Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Mawar Hitam Berdarah
Mawar Hitam Berdarah

Mawar Hitam Berdarah

5.0
48 Bab
1.2K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Maria, seorang janda yang meminta cerai dari sang suami karena sudah tidak tahan dengan tekanan dari berbagai pihak. Mulai dari mertua yang selalu menyebutnya wanita cacat karena belum bisa melahirkan seorang anak untuk sang suami, suami yang tidak pernah membelanya malah terkesan ikut menyudutkan, dan yang paling menyakitkan saat suami menikah kembali, tapi tidak pernah adil dalam memberi nafkah lahir maupun batin. Maria kira hidupnya tidak akan pernah mendapatkan cinta, tapi rupanya laki-laki menyebalkan yang menjadi bos di tempat dia kerja mampu mengaduk-aduk hatinya. Di saat bersamaan, mantan suaminya juga kembali mengejar-ngejar. Siapa yang akan Maria pilih pada akhirnya? Bos yang lajang atau mantan suami yang memintanya kembali?

Bab 1 Istri kedua Fiko

Maria yang tengah membuat bubur untuk Marni sang mertua terkejut dengan kedatangan Fiko sambil menggandeng tangan seorang perempuan cantik. Tanpa rasa bersalah, Fiko memperkenalkan perempuan di sampingnya sebagai istri barunya kepada Maria. Maria hanya mematung syok tanpa bisa berucap apa-apa sampai perempuan itu mengulurkan tangannya untuk mengajak Maria berjabat tangan.

"Perkenalkan! Nama aku Sela Anastsya Arindi, istri keduanya Mas Fiko." Sela tersenyum manis ke arah Maria. " Kamu pasti Maria, istri pertamanya Mas Fiko."

Maria tidak menanggapi perempuan yang mengaku bernama Sela itu membuat Fiko menggeram marah. "Maria! Mana sopan santunmu? Cepat terima uluran tangannya Sela!" Fiko meninggikan suaranya karena merasa Maria malah melamunkan sesuatu dan bukannya dengan cepat menyambut uluran tangan Sela. Fiko tahu Maria shok, tapi tidak dengan mengabaikan Sela. Kalau Maria tahu tujuannya menikahi Sela, Fiko yakin Maria akan berterima kasih pada dirinya dan Sela.

Maria tersentak karena mendengar nada tinggi yang diucapkan Fiko padanya. Pelan, sebuah air mata lolos dari sudut matanya. Selama ini, sesalah apa pun Maria pada Fiko, Fiko tidak pernah membentak atau meninggikan suaranya dalam menegur, namun sekarang hanya demi wanita yang baru, Fiko tega membentaknya. Dia juga tidak menyangka Fiko akan menduakannya setelah 3 tahun pernikahan mereka. "Mas, ka-kamu menikah lagi?"

Hati Fiko tercubit ketika menyadari ada air mengalir dari mata Maria. Istri yang ia nikahi 3 tahun lalu itu kini meminta kejelasan dengan apa yang ia perbuat. Keinginannya untuk segera memiliki keturunan mendorongnya agar menikahi perempuan lain tanpa menceraikan Maria. "Maafkan Mas Maria. Mas sangat ingin segera memiliki anak. Karena kamu belum bisa kasih itu ke Mas, terpaksa Mas menikahi Sela."

Hati Maria sakit mendengarnya. Maria memindai penampilan Sela yang terlihat berkelas, rambut hitam bergelombang, wajah cantik, kulit mulus, serta baju dan perhiasan lainnya melekat indah di tubuhnya. Sedangkan dirinya hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang kesehariannya berada di dapur, mengurus rumah, serta mengurus mertua yang terduduk di kursi roda.

"Fiko, kamu sudah pulang Nak." Seorang wanita paruh baya menghampiri mereka dengan menggunakan kursi roda. Dia Marni, Ibunya Fiko yang terkena setruk hingga harus duduk di kursi roda.

Dengan cepat Fiko menghampirinya untuk membantu mendorong sampai ke hadapan semua orang. Kemudian dia mengangkat Marni dan mendudukkannya di kursi makan. "Ya, Ibu. Aku membawa Sela untuk bertemu ibu dan Maria."

Seketika senyum cerah Marni terbit. Dia menatap Sela dengan binar mata yang membuat hati Maria makin sakit karena tidak pernah melihat binar itu untuk dirinya. "Ya ampun. Mantu kesayangan ibu sudah datang. Cantik banget kamu sayang."

"Terima kasih atas pujiannya, ibu." Sela tersenyum manis. “Bagaimana kabarnya Ibu?" Tanya Sela, dengan lembut Sela membawa tangan Marni dan menggemgamnya di atas paha.

Marni makin melebarkan senyumannya. Dia balik menggemgam tangan Sela erat. “Sangat baik setelah bertemu denganmu." Jawabnya lugas sambil melirikkan matanya sedikit ke arah Maria. Marni tersenyum puas karena mendapati wajah Maria yang keruh.

Fiko ikut duduk di kursi sebelah Marni, dan ikut memegang tangan Sela dengan lembut. "Terima kasih Sela. Kamu sudah buat Ibu Mas bahagia. Padahal, kamu baru saja datang di rumah ini."

Sela mengibaskan tangannya yang tak digenggam Fiko dan Marni. "Itu bukan apa-apa. Ibunya Masakan, Ibunya aku juga. Kalau ibu bahagia, aku juga ikut bahagia."

Mereka tertawa bersama melupakan seseorang yang tengah menahan sakit karena tak dianggap ada. Maria melihat mata Marni yang memandang Sela lembut. Padahal Sela baru datang hari ini, namun dia sudah bisa menarik perhatian Marni untuk menyukainya. Sedangkan dirinya yang sudah 3 tahun ini selalu merawatnya, mulai dari memberi makan, obat, memandikan, mengantar pup serta buang air kecil, tak pernah sekalipun di pandang selembut itu. Maria selalu terkena marah dengan alasan tak becus, inilah, itulah, dan berakhir mengadukannya pada Fiko.

Dalam diam, Maria meninggalkan mereka dan masuk ke kamarnya. Dia terduduk di atas ranjang dengan pandangan kosong. Tak lama pintu terbuka menampilkan Fiko yang menatapnya rumit.

"Maria, sekarang kamu bereskan semua barangmu yang ada dikamar ini."

Maria menatap heran kearah Fiko. "Kenapa Mas?"

Fiko membuang muka enggan melihat wajah Maria. "Mas dan Sela yang akan menempati kamar ini."

Mari berdiri menatap marah Fiko. Dia tidak menyangka Fiko tega mengusirnya hanya demi Sela. "Tega kamu mas. Aku ini juga istri kamu. Kalau tidak tidur disini, dimana aku tidur?"

Fiko menghela nafas lelah. Dia berjalan mendekati Maria dan memegang kedua bahunya. "Mas minta maaf Maria. Mas juga tidak tega, tapi Sela tidak mau tinggal disini kalau tidak menempati kamar ini. Tolong mengerti Mas, Maria!"

Mari menepis kedua tangan Fiko yang bertengger dibahunya. "Aku tidak mau mengerti Mas. Kalau dia tidak mau tinggal di sini, biarkan saja dia pergi. Lagian, tidak ada dalam sunnah Nabi, wanita yang di madu tinggal serumah dengan madunya.

"Tapi, Mas hanya punya rumah satu? Kalau tidak di sini, ke mana lagi?" Fiko mencoba memberi pengertian.

"Makanya jangan sok-sok an ingin beristri dua!" Maria menjawab ketus.

Fiko menatap Maria tak suka. Dia tidak menyangka kata-kata itu keluar dari mulut istri yang sangat dia cintai itu, terlebih dia tahu Maria adalah gadis sopan santun yang tak pernah dengan sengaja menyakiti hati orang lain. "Mas enggak menyangka kamu bisa bicara seperti itu, Maria."

"Dan aku juga tidak menyangka Mas tega mengusirku dari kamar ini demi istri barumu."

Fiko mengusap wajah kasar. Dia juga tidak tega harus memperlakukan Maria seperti ini, namun dia juga bingung kalau tidak dikamar ini, di mana Sela bisa tidur. "Kamu tidur bareng Ibu." Putusnya tanpa mengerti perasaan Maria.

Sekali lagi air mata Maria menitik. Buru-buru dia mengusapnya kasar, "Ibu tidak pernah menerimaku dengan baik, bagaimana bisa aku tidur sekamar dengannya?"

"Itu karena kamu tidak pernah memperlakukan Ibu dengan baik, makanya Ibu begitu. Coba saja kalau kamu bisa sedikit lebih pengertian ke Ibu. Aku yakin, Ibu pasti menyukaimu." Jawab Fiko enteng.

"Kurang pengertian apa aku, mas. Setiap hari yang merawat dan memperhatikan Ibu itu aku. Lalu apalagi yang kurang?" Maria menyorot Fiko terluka. Memang Fiko sering memarahinya karena Marni selalu mengadu yang tidak-tidak pada Fiko tentang Maria. Namun, dia selalu mencoba bersabar demi mempertahankan rumah tangganya. "Kenapa kamu tidak menyuruh Sela saja yang tidur dengan Ibu. Ibu menyukai Sela."

Fiko menghembuskan napas frustasi. "Sela itu baru dirumah ini. Tentu dia harus beradaptasi dulu. Setidaknya beri dia waktu satu bulan. Setelah itu, kamu boleh kembali menempati kamar ini."

Tanpa persetujuan Maria, Fiko mengeluarkan semua barang Maria dan memindahkannya ke kamar Marni. Maria hanya berdiri tanpa berbuat apa-apa. Matanya memang tidak menangis, namun hatinya sakit luar biasa. Dia sudah diperlakukan seperti pembantu di rumah ini, namun hanya ke tidak adilan yang dia dapat.

Maria berjalan dengan menyeret langkahnya yang berat menuju kamar sang mertua. Begitu pintu terbuka, sebuah bantal melayang tepat mengenai mukanya. "Tidur dilantai kamu. Saya tidak sudi seranjang denganmu."

Marni tersenyum puas melihat Maria berdiri dengan tatapan kosong diambang pintu. Tanpa banyak bicara dia merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk dan berselimut tebal.

Maria tidur dilantai tanpa alas apa pun kecuali bantal untuk menyangga kepala yang tadi dilempar Marni. Malam semakin larut. Semua penghuni rumah sudah tertidur pulas kecuali Maria yang sedang menahan dinginnya lantai. Sesekali dia menggosok tangannya untuk menghalau dingin. Namun percuma, ternyata dingin itu tak kunjung hilang.

***

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY