Tidak salah jika semua orang menjulukinya "kembang desa". Memiliki paras yang cantik, hidung mancung, alis tebal, kulit putih, bahkan ia memiliki lesung di pipinya. Orang bilang lesung pipi adalah cacat tubuh yang terindah. Itulah sosok dari seorang gadis bernama Nayanika.
"Ndok Nay, mau kemana?" tanya seorang perempuan paruh baya yang Nayanika kenal dengan nama Surti. Surti adalah salah satu orang yang bekerja di persawahan milik Ayah Nayanika.
Nayanika yang merasa namanya disebut pun berhenti, dan menyandarkan sepedanya di salah satu pohon tak jauh dari keberadaan Surti. "Mbak Surti, ini Nay cuman jalan-jalan aja, soalnya jenuh di rumah. Apa lagi nggak ada Ayah sama Ibu."
Surti yang seakan merasakan apa yang di rasakan Nayanika menatap sendu gadis itu. Pasalnya Nayanika memang selalu ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya untuk masalah pekerjaan.
"Main ke rumah Mbak aja ayok, di rumah ada Andi," tawar Surti pada anak juragannya itu.
"Iya mbak, makasih. Tapi kayaknya Nay mau pulang aja, soalnya Ayah sama Ibu bentar lagi pulang kata Eyang." Surti yang paham hanya mengangguk pasrah.
"Bidan Ayu juga ikut Bapak ke Jakarta ya Ndok?" tanya Surti lagi yang hanya di balas anggukan dari Nayanika.
Orang di Desa memaggil orang tua Nayanika adalah Bu Bidan dan Pak Juragan, sesuai dengan jabatan yang mereka emban. Kedua orang tua Nayanika juga terkenal dengan sikap yang dermawan dan baik. Banyak yang segan pada sepasang suami-istri itu.
Meski begitu, tidak dapat dipungkiri dari kesuksesan dan kerendahan hati seseorang, masih banyak orang yang julid, tidak menyukai atau bahkan terang-terangan membenci kedua orang tua Nayanika.
Di saat Nayanika sedang berbicara dengan Surti, seseorang berlari dan meneriaki nama gadis itu. Nayanika pun menoleh pada sumber suara yang meneriaki namanya.
"Paman?" lirihnya saat mendapati seseorang itu adalah orang yang selama ini bekerja di rumahnya sebagai tukang kebun, yang disebutnya sebagai paman tersebut.
"Oalah ndok, smpean di sini to? Ayok pulang, Eyang nyariin!" ujarnya saat sudah tiba di hadapan Nayanika.
"Emang ada apa Paman? Tumben Eyang nyariin Nay." Jelas Nayanika penasaran dengan Eyangnya yang tiba-tiba memintanya untuk pulang, sepertinya ia tak pernah meminta cucu kesayangannya untuk pulang sekalipun, kecuali jika hari mulai gelap dan ada sesuatu yang penting, apa lagi hari masih sangat siang, pikirannya.
"Bapak sama Ibu kecelakaan, Ndok."
Jatung Nayanika seakan berhenti berdetak, tubuhnya terasa lemas. Tanpa banyak bertanya lagi ia berlari meninggalkan Paman juga Surti yang masih sama terkejutnya seperti Nayanika. Bahkan sepedanya pun ia tinggalkan, karena kecemasan dapat membuat seseorang melupakan segala hal.
Setibanya di rumah Nayanika langsung mencari keberadaan Eyangnya. Mencari ke segala penjuru rumahnya. Tapi ia juga tidak berhasil menemukan Eyangnya. Bahkan panggilannya pun tak ada yang menyahutinya.
"Ndok,"
"Bude? Eyang mana? Bener Ayah sama Ibu kecelakaan? Iya bude?" Nayanika mulai meneteskan air matanya dengan nafas yang masih memburu karena berlari, begitu banyak tanya yang gadis itu lontarkan pada seseorang yang disebutnya bude.
"Ndok, seng sabar nggeh? Bapak sama ibumu udah nggak ada."
Nayanika langsung menjatuhkan tubuhnya di lantai, sedangkan hatinya terasa diperas dan lehernya seakan dicekik tanpa memberinya ruang bernapas. Sunggu di luar kendali Nayanika, ia mulai menangis sesenggukan.
Berita itu benar-benar meruntuhkan ketegaran hati Nayanika, tembok yang selama ini ia bangun seketika hancur meninggalkan butiran debu saja. Sangat sakit, tidak ada lagi orang yang benar-benar memanjakannya lagi, sekarang ia harus berusaha untuk berdiri sendiri.
"Ay-yah, I-bu, kenapa? Kenapa harus ninggalin Nay? Nay, Nay sa-ma siapa...?" ujarnya dalam Isak tangis yang sangat pilu jika terdengar oleh siapapun.
"Ndok, tabah yo. Do'ain aja Bapak sama Ibu tenang di sana."
Ya, ia harus tabah demi Adik kecilnya yang baru berusia 19 bulan. Ia harus bangkit dan berjuang demi Adik kecilnya-Alfahri Aika yang masih sangat kecil dan belum mengetahui apa-apa.
Tak lama kemudian terdengar suara sirine mobil ambulance yang berhenti tepat di depan rumah kediaman Nayanika. Sontak semua warga yang mengetahui kabar duka tersebut berkumpul untuk menyambut Ayu juga Hadi.
Semua warga berkumpul dan beramai-ramai mendatangi pemakaman kedua orang tua Nayanika. Mereka benar-benar merasa sedih saat mendengar orang yang selama ini baik pada mereka meninggal dunia secara tragis.
Disaat semua orang bersedih akan kepergian Ayu dan Hadi, salah seseorang tersenyum menyeringai. Seakan senang dengan kepergian kedua orang yang sangat berpengaruh di desa Torono.
"Selanjutnya..." lirihnya di tengah keramaian orang.
***
Setelah acara pemakaman usai, semua pulang ke rumah masing-masing. Termasuk Nayanika juga Eyang dan Budenya. Kebetulan hari mulai larut, dan rumah kediaman Nayanika mulai sepi setelah beberapa jam yang lalu melakukan pengajian bersama, atau sebutan lainnya yasinan.
Ruri sebagai Bude atau Bibik dari Nayanika juga ikut merasa sedih, pasalnya ia juga ikut terpukul atas kepergian Adik kandungnya yaitu Ibu Nayanika-Ayu.
Ruri melangkah mendekati gadis yang juga sudah ia anggap sebagai Anaknya sendiri. "Bude tau, ini berat buat Ndok Nay. Tapi Ndok juga harus ikhlas, biar Bapak sama Ibumu tenang di sana." Ruri mengelus lembut pucuk rambut Nayanika dengan sayang dan memeluk gadis itu.
"Tapi Bude, gimana sama sekolah Nay, sama Tole?" Nayanika mulai bicara, setelah ia bungkam semenjak kedatangan jenazah kedua orang tuanya. Saat itulah ia merasa ada tenaga untuk dirinya bicara.
"Untuk masalah itu, Bude sama Eyang sudah bicarakan sama Keluarga Bapakmu di Jakarta. Kamu akan tinggal di sana dan mereka semua yang akan mengurus kamu ... masalah tole, Eyang Sam Bude yang ngerawat, nah engko lak ndok wes sukses oleh dolen-dolen maning." Ruri memang sudah membicarakan hal ini pada keluarga Hadi, masalah pengasuhan juga pendidikan Nayanika.
Ruri setuju jika Nayanika akan di sekolahkan di Jakarta dan dibiayai oleh keluarga Hadi. Sedangkan Aldiano akan dirawat oleh dirinya juga Eyang, atau keluarga Ibu Nayanika.
"Iya Ndok, Eyang setuju demi pendidikanmu ben lancar. Lagian di sini Eyang sama Budemu ora iso mbiayai," ujar Eyang Nayanika di balik pintu lantas masuk dan menghampiri cucunya juga Anaknya itu.
"Tapi Eyang, kalau Nay kangen Tole, Bude, sama Eyang gimana?"
"Kan nanti lak liburan iso dolen Rene Ndok," jawab Ruri memberi pengertian pada Anak gadisnya.
"Yowes, Nay mau."
"Keluarga Bapakmu di Jakarta sudah kirimkan Bude sama Eyang uang buat keberangkatan sampean sesok Ndok, jadi Ndok siap-siap besok pergi ke Jakarta." Nayanika sontak sedikit terkejut, lantas menatap Budenya dan seakan bertanya mengapa secepat ini. Padahal kedua orang tuanya baru saja meninggal dunia, apa harus terburu-buru, pikirnya.
Ruri menarik nafasnya panjang, "Bude tau ini kecepetan buat Ndok, tapi begitu yang keluarga Bapakmu mau,"
"Tapi Bude, surat pindahan Nay belum ada dan belum diurus juga," sahut Nayanika yang sedikit kesal, bisakah keluarga Ayahnya memberinya waktu sebentar untuk kedukaan yang baru beberapa jam yang lalu ia alami. Tapi kenapa ia harus secapat ini dikirim ke Jakarta? Apa mereka mengusir Nayanika dari rumah keluarga Ibunya dengan cara halus? Pikirannya.
"Apa Bude sama Eyang ngusir Nay?"
"Uduk ngono Ndok, Bude kepingin awakmu uripe penak. Kalau Ndok di sini, Bude sama Eyang nggak bisa berbuat lebih, kalau tole kan masih bisa Bude usahain. Kalau Ndok'e, sekolahnya piye?" Ruri berusaha menjelaskan pada Nayanika untuk tidak salah paham kepada keluarga Ibunya sendiri, semua itu juga mereka lakukan untuk kebaikan Nayanika sendiri.
Tampak Nayanika menghembuskan napasnya dengan pasrah, "yowes. Nay gelem."