Unduh Aplikasi panas
Beranda / Adventure / Segitiga Penguasa - Sudut Pertama
Segitiga Penguasa - Sudut Pertama

Segitiga Penguasa - Sudut Pertama

5.0
20 Bab
313 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Malam yang tragis. Membuat seorang lelaki harus rela meninggalkan sahabatnya sendiri di tengah-tengah kejaran para prajurit kerjaan. Bersama istri, anak, dan seorang bayi titipan sahabatnya, ia kembali ke desa asalnya. Selang empat tahun setelah kejadian itu, seorang perempuan yang tengah memangku seorang bayi yang baru dilahirkannya, seketika menjerit histeris manakala melihat suaminya sendiri harus mati tepat di depan matanya. Sebelum punggungnya tertusuk panah, lelaki itu telah lebih dulu meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah ia perbuat. Kemudian, setelah dua puluh tahun berlalu, Marcapada, yang waktu kecil telah kehilangan ibunya, bersama Soma, anak sebatang kara yang tinggal di pinggir desa, serta puluhan pemuda lainnya, harus mengikuti kompetisi pertarungan demi mendapatkan gelar sebagai seorang Penjaga.

Bab 1 Sebuah Pelarian (Bagian 1)

Di sebuah hutan, dua puluh empat tahun lalu …

Senja pergi begitu tergesa. Awan kelabu membola pekat, menculik paksa semburat jingga dari langit sore. Gerimis datang perlahan. Sesekali, kilatan cahaya di hamparan langit menyibak kegelapan. Suasana memuram. Menyisakan kengerian, sekaligus ketegangan.

Terengah-engah, kedua lelaki berbadan tegap, berpakaian perang lengkap, dengan sederet luka menghiasi sekujur tubuh, terus berlari tanpa henti. Salah seorang lelaki membawa buntelan kain yang ia peluk erat dalam dekapannya. Rimbunan semak dan perdu mereka trabas tanpa menghiraukan ratusan duri yang akan membuat luka baru. Tak jauh di belakang, puluhan orang memburu mereka dengan senjata teracung.

Nyawa kedua lelaki itu tengah menjadi perlombaan untuk sesegera mungkin dihabisi. Siapa saja yang dapat memenggal kepala salah seorang, atau keduanya sekaligus, akan mendapat kenaikan jabatan. Dan hadiah semacam itu terlalu menggiurkan untuk diabaikan.

Sambil masih terus berlari kencang, jantung kedua lelaki itu pun berdebar tak keruan. Derasnya guyuran keringat membaur pasrah dengan tetes hujan. Udara di ujung hari mendadak terasa begitu dingin. Seolah menjelma bagai ribuan jarum yang menusuk. Menghadirkan rasa sakit yang tak mungkin diabaikan. Tak langsung mematikan, namun membunuh perlahan.

Masih di dalam pelarian, mendadak, salah seorang lelaki menghentikan langkah kakinya. Pandangannya sekilas berpaling ke arah buntelan kain yang ia bawa. Rona kesedihan terpancar dari air mukanya. Dibukanya perlahan buntelan kain itu. Dan seketika, wajah mungil seorang bayi mencuat dalam dekapannya.

Sadar dengan tindakan yang diambil oleh sahabatnya, lelaki lainnya ikut menghentikan pergerakan.

“Ada apa?” lelaki itu bertanya. Raut ketegangan jelas tergambar di wajahnya. Perhatiannya lalu beralih ke arah belakang. Celingak-celinguk ia menerawang, cemas. “Kita tak boleh berhenti di sini. Mereka semua semakin dekat.”

“Aku sudah tak kuat lagi. Tolong, bawa anakku bersamamu,” salah seorang lelaki menyodorkan buntelan kain berisikan bayi kepada sahabatnya. “Pergilah, biar aku yang mengadang mereka.”

“Tidak! Aku tidak bisa.”

“Kau tidak bisa menolaknya. Hanya ini jalan satu-satunya yang kita miliki,” potong lelaki itu, memaksa. Sebulir darah mengalir jatuh dari pelipis kanannya. “Harus tetap ada yang bertahan di antara kita,” lanjutnya.

Lelaki lainnya mantap menggelengkan kepala. “Tidak! Kita harus tetap bersama. Kita tak boleh terpisah.”

Perihnya sederet luka yang menganga, terkikis habisnya tenaga, dan beberapa luka tusuk yang terus mengeluarkan darah segar, membuat tungkai-tungkai kaki lelaki itu tak kuat lagi menopang berat tubuhnya sendiri. Ia tersungkur sambil terus memeluk buntelan kain berisikan bayi.

Melihat sahabatnya terjatuh, dengan sigap lelaki lainnya berusaha membantu. Ia memposisikan diri setengah berjongkok. “Sepertinya kau sudah tak mungkin lagi berjalan, biar aku yang menggendongmu.”

“Tidak usah. Bawalah saja anakku ini. Kumohon.” Sekali lagi, seorang bayi mungil yang berada dalam buntelan kain kembali disodorkan ke arah depan.

Lelaki penerima bayi itu tak dapat berkata apa pun lagi. Tak ada lagi kata-kata penolakan yang dapat ia ucapkan. Pasrah, ia pun menerima pemberian sahabatnya.

“Sembunyikan dia di tempat yang aman. Jaga ia agar terus bisa bertahan hidup.”

“Kita bisa melarikan diri bersama-sama,” lirih, lelaki itu bersuara.

“Tidak! Kau tidak akan kuat jika harus—”

“Kuat! Aku pasti kuat membawa kalian berdua.”

Lelaki dengan luka di sekujur tubuhnya itu tersenyum kecut. “Mungkin kau kuat, tapi pergerakanmu sudah pasti akan melambat. Kau seharusnya sadar betul siapa musuh kita. Walau dalam keadaan tidak terluka, kita belum tentu dapat mengimbangi mereka. Mereka ….” mati-matian, lelaki itu berusaha mengatur napas. Satu tangannya secara spontan bergerak memegangi bekas luka tusuk di bagian perut. Ia melenguh, menahan rasa nyeri yang terasa semakin menjadi-jadi. “Mereka … ditambah dengan keempat Jenderal keparat itu, sama saja bunuh diri jika melawan mereka semua.”

“Tapi ….” Buliran air mata tak dapat terbendung lagi. Tangis kegagalan menjadi penghias sempurna untuk suasana malam yang tengah memuram.

Dari celah kain yang sedikit terbuka, seorang bayi yang baru beberapa hari terlahir ke dunia merasakan lembut buliran air mata yang jatuh ke wajah mungilnya, bergerak perlahan menelusuri tubuhnya. Tanpa mengerti apa yang sedang terjadi, ia terus tersenyum bahagia di tengah-tengah gerimis yang sedari tadi mengecupi wajahnya.

“Pergilah. Kumohon.”

“Tapi ….”

“Kumohon.”

Getir, sambil bangkit berdiri, lelaki itu sekuat tenaga menahan tangis. Ia dekap erat buntelan kain berisikan bayi dalam gendongannya. Dengan kucuran air mata, ia memandang nanar ke arah sahabatnya.

Tanpa perlu ada lagi kata di antara mereka berdua, sebuah salam perpisahan diantar oleh rintik gerimis yang terus berjatuhan. Lelaki dengan sederet luka di sekujur tubuhnya itu tersenyum hangat ke anak semata wayang, dan satu-satunya sahabatnya yang tersisa.

Akhirnya, derap langkah seorang lelaki yang sejatinya tak ingin meninggalkan kawannya sendiri harus terjadi. Ia dihadapkan pada pilihan yang teramat sulit. Di situasi genting semacam ini, tak mungkin baginya berlama-lama untuk bernegosiasi. Keadaan mengharuskannya mengabaikan hati nurani. Jika ia tak segera melarikan diri, maka benar apa yang dikatakan oleh sahabatnya, tak akan ada lagi yang tersisa di antara mereka. Kisah perjuangan mereka akan pasti berakhir dengan akhir yang tragis.

Sambil memandang nanar ke arah punggung sahabatnya, lelaki itu berkata lembut kepada buah hatinya yang semakin dibawa jauh dari sisinya. Selamat tinggal, anakku. Dengan cerih-cerih tenaga yang sudah tak seberapa, ia pun berusaha bangkit berdiri.

Lelaki itu lalu membalikkan badan, bersiap kembali memulai pertarungan. Kedua tangannya kuat mengepal. Ini akan menjadi pertarungan terakhirku, batinnya menegaskan. Tak berselang lama, puluhan orang dengan senjata di tangan telah berada di dekatnya.

Menyaksikan banyaknya musuh di depan mata, lelaki itu justru menyeringai bak pemangsa. “Majulah, kalian semua!” serunya lantang.

Di bawah guyuran sinar purnama, di atas hamparan bukit, seorang lelaki berambut panjang, mengenakan jubah putih, berdiri tegap menatap langit malam yang terang benderang. Kedua tangannya bertaut di belakang pinggang. Kedua bola matanya tetap awas mengamati riak air yang keberadaannya tak begitu jauh di depan.

“Tuan.” Seorang prajurit bertubuh kurus bergegas berlutut. Air mukanya memperlihatkan raut kepanikan.

“Apa anak itu sudah lahir?”

“Su—sudah, Tuan.”

“Lalu apa yang kau lakukan bersama dengan anak buahmu?”

Prajurit itu terdiam. Bingung harus menjawab apa.

Lelaki itu menoleh ke arah prajurit yang masih berlutut di dekatnya. “Berdirilah,” perintahnya.

Air muka prajurit itu pucat pasi. Meski ragu, perlahan ia mulai bangkit berdiri. “Ma—maafkan aku, Tuan. Aku sadar, aku sudah berbuat salah. Maafkan aku,” pinta prajurit muda itu. Penuh dengan ketidakyakinan, dan terselimuti rapat ketakutan.

“Kau tak perlu merasa bersalah. Semua ini sudah berjalan sesuai dengan apa yang aku rencanakan.”

“Benarkah itu, Tuan?”

Lelaki itu mengangguk. Tersenyum tipis.

Pelan-pelan, prajurit muda itu lalu memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya, melihat wajah Tuannya. Tak ada raut kemarahan di sana. Sebersit senyum seketika tergambar. Kepanikan yang sempat hinggap seketika lenyap.

“Pergilah,” ucap lelaki itu seraya tersenyum.

“Terima kasih, Tuan.” Prajurit itu berbalik. Bersiap pergi.

Sambil menyunggingkan senyum simpul, prajurit yang baru beberapa hari menjalankan tugasnya itu akhirnya menjauh dari tempat keberadaan Tuannya. Langkahnya ringan. Kelegaan tergambar jelas di setiap embusan napasnya. Tapi tunggu, tepat setelah batinnya bersuara, langkah kakinya sejenak tertunda. Kenapa bayi itu dibiarkan hidup? Bukankah seharusnya bayi itu dihabisi?

“Ada apa prajurit?” tanya lelaki berambut panjang. Melihat ada gelagat tak baik yang kentara dari seorang prajurit di depannya.

Merasa telah melakukan tindakan yang keliru, prajurit itu buru-buru menoleh ke belakang. “Ti—tidak, Tuan. Tidak ada apa-apa. Saya permisi,” katanya, disisipi cengiran lebar. Langkah kakinya pun kembali berlanjut.

Sambil memandangi punggung prajurit yang mulai menghilang di dalam kegelapan malam, seorang lelaki dengan kedua tangan yang masih bertaut di belakang pinggang menyunggingkan senyum lebar. Bagus, rencanaku berjalan sempurna.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY