Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Di Balik Senyum Istri
Di Balik Senyum Istri

Di Balik Senyum Istri

5.0
51 Bab
27.8K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

“Laki-laki itu tidak perlu ijin istri untuk menikah lagi,” katanya. Mendengar ucapan Ayah bisa kulihat Ibu malah tertunduk lagi, ada apa sebenarnya? kenapa dia hanya diam tanpa suara?   “Dari sekian banyak sunah nabi kenapa harus poligami, Riana biar kutanya langsung padamu, bersediakah kamu jadi istri kedua suamiku?”   “Hmm, aku, tolong kasih aku waktu, aku engga bisa ngasih keputusan sekarang,” jawab Riana.   “Kenapa nak Riana bukannya kamu dan Bagas sudah saling kenal, bukankah kalian sudah dekat sejak kuliah?” tanya Ayah mertua. Hah? Apa ini jadi mereka pernah dekat? Kenapa hidup serumit ini. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum menyaksikan permainan takdirku.   “Kenapa Dek, kenapa kamu malah senyum?” Mas bagas menatap heran ke arahku, raut mukanya tampak gelisah mungkin dia takut aku akan meledak.   “Kenapa dunia ini begitu sempit, Mas? kamu sendiri bagaimana? maukah menikahi mantan teman sebangkuku?” Aku harus memastikan ini sendiri disaksikan kedua orang tuanya. Dia lagi-lagi tak menjawab.   “Tentu saja suamimu tidak akan menolak menikah dengan wanita cantik seperti Riana, toh mereka juga sudah saling mengenal,” sambar ayah mertuaku.   “Kalau tolak ukur menikahi wanita hanya dilihat dari kecantikannya, apakah setelah menikah ada jaminan dia akan memiliki anak laki-laki, kalau tidak bukankah semuanya sia-sia?”

Bab 1 Bertemu Calon Madu

“Kiran, Mas mau ngomong serius.” Mas Bagas tiba-tiba mendekatiku lalu berbisik pelan, mungkin khawatir anak-anakku akan terbangun mendengar suaranya. Dia menarik lengan, lantas menuntunku keluar kamar supaya kami lebih leluasa untuk bicara.

“Kiran kamu tahu ‘kan, selama ini orang tua Mas nuntut Mas buat punya anak laki-laki terus?” Digenggamnya tanganku dengan erat.

“Terus?” tanyaku singkat.

“Ayah nyuruh Mas nikah lagi.” Seketika senyum terukir di bibirku, lalu perlahan kulepaskan genggaman tangan Mas bagas.

“Sudah kuduga ini bakal terjadi Mas.” Mas Bagas kembali memegang tanganku kini dia memelukku dengan erat. Apakah melahirkan anak perempuan sebuah kesalahan aku bukan wanita yang kurang subur? Aku bahkan sudah memberinya 3 cucu perempuan.

“Bolehkah aku menolaknya?” Aku ingin tahu apakah Mas Bagas berpihak padaku.

“Mas udah nolak berkali-kali, tapi Ayah tetap ngotot.”

“Sebenarnya apa mau mereka, Mas? Apa bener cuma karena cucu laki-laki atau ada yang lain?”

“Maksud Adek?” Dia melonggarkan pelukannya padaku menatapku dengan penuh tanya.

“Bolehkah Adek menyerah?”

“Engga ada yang boleh nyerah De, baik Mas atau Ade sekalipun.” Mas Bagas mengatakannya dengan mantap.

“Apa sesulit ini ketika orang miskin sepertiku nekat menikah dengan konglomerat sepertimu, Mas?” Entah kenapa orang tua suamiku selalu saja menuntut banyak hal padaku.

“Tidak cukupkah ijazah S1 milikku? Aku bahkan rela kuliah demi bisa mempertahankan rumah tangga kita.” Seketika aku tersenyum hanya dengan mengingatnya. Aku menghabiskan waktu 4 tahun di universitas, hanya untuk memuaskan mertuaku. Mereka bilang aku tak cukup berpendidikan untuk bersanding dengan putranya.

“Kita diundang ke rumah Ayah besok pagi, katanya dia sudah menyiapkan calon istri untuk Mas.” Calon istri katanya bahkan aku belum menyetujuinya.

“Mas seneng ‘kan bakal punya istri 2? Mana ada laki-laki yang nolak di suruh nikah lagi,” sindirku padanya.

“Adek ini ngomong apa? Mas masih di sini ga akan ada orang lain di antara kita. Kita hadapi besok berdua ya.” Dia menangkupkan kedua tangannya di wajahku.

“Sekalipun wanita itu lebih muda dan cantik dariku?”

“Tidak ada yang lebih cantik dari Karina Widyawati istri mas tercinta.” Dia tersenyum ke arahku, membuat amarah padam seketika. Beginilah kelemahan wanita hanya dengan satu kalimat mampu mengubah amarah menjadi rona kemerahan di wajahnya, aku tersipu malu Mas Bagas berhasil menggodaku. Malam semakin larut bukan waktu yang baik untuk berdiskusi kami pun kembali ke kamar, sudah waktunya tubuh ini diistirahatkan. Sayangnya setelah sampai kamar mataku enggan terpejam. Ini malam yang panjang bagiku, mendengar suamiku akan menikah lagi. Jangankan untuk terpejam sekedar menenangkan hati sejenak pun aku kepayahan, gelisah melanda sanubariku.

“Dek, kamu ga tidur?”

“Astaghfirrullah Mas, ih ngagetin aja.” Suaranya benar-benar mengagetkanku.

“Tidurlah Dek, besok kita butuh tenaga ekstra. Jangan khawatir sayang Mas akan selalu ada buat kamu.” Aku tersenyum ke arah Mas Bagas. Sungguh aku ingin selalu mendengar kalimat itu terus terucap dari mulut suamiku sampai akhir hayat.

“Benarkah?”

“Hm.” Mas bagas hanya berdehem, sambil merentangkan tangannya memberi kode agar aku mau mendekat ke sisinya. Tak menunggu lama, entah karena fisiikku yang memang sudah waktunya diistirahatkan atau karena hatiku yang jauh lebih tenang. Aku pun menyusul Mas Bagas ke alam mimpi dalam dekapannya. Keesokan harinya sesuai janji, kami berkujung ke kediaman mertuaku. Tampak sebuah mobil mewah terparkir di halaman rumah, mungkinkah itu milik calon maduku? Karena sebelumnya aku tak pernah melihat mobil seperti itu terparkir di garasi mobil mertuaku.

“Kenalin Bagas ini Riana, calon istri kamu,”

“Riana?” Bukankah itu teman sebangkuku waktu sekolah dasar dulu.

“Maaf siapa?”

“Aku Karin, Karina Widyawati. Teman sebangkumu waktu sekolah dasar.” Aku mencoba menjelaskan seingatku mungkin tak lupa kusuguhkan dengan senyum ramahku.

“Ga nyangka ya, kita bakal ketemu dengan cara kayak gini.” Kata Riana.

“Bagus dong kalau kalian saling kenal ini akan lebih baik ke depannya,” ucap Ayah mertuaku. Sementara Ibu mertuaku sedari tadi hanya diam menunduk, entah apa yang ada dalam pikirannya, tampak gurat kesedihan tersirat di wajahnya.

Belakangan ini aku memang sempat merindukan Riana. Ingin sekali rasanya aku bertemu dengannya kembali karena setelah lulus sekolah dasar kami tak pernah lagi berjumpa yang aku tahu dia ikut pindah bersama orang tuanya. Tak kusangka do’aku diijabah Tuhan dengan sangat cepat, tetapi bukan pertemuan seperti ini yang aku harapkan. Sekilas aku melirik Mas Bagas, dia tampak terpukau dengan penampilan Riana. Balutan dress bodycon selutut sangat pas di padupadankan dengan hak tinggi yang berwarna senada serta rambutnya yang hitam kecoklatan dibiarkannya terurai begitu saja. Laki-laki mana yang tahan kalau di hadapkan pada wanita seperti itu, melihat suamiku terpesona dengan penampilan Riana, hatiku bagai ditusuk belati, sakit sekali.

Astaghfirrullahaladzim.

“Mas,” Kutepuk lutut suamiku yang masih saja ternganga memandang Riana.

“Eh iya Dek, kenapa?” Aku tersenyum ke arahnya.

“Dia cantikkan?” bisikku ke telingan Mas Bagas.

“Hm iya eh tapi lebih cantik kamu, De,” ucap Mas Bagas gelagapan dia memang bukan tipe laki-laki yang pandai berbohong.

“Maaf semuanya saya permisi dulu mau ke toilet.” Tak lupa kuberikan senyum termanisku pada mereka, setelah itu aku berjalan menuju kamar kecil. Terlalu menyesakkan berada dalam situasi seperti ini.

Aku tak pernah menentang poligami tetapi haruskah itu terjadi pada rumah tanggaku. Aku belum siap Tuhan sekalipun Engkau janjikan tiket surga padaku bolehkah aku menolaknya? Aku takut dengan ilmuku yang tak seberapa ini menjadikanku berbuat zolim yang justru malah menyeretku ke neraka-Mu. Menyaksikan lelakiku berada dalam satu ruangan dengan wanita lain lalu berbagi tempat tidur dengannya, akankah aku sanggup? Sementara di ruangan lain aku akan melewati malam-malam panjang dengan rintihan penuh kesakitan.

Senyum itu sedekah dan sedekah mrupakan ibadah. Aku ingin terus beribadah sepanjang waktu. Tak peduli kalau hatiku sedang tidak baik-baik saja. Setidaknya dengan tersenyum mampu menjadi obat pelipur lara, walau hanya sekejap.

Aku berjalan keluar rumah lewat pintu belakang, untuk apa juga aku ke kamar mandi aku tak punya hasrat untuk buang air. Kebetulan rumah mertuaku punya akses pintu samping, yang bisa terhubung langsung keluar, masa bodo Mas Bagas akan melihatku karena posisi duduknya tepat menghadap ke arah jendela yang akan aku lewati. Aku pergi menuju halaman depan di sana ada ke tiga putriku yang sedang bermain. Aku pecundang bukan? Pecundang yang hanya bisa lari dari masalah. Kupeluk Rinjani putriku yang ketiga usianya masih 2 tahun dia mungkin keheranan melihatku tiba-tiba memeluknya di saat dia tengah bermain kejar-kejaran dengan saudaranya yang lain.

“Uma kenapa?” tanya Meisya anak pertamaku usianya masih 9 tahun.

“Cup cup Uma, jangan nangis! Aka sama Arumi juga sayang sama Mamah,” ucap Arumi putri ke duaku usianya 4 tahun. Kedua anakku terbiasa memanggil kakanya dengan kata Aka. Ya Tuhan, apa aku menangis? Tidak, aku tidak boleh lemah seperti ini. Kuusap air mataku dengan ujung khimar yang kukenakan.

“Uma ga nangis kok Sayang, sini-sini peluk Uma!” Ketiga anakku pun berhamburan memelukku.

“Tapi mata Uma merah, jangan boong Ma dosa, nanti Allah marah,” kata Arumi

“Siapa yang bilang kalau Allah marah?” Entah tahu dari mana dia kalimat seperti itu.

“Kan Uma yang bilang, ya kan Aka, kalau boong nanti Allah marah?” Arumi malah memastikannya pada kakanya Meisya. Ternyata akulah yang mengajarinya kalimat itu, aku sampai lupa pada ucapanku sendiri.

“Sayang kenapa di sini, ga baik loh ninggalin gitu aja yang lain belum pada bubar, yuk ke sana lagi,” tiba-tiba Mas Bagas mengahampiri kami.

“Buat apa?” tanyaku singkat.

“Ya masih ada yang harus di bicarain, De.”

“Abang terpesona ‘kan sama perempuan itu?” tanyaku.

Mas Bagas tak menjawab pertanyaanku.

“Dia cantikkan?” Lagi-lagi dia hanya diam. Aku menurunkan Rinjani dari gendonganku, lalu menyuruh anak-anakku agar bermain agak jauh dari tempat kami berbicara. Aku hanya tidak ingin mereka mendengar obrolan orang dewasa seperti kami.

“Kenapa diem aja? Berubah pikirankah?”

“Dek maafin Mas ya,”

“Hanya karna dia cantik Mas berubah pikiran?” tanyaku.

“Tunggu dulu Dek, mas belum selesai bicara. Ayo, kita selesaikan di dalam!” Mas Bagas menarik tanganku, mau tak mau aku mengikuti langkah kakinya menuju ke dalam ruangan yang menyesakkan itu lagi.

“Abis dari mana kok malah barengan tadi bukannya ke toilet,” Aku tersenyum mendengar penuturan ayah mertuaku.

“Apakah kehadiranku penting Ayah? bahkan Ayah tak pernah meminta pendapat dariku.” Seketika ibu mendongakkan kepalanya menatap wajahku seolah terkejut dengan apa yang aku ucapkan.

“Laki-laki itu tidak perlu ijin istri untuk menikah lagi,” katanya. Mendengar ucapan Ayah bisa kulihat Ibu malah tertunduk lagi, ada apa sebenarnya? kenapa dia hanya diam tanpa suara?

“Dari sekian banyak sunah nabi kenapa harus poligami, Riana biar kutanya langsung padamu, bersediakah kamu jadi istri kedua suamiku?”

“Hmm, aku, tolong kasih aku waktu, aku engga bisa ngasih keputusan sekarang,” jawab Riana.

“Kenapa nak Riana bukannya kamu dan Bagas sudah saling kenal, bukankah kalian sudah dekat sejak kuliah?” tanya Ayah mertua. Hah? Apa ini jadi mereka pernah dekat? Kenapa hidup serumit ini. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum menyaksikan permainan takdirku.

“Kenapa Dek, kenapa kamu malah senyum?” Mas bagas menatap heran ke arahku, raut mukanya tampak gelisah mungkin dia takut aku akan meledak.

“Kenapa dunia ini begitu sempit, Mas? kamu sendiri bagaimana? maukah menikahi mantan teman sebangkuku?” Aku harus memastikan ini sendiri disaksikan kedua orang tuanya. Dia lagi-lagi tak menjawab.

“Tentu saja suamimu tidak akan menolak menikah dengan wanita cantik seperti Riana, toh mereka juga sudah saling mengenal,” sambar ayah mertuaku.

“Kalau tolak ukur menikahi wanita hanya dilihat dari kecantikannya, apakah setelah menikah ada jaminan dia akan memiliki anak laki-laki, kalau tidak bukankah semuanya sia-sia?”

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY