan tanpa suara yang mengiringi kepergian sang bunda untuk selamanya.

Tanah basah menutupi jasad yang terbaring kaku dengan diiringi sebait doa yang dipanjatkan untuk sang bunda. Doa yang mengantar kepergian untuk menghadap Sang Khalik. Doa dari seorang anak yang telah kehilangan kasih sayang, kehilangan tempat untuk berteduh, dan kehilangan tempat untuk mengadu.

Pusara bertuliskan nama dari jasad yang sudah dimakamkan itu tertancap di atas tanah makam dengan diiringi taburan bunga yang menutupi tanah merah.

Satu per satu pelayat kemudian meninggalkan area pemakaman. Sementara sang gadis masih duduk di depan makam sambil menyentuh papan pusara seraya menciumnya. Air matanya kembali jatuh saat mengenang kebersamaan dengan sang bunda untuk terakhir kalinya.

"Zahra, maafkan Ibu, Nak." Seorang wanita paruh baya tampak menangis sambil membelai lembut puncak kepala anak gadisnya itu.

"Ibu, jangan menangis lagi. Zahra akan menemani Ibu. Zahra tidak akan meninggalkan Ibu sendirian."

Zahrana, gadis muda yang penurut. Tak pernah sekali pun dia membantah ucapan ibunya. Gadis yang berusia 23 tahun itu tampak ayu. Wajah cantik nan polos ala gadis desa begitu melekat pada dirinya. Tak sedikit para ibu yang membandingan anak gadis mereka dengan dirinya. Di mata mereka, Zahrana adalah anak yang baik. Gadis penurut yang tidak pernah membantah ucapan ibunya. Gadis yang menjadi bunga desa karena kecantikannya yang alami.

Namun, semua itu tidak sebanding dengan kehidupannya yang harus merasakan kegetiran setiap kali melihat ayahnya pulang dalam keadaan mabuk.

Ya, ayahnya adalah seorang pemabuk ulung. Setiap pulang ke rumah, lelaki yang sudah tidak muda lagi itu selalu dalam kondisi mabuk. Tak hanya itu, perhiasan sang istri yang disimpan untuk masa depan anak gadisnya, harus diikhlaskan lantaran dicuri olehnya hanya untuk membeli minuman keras. Bukan hanya itu, uang yang disimpan di dalam lemari juga raib untuk dipakai modal berjudi.

Kebiasaan mabuk dan berjudi sudah menggerogoti hidupnya sejak tiga tahun lalu. Tepatnya, setelah sawah dan tanahnya habis disita rentenir karena tidak sanggup membayar hutang.

Sejak saat itu, kehidupan Zahrana berubah drastis. Gadis manis yang bercita-cita melanjutkan kuliah di kota terpaksa harus kandas karena sudah tidak lagi memiliki biaya. Dengan terpaksa, dia dan ibunya harus bekerja keras untuk menghasilkan pundi-pundi uang demi mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Walau begitu, Zahrana tidak berputus asa. Dengan sepenuh hati, dia membantu ibunya bekerja menjadi buruh cuci di rumah salah satu tetangganya.

Hasil menjadi buruh cuci hanya bisa mencukupi kebutuhan makan selama seminggu. Itu pun kalau tidak diambil paksa oleh ayahnya. Terkadang, mereka bisa sedikit berhemat jika ada tetangga yang berbaik hati memberi sedikit beras.

Dari hari ke hari, kebiasaan ayahnya semakin menjadi. Dia selalu pulang di tengah malam sambil mengetuk pintu rumah dengan kasar. Jika belum dibuka, dengan marahnya dia akan menendang pintu yang terbuat dari bahan triplek itu hingga berlubang. Bau alkohol seketika menyeruak begitu dia memasuki rumah. Di saat seperti itu, Zahrana dan ibunya memilih untuk mengunci diri di dalam kamar.

"Widya, mana makananku? Cepat buka pintu!" Lelaki itu mengetuk dengan kasar pintu kamar Zahrana karena dia tahu istrinya bersembunyi di kamar anak gadisnya itu.

"Bu, jangan keluar! Biarkan saja Bapak begitu. Aku takut Bapak akan berbuat kasar lagi pada Ibu." Zahrana memegang tangan ibunya agar tidak keluar, tetapi sekuat apa pun dia memohon ibunya tetap memilih untuk keluar.

Walau kecewa, Zahrana tahu kalau semua yang dilakukan ibunya karena bakti terhadap sang suami. Bakti yang tak sepatutnya dibayar dengan sebuah tamparan.

"Bapak kenapa menampar Ibu? Apa Bapak sudah tidak lagi menyayangi kami?"

Zahrana menangis saat melihat ibunya ditampar. Pipi kiri wanita itu memerah dengan bekas telapak tangan yang terlihat di kulit wajahnya.

"Bapak sungguh keterlaluan! Kenapa Bapak tega menampar Ibu? Apa kami bersalah hingga Bapak seperti ini?" Zahrana masih menangis sambil memeluk ibunya.

"Dasar anak tidak tahu diri! Beraninya kamu membentakku!"

Lelaki itu menarik paksa tangan Zahrana dan berusaha mengeluarkannya dari dalam rumah, tetapi istrinya melerainya hingga terjadilah percekcokan.

"Pak, jangan lakukan ini pada anak kita! Dia tidak salah apa-apa. Jika Bapak marah, marah saja padaku, jangan pada Zahrana!"

Wanita itu mencoba membela anaknya, walau dia tahu dirinya akan mendapat konsekuensi atas tindakannya itu.

Benar saja, wanita itu kemudian dijambak dan tubuhnya dilempar ke tembok. Kepalanya terbentur dengan sangat keras di dinding rumahnya hingga membuatnya memegang kepala yang mulai terasa pusing.

"Ibu!" pekik Zahrana saat melihat ibunya terduduk sambil memegang kepalanya yang basah dengan darah segar. Darah yang keluar dari sela-sela rambutnya yang mulai memutih.

Bukannya kasihan, lelaki itu malah kembali menarik paksa Zahrana untuk keluar dari dalam rumah. Tatapan matanya begitu liar sambil menatap ke arah Zahrana yang menangis mengiba.

"Pak, jangan lakukan ini pada kami! Tolong kasihani aku dan Ibu. Biarkan aku melihat Ibu!"

Gadis itu menangis mengiba dan memohon untuk sekadar melihat keadaan ibunya, tetapi lelaki itu malah melemparnya keluar dari dalam rumah hingga terduduk di depan halaman.

"Pergi kamu dari rumahku! Dasar anak pembawa sial! Aku menyesal karena sudah membawamu ke rumah ini. Dasar anak pelacur!"

Bagaikan sebuah godam menghantam dadanya. Rasanya begitu sakit, hingga membuatnya menangis dalam diam. Ucapan yang terdengar sangat menyakitkan hatinya. Ucapan yang sering didengarnya jika lelaki itu.mulai marah-marah.

Walau begitu, Zahrana tidak peduli. Dia berusaha bangkit dan membuka pintu rumah yang sudah terkunci. Satu per satu tetangga mulai berdatangan, tetapi mereka hanya mampu melihat tanpa bisa berbuat apa-apa.

Kelakuan lelaki itu sama sekali tidak bisa dilerai. Pernah mereka melerainya, tetapi dia membalasnya dengan memukul istrinya hingga lebam. Walau sudah dilapor ke polisi, tetapi lagi-lagi dia hanya mendapat hukuman penjara beberapa hari saja. Setelah itu, dia pun dibebaskan dan kembali mengulangi perbuatannya. Akhirnya, mereka tidak ingin lagi ikut campur dan tak peduli padanya.

Namun, malam itu menjadi petaka bagi Zahrana. Dia berusaha membuka pintu yang sudah terkunci, tetapi pintu tidak bisa terbuka. Bahkan, dia berusaha mendobrak, tetapi sama saja. Melihat kondisi ibunya yang melemah, membuatnya memutar otak untuk bisa masuk ke rumah.

Dari balik kaca jendela, dia melihat ibunya berusaha menahan kaki lelaki itu untuk tidak pergi. Ayahnya telah keluar dari kamar sambil membawa beberapa lembar uang seratus ribuan, hasil dari mereka mencuci. Uang yang menjadi harapan untuk satu minggu ke depan.

Melihat suaminya ingin membawa uang itu, Widya berusaha menahannya, tetapi kembali dia harus merasakan tendangan demi tendangan yang mengarah ke kepalanya.

Melihat perjuangan ibunya, Zahrana berteriak histeris sambil mendobrak pintu, "Jangan pukul ibuku! Aku mohon, jangan pukul ibuku!"

Zahrana berteriak sambil berusaha membuka pintu. Tidak lama kemudian pintu pun terbuka. Lelaki itu keluar dan mendorong tubuh Zahrana agar menjauh darinya. "Minggir anak haram!"

Zahrana tidak peduli dengan ucapan ayahnya. Dia memilih masuk ke rumah untuk melihat ibunya. Betapa dia terkejut saat melihat ibunya terkapar dengan luka di kepala yang mengeluarkan cairan merah.

"Ibu!" Zahrana meraih kepala sang ibu ke atas pangkuannya. Air matanya jatuh melihat ketidakberdayaan ibunya saat berusaha menyentuh wajahnya. Dengan tangan gemetar, Zahrana meraih tangan ibunya yang penuh darah dan meletakan di pipi kirinya.

"Anakku, maafkan Ibu, Nak. Ibu telah menyeretmu dalam kehidupan yang kejam ini. Jangan dengarkan apa kata bapakmu karena bagi Ibu kamu adalah permata hati dan satu-satunya anakku. Walau aku bukan Ibu kandungmu, tetapi bagi Ibu kamu adalah darah dagingku."

Zahrana mengangguk dengan isak tangis yang tak mampu ditahan. Wajah ibunya telah berlumuran darah. Rambutnya yang beruban telah merah berlumuran darah.

Satu per satu tetangga berdatangan, tetapi terlambat karena wanita paruh baya itu kini telah terdiam dan takkan lagi merasakan sakit. Matanya kini terpejam dengan senyum terakhir yang ditujukan pada Zahrana. Senyum seorang ibu yang begitu mencintai buah hatinya.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY