Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Mengejar Cinta Ustaz Tampan
Mengejar Cinta Ustaz Tampan

Mengejar Cinta Ustaz Tampan

5.0
43 Bab
3K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

“Kalau mau cari cowok baik-baik, cari di masjid subuh-subuh.” Bagaimana jadinya jika seorang perempuan berpenampilan tomboi, gemar mengoleksi film dewasa dan ketika berbicara tidak pakai filter, tiba-tiba menjadi rajin beribadah di masjid hanya untuk mencari jodoh? Dian merasa frustasi, karena tidak kunjung mendapatkan jodoh di usia pertengahan tiga puluh. Ditambah lagi teror dari sang Ibu. Gadis itu mengikuti saran dari kakak sahabatnya untuk mencari pria baik-baik di masjid pada waktu Subuh. Tak disangka ia melihat seorang ustaz muda berparas tampan, bernama Fajar Faizan. Usut punya usut, pria itu berprofesi sebagai seorang dosen di salah satu Universitas Islam. Dian jatuh cinta pada pandangan kedua dan berniat untuk mendapatkan perhatian Fajar. Dia sampai mengubah penampilan demi pujaan hati. Apakah perubahan yang bertujuan mendapatkan perhatian hamba-Nya ini bisa berhasil? Cover designed by Chay Graphic and owned by LeeNaGie

Bab 1 Teror Paling Mengerikan Bagi Wanita Lajang

“Pokoknya elu kagak boleh nikah sebelum Mpok lu nikah!” Terdengar suara wanita sedikit serak begitu lantang dari ruang tamu.

“Ya gak bisa gitu dong, Nyak. Aye udah kepengin nikah nih! Udah ade jodohnye. Masa iye harus nunggu Mpok nikah dulu? Emangnye Mpok udah ada jodohnye? Beluman pan.” Kali ini suara lainnya mendebat.

Desahan pelan meluncur dari bibir seorang gadis yang sedang berdiri di depan cermin berukuran besar. Bola mata bulatnya berputar malas ketika mendengar perdebatan dengan topik yang sama selama satu minggu belakangan. Apalagi seputar permasalahan adiknya yang ingin menikah, tapi terhalang restu orang tua.

Lebih tepatnya sang Adik belum diperbolehkan menikah, jika dirinya masih melajang. Artinya, setelah ini, ia akan dicecar lagi dengan teror yang sangat menakutkan bagi wanita lajang berusia kepala tiga. Apalagi jika bukan masalah jodoh.

Gadis itu memastikan lagi rambut model bob yang menjadi ciri khasnya sejak dulu, telah disisir dengan rapi. Setelah mencantolkan tas ransel di pundak, ia melangkah keluar dari kamar seolah tidak mendengar percakapan yang sedang terjadi.

“Pergi dulu, Nyak, Cit. Dah!” teriaknya dari radius lima meter.

“Mpok tunggu dulu!”

“Dian. Sini lu!” panggil dua orang perempuan berbeda generasi itu bersamaan.

Tubuh yang hanya memiliki tinggi 160 centimeter dan berat ideal itu berputar 180 derajat. Lagi-lagi mata bulatnya menatap malas.

“Aye mau ada wawancara dua jam lagi sama politikus, Nyak. Nggak ada waktu lagi.” Gadis bernama Dian itu mengetuk ujung jari telunjuk di bagian lingkaran jam tangan merek Casio, berwarna biru muda yang dikenakan di tangan kanan.

“Mpok buruan cari jodoh gih. Masa aye mau nikah gak dibolehin Nyak,” protes adiknya dengan wajah berkerut-kerut.

“Udah nikah aja sih. Emang ada peraturan adik nggak boleh nikah kalau kakaknya belum nikah?” balas Dian memalingkan wajah malas.

Sang Ibu membuang napas pendek sebelum menghampiri putri sulungnya. “Mau sampai kapan lu jadi anak perawan? Inget umur lu, Di. Nyak juga udeh kagak mude lagi. Udeh tue. Kapan mau gendong cucu?”

“Babe lu udeh kagak ade, siapa nyang mau jagain lu kalau Nyak udeh meninggal?” sambung sang Ibu dengan logat Betawi kental.

Dian menarik napas dalam, sebelum mendekati ibunya. Kedua tangan naik, lalu menggenggam bahu yang terasa sedikit keras. Mata hitam dihiasi kelopak yang tidak terlalu lebar itu menatap paras wanita yang telah melahirkannya. Tampak kerutan menghiasi daerah sekitar netra dan dahi.

Dalam hati ia menyadari, wanita paruh baya itu tidak lagi muda. Tuhan bisa saja mengambilnya sewaktu-waktu, seperti yang terjadi dengan sang Ayah.

“Aye juga kepengin banget nikah, Nyak.” Dian memandang mata yang terlihat begitu lelah. “Apalagi Keysa juga udah nikah nyusul Gita, Rara dan Ina.”

Nama-nama yang disebutkan barusan adalah nama keempat sahabat Dian. Mereka semua bergabung di dalam geng Remponger5 yang beranggotakan lima orang perempuan kece dengan karakter berbeda. Meski yang lain sudah menikah, mereka masih sering bertemu ketika akhir pekan. Tentunya minus Raline yang sekarang menetap di London, bersama suami bulenya.

Tawa getir meluncur dari bibir tipisnya. “Tapi belum nemu orang yang bisa bikin hati bergetar. Gimana dong?”

“Cinte bisa tumbuh setelah nikah, Di. Buktinya Nyak dan Babe. Makenye lu coba ketemu dulu sama yang mau Nyak ketemuin itu,” tutur Royati, ibu Dian.

“Bener tuh, Nyak. Buktinye Kak Raline dan Mas Aaron. Cinta setelah nikah,” imbuh sang Adik semangat.

Dian langsung memelototi adiknya, Citra. Bibirnya bergerak tidak jelas dengan gigi beradu.

“Doakan aja Dian ketemu jodoh hari ini ye, Nyak. Sekarang aye mau kerja dulu. Dua jam lagi mau ada interview sama Krisdayanti. Susah ganti jadwal interview lagi sama anggota dewan.” Dian memberi kecupan di kedua belah pipi sang Ibu, kemudian ngacir dari sana.

Embusan napas lega keluar begitu saja setelah berhasil keluar dari rumah tanpa hambatan lagi. Sekarang saatnya fokus bekerja, karena harus berjibaku dengan waktu. Bekerja sebagai wartawan membuat Dian sangat menghargai waktu, jika tidak karirnya akan habis.

Langkah kaki yang tidak terlalu panjang itu bergerak menuju kendaraan Toyota Veloz berwarna silver. Di bagian dinding tertulis logo dan nama Yohwa.com and Magazine, tempat Dian bekerja saat ini. Sebuah perusahaan modal saham asing, milik Indonesia dan Korea. Gadis itu bekerja sebagai wartawan di berita politik, karena tidak suka dengan gosip artis.

“Oke, kita pantau jalanan ke senayan dulu pagi ini.” Dian menyalakan monitor yang ada di dashboard kendaraan. Dalam hitungan detik tampilan map wilayah Jakarta muncul di sana. Jari tangannya mengetikkan alamat yang dituju.

“Syukur belum macet. Untung aja Nyak nggak ceramah panjang, jadinya nggak telat,” gumamnya lagi kemudian.

Dian menghangatkan kendaraan yang dipinjamkan kantor tadi malam, karena hari ini ada beberapa tempat tujuan yang harus didatangi. Motor yang biasa digunakan ke mana-mana mendadak ngadat, sehingga ia harus mengendarai kendaraan beroda empat hari ini.

Sembari menunggu mesin mobil hangat, ia memeriksa pesan di aplikasi whatsapp. Ruang obrolan pertama yang dibuka adalah grup Remponger5.

“Pagi-pagi udah rame aja mereka.” Dian tersenyum semangat membuka chat yang belum dibaca.

Mata hitam bulatnya berkedip pelan ketika membaca pesan dari Raline.

Rara Kambing: Guys, weekend ketemuan yuk! Gue pulang ke Jakarta besok. Kangen!!!

“Si Kambing pulang ke Jakarta?!” serunya tak percaya.

“Kangen gue sama lo, Mbing.” Dian bermonolog sembari senyam-senyum sendiri.

Tilikan matanya berpindah ke chat berikutnya. Kali ini dari Keysa, sahabat seperjuangan jomlo yang kini sudah menikah.

Keykey: Dian, ketemuan nanti bawa koleksi film lo ya. Butuh banget nih buat angetin ranjang.

Tawa Dian semakin lebar ketika membaca pesan Keysa. Ternyata hobi mengoleksi film dewasa yang ia miliki bisa bermanfaat bagi sahabat-sahabatnya. Gadis itu kembali meletakkan ponsel di dalam tas, lantas menatap lurus ke depan. Kepala yang dihiasi rambut pendek tersebut bersandar lesu ke jok mobil.

“Calon imam gue ada di mana sekarang?” lirihnya terdengar menyedihkan.

Jauh di lubuk hati terdalam, Dian ingin menikah seperti keempat sahabatnya. Apalagi usia sudah memasuki pertengahan tiga puluh. Benar-benar rawan jika belum menikah dalam waktu dekat.

“Ingat. Kalau mau cari cowok baik-baik, kalian cari di masjid subuh-subuh. Pilih yang masih single, jangan yang sudah beristri.”

Kalimat yang pernah dilontarkan kakak sahabatnya beberapa tahun lalu kembali terngiang.

“Ah, masa sih bisa cari di masjid?”

Dian mengangkat bahu singkat ketika hal yang menurutnya konyol terlintas di pikiran. Seumur hidup, ia hanya dua kali dalam setahun datang ke masjid, yaitu ketika salat Idul Fitri dan Idul Adha. Itu jika sedang mood. Salat lima waktu pun tidak pernah dilakukan. Jangan ditanyakan lagi apakah ia masih hafal bacaan salat atau sudah lupa. Hanya dia yang tahu jawabannya.

Tarikan napas panjang terdengar dari sela hidung, kemudian keluar perlahan melalui mulut. Jari tangan yang dihiasi gelang karet berwarna hitam itu bergerak menurunkan rem tangan. Dian langsung menginjak gas, sehingga dalam hitungan detik kendaraan berwarna silver telah meninggalkan pekarangan rumah yang tidak terlalu besar.

Sepanjang perjalanan, gadis itu bersenandung seraya menganggukkan kepala. Jari-jari lentik miliknya mengetuk pelan setir mobil mengikuti irama lagu Shape of You milik Ed Sheeran yang mengalun di radio. Hingga beberapa menit kemudian, kendaraan yang dikemudikannya harus melaju pelan ketika memasuki daerah berwarna merah di map.

“Pulo Gadung selalu macet dah,” keluhnya bersandar lagi di jok mobil.

Dian mengeraskan radio yang sekarang berganti memutarkan lagu melow dari penyanyi Indonesia Shanna Shannon berjudul Rela. Lirik lagu tersebut membuatnya kembali bernostalgia dengan kisah cinta yang pernah dirajut lima belas tahun lalu, tepat ketika ia mengenyam pendidikan di bangku universitas.

“Lo pasti udah nikah dan punya anak sekarang,” desisnya menempelkan kepala di dinding kaca pintu.

Gadis itu kembali menekan pelan gas mobil ketika kendaraan di depan maju. Biasanya setelah melewati seratus meter dari area ini, jalanan kembali normal. Saat kembali berhenti, tiba-tiba terdengar bunyi gesrek di samping mobil. Kepala yang dihiasi rambut model bob itu langsung menoleh ke kanan.

“Astaga!!”

Dian auto panik ketika tahu seorang pengendara motor baru saja menyerempet mobilnya. Tanpa berpikir panjang, ia segera turun melihat kondisi dinding mobil. Netra hitam bulat itu mendelik nyalang ketika mendapati goresan panjang dan sedikit penyok di bagian samping belakang kendaraan.

“Mas apa-apaan sih nyerempet mobil saya?” cetusnya berkacak pinggang.

Si pengendara motor yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam tersebut langsung turun, kemudian membuka kaca helm full face. Sepasang netra cokelat berbentuk almond terlihat di sana.

“Maaf, Mbak. Saya nggak sengaja,” ucapnya dengan sorot mata bersalah.

Tangan pria tersebut bergerak cepat mengambil dompet dari saku celana berbahan chino warna beige yang dikenakan. Dalam hitungan detik sebuah kartu nama sudah keluar dari dompet kulit berwarna cokelat tua.

“Sekali lagi maaf, Mbak. Saya akan bertanggung jawab, tapi sekarang nggak punya waktu untuk urus kerusakan mobil Mbak.” Pria itu menyerahkan kartu nama yang dipegang kepada Dian. “Ini kartu nama saya. Mbak bisa hubungi saya lagi untuk membahas biaya perbaikannya.”

Kening berukuran tidak terlalu lebar tersebut mengernyit rapat. “Wah, nggak bisa gitu dong, Mas! Ini mobil kantor, bisa runyam masalahnya kalau Mas kabur kayak gini.”

Kepala yang ditutupi helm full face itu bergerak ke kiri dan kanan. “Saya nggak berniat kabur, Mbak. Ini kartu nama saya, jadi Mbak bisa hubungi saya.”

“Mana jaminan kartu nama yang Mas kasih asli?” Kedua alis Dian naik ke atas sehingga membuat matanya membulat sempurna.

“Astaghfirullah, Mbak. Saya benar-benar nggak bermaksud menipu.” Pria itu melihat ke sekeliling, ternyata kendaraan di depan Dian telah bergerak ke depan sehingga mobil di belakangnya menyalakan klakson bersahut-sahutan.

“Saya harus tiba ke kampus lima belas menit lagi. Saya dosen di Universitas Islam daerah Cempaka Putih.” Pria itu masih mengulurkan tangan dengan sebuah kartu nama terselip di sela jari. “Ini benar-benar kartu nama saya.”

Dian menarik napas singkat kemudian menerima kartu nama tersebut. Pandangannya beralih kepada pria yang sejak tadi tidak melepaskan helm yang dikenakan. Tilikan netra hitam itu bergerak ke atas hingga bawah tubuh pria tersebut. Setidaknya penampilan orang yang mengaku dosen ini memang terlihat rapi, seperti karyawan kantoran.

“Awas kalau berani nipu saya!”—Dian mengingat plat nomor motor yang menyerempet mobil,— “Saya lapor polisi loh,” ancamnya kemudian dengan tatapan sengit.

“Saya jamin 100% kartu nama itu asli, Mbak. Sekali lagi saya minta maaf. Jangan lupa hubungi saya tiga jam lagi,” pungkas pria itu segera kembali lagi menaiki motor keluaran Yamaha N-Max terbaru.

“PINGGIRIN MOBILNYA WOOI!!” teriak salah satu pengemudi mobil yang terhalang oleh kendaraan Dian.

Perhatian gadis itu teralihkan kepada mobil yang sudah menyalakan klakson bergantian. Dian langsung menaiki kendaraan beroda empat tersebut, sebelum melihat lagi pria yang menyebabkan dinding bagian belakang mobilnya tergores.

“Fajar,” gumamnya pelan seraya membaca kartu nama yang ada di tangan. Sorot matanya tampak menyeramkan seketika. “Awas aja lo kalau coba nipu gue! Sampai ke akhirat bakalan gue kejar.”

Bersambung....

Hai jumpa lagi di novel keempatku di Ceriaca. Semoga suka dengan novel ini ya. Ceritanya ringan, gak seberat tiga novel sebelumnya. Enjoy and happy reading. ^^

Jangan lupa follow IG @Leena_gie yaa.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY