/0/3930/coverbig.jpg?v=415bcb654e68171830aa7a9fe1ef86ff)
STATUS Semua orang membutuhkan status. Seorang gadis cantik dan tomboi bernama Marigold pun membutuhkan status. Yaitu status menikah. Sebuah status agar tidak selalu direcoki orang tuanya. Dan orang tua Marigold juga membutuhkan status sebagai besan, mertua, nenek dan kakek. Maximilian, seorang milyader yang membutuhkan status. Sebuah status yang harus dicapai karena sebuah ramalan. Ramalan yang mengatakan bahwa dirinya harus mencari tujuh istri yang mempunyai identitas nama bunga dan harus melambangkan kemakmuran. Tujuannya agar Maximilian tetap bisa berada di atas posisinya di kerajaan bisnis keluarga. Begitu pula dengan para istri dari Maximilian, yang menginginkan sebuah status dari sebuah pernikahan. Mereka menginginkan status berada di lingkungan sosialita dan terkenal. Status finansial yang aman untuk tujuh turunan. Status fisik, dimana merasa bangga untuk mendapatkan pasangan yang sempurna. Bahkan status sebagai orang tua yang menginginkan bibit unggul untuk meneruskan keturunannya. Ini adalah sebuah kisah seorang laki-laki dengan ketujuh pendamping hidupnya. Tinggal di sebuah mansion mewah, dimana setiap hari Maximilian harus berkutat dengan semua keunikan dan pesona ketujuh istrinya. Setiap hari, ketujuh istrinya selalu bersaing demi mendapatkan perhatian darinya. Lalu.. siapakah yang akan menjadi kesayangan sang milyader?
Drrrtt-drrrtt-drrrtt-drrrtt.
"Ha-lo."
"Marigold Flora," teriak lawan bicaranya di ponsel, yang menggema di telinga wanita cantik yang berusaha mengumpulkan kesadarannya karena baru bangun tidur.
"Selamat pagi, my mommy yang paling cantik sedunia flora," sapa Marigold sambil meregangkan tubuhnya dengan malas. "Kenapa pagi-pagi sudah berisik?"
"Dasar anak kurang ajar," sembur mama Marigold kesal. "Mana janjimu untuk datang ke rumah saat akhir pekan? Ini sudah berlalu dua akhir pekan, dan hidungmu yang cantik itu tidak terlihat di rumah mama. Kamu sudah membuat mama malu, tahu!"
"Malu kenapa, ma?" balas Marigold sambil memandang langit-langit kamarnya dan tersenyum. Disana, tertempel poster berukuran besar, seorang laki-laki super ganteng dan milyader. Jika orang lain mengidolakan artis dan aktor negeri ginseng, maka Marigold sangat mengidolakan seorang CEO dengan wajah dinginnya. Pertama kali melihat wajah super tampan itu di layar televisi, Marigold langsung terpesona.
Ocehan mamanya yang panjang kali lebar plus tinggi, tidak didengarkan Marigold. Masuk telinga kiri dan keluar telinga kanan. Karena keluhan mamanya hanya berkutat pada geng arisan yang selalu membanggakan anak, menantu, dan cucu.
Srek-srek.
Marigold bangun dari posisi berbaringnya, sambil melihat jam di nakas di sebelah ranjangnya. Alisnya terangkat kesal. Masih jam setengah enam pagi, dan mamanya sudah berisik menelponnya? Marigold kembali meregangkan otot-ototnya sebelum turun dari ranjang. Hari ini ada latihan pagi, jam sembilan di Dojo pamannya.
Dojo adalah tempat untuk latihan karate. Marigold yang berusia dua puluh tiga tahun, merupakan salah satu sensei atau yang disebut pelatih karate di Dojo. Kemampuannya cukup mumpuni di dunia karate. Beberapa kejuaraan daerah dan nasional pun telah dikantonginya semenjak remaja. Dojo milik pamannya yang baru dibuka dua tahun yang lalu ini, khusus melatih karate untuk usia anak-anak hingga remaja.
"Ma, apa mama sudah minum teh kesukaan mama pagi ini?" tanya Marigold sambil menguap dan menyiapkan ritual paginya.
Ritual pagi Marigold adalah membaca novel percintaan sambil menikmati secangkir teh bunga dandelion yang ringan, sedikit manis, serta beraroma segar bunga. Khasiat dari teh ini sangat dibutuhkan Marigold untuk memperkuat imunitas dan meningkatkan kesehatan tulang. Sangat cocok bagi Marigold yang menyukai olahraga karate.
"Persediaan green tea mama habis. Papamu yang pikun itu lupa membelikannya sewaktu pergi ke kota," omel jengkel mama Marigold.
Orang tua Marigold tinggal di sebuah desa yang permai, jauh dari keramaian kota. Selain itu, pekerjaan keduanya mendukung untuk tinggal di desa. Papa dan mama Marigold bekerja yang berhubungan dengan tanaman, yang sering dikenal sebagai ahli botani. Marigold pindah ke kota, mengikuti pamannya yang membuka Dojo baru, untuk mengisi posisi sebagai sensei.
Marigold yang mendengar keluhan mamanya yang tergila-gila dengan green tea, memutar bola matanya. Pantas. Mamanya akan uring-uringan, jika paginya belum menikmati secangkir green tea kesukaannya.
"Akan aku kirimkan green tea untuk mama hari ini juga," kata Marigold sambil menuangkan air panas ke dalam cangkir yang berisi teh kering dari akar dandelion. Marigold segera menghirup aroma teh dandelion yang menenangkan.
"Mama tidak butuh green tea darimu. Mama butuh menantu. ME-NAN-TU," teriak mama Marigold keras. "Kamu dengar itu, Marigold Flora?!"
"Tentu saja aku dengar, my mommy," jawab Marigold sambil menjauhkan ponsel dari telinga nya. "Suara sekeras itu, tetangga sebelah apartemen pun juga pasti mendengarnya," lanjutnya sambil menghirup teh dandelion dengan nikmat. Kemudian Marigold membawa cangkir itu dan novel yang belum selesai dibacanya ke balkon yang menghadap ke kolam bebek di taman apartemen.
"Kamu dengar apa, Marigold? Mama sudah bosan bertanya padamu, kapan kamu akan membawakan calon menantu untuk mama dan papa?"
Marigold menghela nafas lelah. "Jangan khawatir, aku pasti akan membawanya ke rumah mama."
"Kamu sudah mengatakan hal yang sama, dua minggu yang lalu. Mana.. mana buktinya? Mama menginginkan menantu sekarang, Marigold!"
"Ma, aku masih dua puluh tiga tahun. Aku masih muda, untuk apa setiap detik mama terus merecokiku dengan pernikahan?"
"Mama hanya tidak mau kamu menjadi perawan tua, Marigold. Mama tidak ingin kamu terlambat menikah, seperti mama yang baru menikah diusia empat puluh tahun. Pokoknya mama tidak mau tahu. Mama minta menantu sekarang. Titik!"
"Ma...," keluh Marigold dengan mengusap wajahnya, jengkel.
Dua minggu yang lalu, Marigold masih berstatus kekasih seorang pria bernama Nolan. Marigold sangat memuja Nolan, kekasihnya yang tampan dan keren. Bahkan semua temannya mengatakan bahwa dirinya sangat beruntung memiliki Nolan.
Namun dua minggu yang lalu, tiba-tiba Nolan hilang tanpa kabar. Marigold sudah mencarinya ke manapun, dan sosok tampan itu tetap tidak terlihat. Marigold tidak bisa bertanya kepada teman-teman Nolan, karena selama berkencan, kekasihnya itu tidak pernah sekalipun mengenalkan nya pada mereka.
"Aku belum punya pacar, ma," jawab Marigold lesu. Jawaban yang aman.
"Belum punya?! Bukannya kemarin kamu bilang sudah punya pacar dan akan mengenalkannya pada mama? Kenapa sekarang bilang tidak punya? Jangan-jangan kamu putus lagi ya," cecar mamanya tanpa jeda.
"Bisa dibilang begitu."
"Maksudmu apa, Marigold? Atau begini saja, di kelompok arisan mama ada anaknya Tante Sari. Dia.."
"No way mommy. No way. Aku bisa cari sendiri," tolak Marigold cepat. "Sial," umpatnya pelan saat teh dandelion nya tumpah ke celana piyamanya karena tersenggol tangannya. "Ma, aku.."
"Tidak ada bantahan! Jika sampai akhir tahun ini kamu belum memberikan menantu, mama akan nikahkan kamu dengan anaknya Tante Sari itu. Titik."
"Tidak mau," sergah Marigold. "Ma, akhir tahun itu tinggal satu bulan lagi, darimana aku bisa mendapatkan menantu untuk mama? Semisal aku mendapat pacar, memangnya dia mau langsung menikah denganku?"
"Mama tidak peduli. Pokoknya mama mau menantu dan cucu."
Ini lagi! Urusan menantu belum kelar, sekarang nambah urusan cucu. Pada siapa lagi, orang tuanya meminta cucu selain pada dirinya yang merupakan anak semata wayang. Marigold menghela nafas panjang. Dipandangnya dengan nanar awan hitam yang sedang menggantung di kota. Hati Marigold pun juga tidak kalah suram bila dibandingkan dengan cuaca kota yang sedang mendung itu.
"Marigold, kamu dengar tidak?"
Marigold menarik pikiran kalutnya pada suara mamanya yang menggelegar di telinga. "Aku dengar ma. Jangan khawatir, aku akan bawa menantu untukmu, ma," jawab Marigold lesu.
"Pastikan itu, Marigold," tegas mamanya. "Pokoknya mama tidak mau jadi yang orang terakhir menjadi besan dan nenek, di grup arisan."
"Siap jenderal."
Klik. Sambungan terputus.
Dengan cemberut, Marigold menegak habis teh dandelion nya yang sudah dingin. Kemudian dirinya bersandar pada pagar besi di balkon sambil menikmati angin sejuk yang menerpa wajahnya.
Tiba-tiba...
Plak.
"Astaga, apa ini?" serunya kesal sambil merenggut sebuah pamflet yang menempel tepat di wajahnya. Rupanya selebaran itu tertiup angin dan mampir ke balkon Marigold. "Pamflet apa ini?"
"Sebuah pemilihan gadis cantik yang memiliki identitas nama bunga. Pemenangnya akan menjadi kekasih dan pendamping Maximilian Alexander, seorang milyader terkenal."
Raut wajah Marigold saat membaca pamflet itu, semakin lama semakin ceria. Marigold segera berlari menuju kamarnya dan naik ke ranjangnya lalu mendongak.
"Sama, ini wajah yang sama," teriaknya girang sambil menunjuk ke arah poster miliknya yang berukuran jumbo di langit-langit kamarnya. "Milyader ku akan mengadakan pemilihan gadis," lanjutnya sambil mendekap selebaran itu dan meloncat-loncat di ranjang. "Coba kubaca sekali lagi syaratnya."
"Gadis perawan, dengan disertai surat keterangan dari laboratorium. Identitas nama bunga. Cantik," baca Marigold keras-keras sambil ber-yes ria. "Aku cantik kan? Tidak ada yang bilang aku jelek kan? Tentu saja, siapa yang berani bilang aku jelek, siap-siap berakhir di rumah sakit."
Marigold berlari lagi ke luar balkon, dimana dirinya mendapatkan tamparan kertas selebaran yang akan mengubah hidupnya. Kedua tangannya dicorongkan di depan mulutnya sambil berteriak...
"Mak, tunggu ya.. aku akan bawa menantu milyader untukmu. YES!"
Bersambung...
Yuvina, pewaris sah yang telah lama terlupakan, kembali ke keluarganya, mencurahkan isi hatinya untuk memenangkan hati mereka. Namun, dia harus melepaskan identitasnya, prestasi akademisnya, dan karya kreatifnya kepada saudara perempuan angkatnya. Sebagai imbalan atas pengorbanannya, dia tidak menemukan kehangatan, hanya pengabaian yang lebih dalam. Dengan tegas, Yuvina bersumpah akan memutus semua ikatan emosional. Berubah, dia sekarang berdiri sebagai ahli seni bela diri, mahir dalam delapan bahasa, seorang ahli medis yang terhormat, dan seorang desainer terkenal. Dengan tekad yang baru ditemukan, dia menyatakan, "Mulai hari ini dan seterusnya, tidak ada seorang pun di keluarga ini yang boleh menyinggungku."
Selin begitu mencintai suaminya, hingga tak sengaja melihat Edward yang menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan bersama dengan wanita lain. Dia sangat patah hati dan juga kecewa, tapi tetap mempertahankan rumah tangga yang baru berjalan lima tahun. Mampukah dia bertahan dengan merubah penampilan lebih menarik dari sang pelakor? Ataukah berhenti berjuang demi harga diri yang sudah di injak sang suami?
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”
Ika adalah seorang ibu rumah tangga yang harus berjuang mencari nafkah sendiri karena suaminya yang sakit. Tiba-tiba bagai petir di siang bolong, Bapak Mertuanya memberikan penawaran untuk menggantikan posisi anaknya, menafkahi lahir dan batin.
Kaindra, seorang pria ambisius yang menikah dengan Tanika, putri tunggal pengusaha kaya raya, menjalani kehidupan pernikahan yang dari luar terlihat sempurna. Namun, di balik semua kemewahan itu, pernikahan mereka retak tanpa terlihat-Tanika sibuk dengan gaya hidup sosialitanya, sering bepergian tanpa kabar, sementara Kaindra tenggelam dalam kesepian yang perlahan menggerogoti jiwanya. Ketika Kaindra mengetahui bahwa Tanika mungkin berselingkuh dengan pria lain, bukannya menghadapi istrinya secara langsung, dia justru memulai petualangan balas dendamnya sendiri. Hubungannya dengan Fiona, rekan kerjanya yang ternyata menyimpan rasa cinta sejak dulu, perlahan berubah menjadi sebuah hubungan rahasia yang penuh gairah dan emosi. Fiona menawarkan kehangatan yang selama ini hilang dalam hidup Kaindra, tetapi hubungan itu juga membawa komplikasi yang tak terhindarkan. Di tengah caranya mencari tahu kebenaran tentang Tanika, Kaindra mendekati Isvara, sahabat dekat istrinya, yang menyimpan rahasia dan tatapan menggoda setiap kali mereka bertemu. Isvara tampaknya tahu lebih banyak tentang kehidupan Tanika daripada yang dia akui. Kaindra semakin dalam terjerat dalam permainan manipulasi, kebohongan, dan hasrat yang ia ciptakan sendiri, di mana setiap langkahnya bisa mengancam kehancuran dirinya. Namun, saat Kaindra merasa semakin dekat dengan kebenaran, dia dihadapkan pada pertanyaan besar: apakah dia benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi di balik hubungan Tanika dan pria itu? Atau apakah perjalanan ini akan menghancurkan sisa-sisa hidupnya yang masih tersisa? Seberapa jauh Kaindra akan melangkah dalam permainan ini, dan apakah dia siap menghadapi kebenaran yang mungkin lebih menyakitkan dari apa yang dia bayangkan?