/0/2938/coverbig.jpg?v=77d9fce6091411d6c87a956ec307c369)
Adalakanya mengalah menjadi solusi,agar semua yang hancur terlihat baik-baik saja , tapi kali ini aku menyerah. Egoku terlalu kuat, maka biarkan aku hidup dengan caraku. Cara yang membuatku sedikit merasa hidup selayaknya manusia bebas.
"Enggak usah pulang! Nginep aja sekalian!" Begitu pesannya tiap kali aku telat pulang. Kami berkenalan dalam waktu dekat, lalu memutuskan menikah dalam kurun waktu 4 bulan. Dulu sebelum menikah tuturnya lembut dan santun. Namun, lambat laun semua berubah.
"Aku pulang jam 12 malam."
"Sekalian enggak usah pulang," balasnya lagi. Ini tahun kelima kami menikah. Dia selalu mengekang. Tidak ada lagi kebebasan juga kenyamanan dalam rumah. Hari-hari berlalu begitu. Dia yang hanya sibuk dengan anak-anak, juga ibu serta adikku yang selalu menuntut di belikan barang yang harganya fantastis. Dilra tak banyak bicara saat kami bertemu, mungkin sungkan dengan ibu. Bagaimanapun memarahi seorang anak di depan ibunya, mungkin dia tak berani. Saat marah dia akan mendiamkan seharian, hari demi hari sikapnya semakin menjadi. Aku tak pernah tahu apa yang terjadi. Seingatku sebelum melahirkan istriku tak begitu menuntut menemani di samping. Namun, setelah ada anak sikapnya benar-benar berubah. Kadang muak. Mengingat perjuangannya saat melahirkan Dion, hati ini luluh kembali.
"Mau kamu apa? Kalau ada masalah dibicarakan baik-baik, aku juga capek kerja banting tulang, sampai rumah kamu diamkan aku, enggak jelas!" Aku sedang di bengkel, dan dia malah mengirimkan pesan lagi.
"Kalau enggak mau pulang, aku bunuh anak-anakmu sekarang juga."
Gila, bagaimana aku tak panik. Setibanya di rumah beruntung tak ada yang terjadi Dilra malah duduk murung di pojok kamar seraya memeluk lutut, sedang anakku tertidur dengan pulas. Gegas kuperiksa deru nafasnya masih hidup. Syukurlah Dion masih bernafas.
"Kamu gila Dilra!" Dia justru makin terisak.
"Mana Ibu biar kuberikan anak-anak sama Ibu!" Aku segera menggendong Dion, tetapi Dilra langsung berdiri, dengan cepat merebut bayi itu.
"Kembalikan!" katanya.
"Kamu kalau mau mati, mati saja sendiri! Enggak usah bawa-bawa anak, dasar gila!" Aku kalap waktu itu, hingga tak sadar mengucapkan kalimat yang terlampau tajam.
"Kembalikan!" katanya seraya bersiap merebut Dion. Aku kembali menepis. Bagaimana bisa memberikan bayi ini pada orang yang jelas berniat membunuhnya. Sudah kurasakan ada yang tak beres dengan Dilra. Sejak dulu harusnya aku menyadari lebih awal.
"KEMBALIKAAAAAN, ITU ANAKKU!!!" Aku terenyak tanpa sadar bayi Dion telah berpindah ke tangannya. Untuk pertama kalinya Dilra berteriak. Bukan hanya itu, entah dapat kekuatan dari mana. Dia mampu mendorong tubuhku dengan kasar hingga keluar kamar. Tiba-tiba saja pintu kamar dibanting dengan keras. Dion tak lagi menangis. Aku yang panik kembali masuk ke dalam.
"Kamu apakan anakku?" Dilra hanya menatap datar, sementara itu bayi Dion tengah menghisap ASI. Usia Dion masih 4 bulan. Seharusnya Dion anak ke tiga kami, tetapi Tuhan berkehendak lain. Kedua anak kami telah menghadapnya lebih dulu. Dilra keguguran dua kali. Mengingat soal kegugurannya aku mulai mengaitkan peristiwa demi peristiwa. Dia sering menangis setelah keguguran yang kedua. Aku sempat menyalahkan atas kecerobohannya, bayangkan saja sudah dua kali kami kehilangan calon buah hati.
Hari itu kata Ibu, istriku jatuh dari motor, sudah kubilang padahal jangan pergi naik motor, tapi dia tetap nekat. Dia tak banyak protes waktu itu hanya diam dan sesekali menangis saat malam. Sejak saat itu dia jadi makin menutup diri, setahuku dia punya arisan setiap dua minggu sekali dengan tetangga tapi belakangan dia tak pernah ikut berkumpul lagi, puncaknya saat acara makan-makan dengan tetangga, ia memilih tinggal katanya tak enak badan padahal setahu dia baik-baik saja.
"Kalau ada masalah bisa enggak sih dibicarakan baik-baik."
"Maaf." Satu kata yang membuatku muak. Kutinggalkan dia sendiri. Tentunya setelah memastikan Dion tertidur dengan pulas. Hari ini kebetulan Ibu dan Mia tak ada jadi pasti berani berbuat kasar. Seraya menyesap batang rokok. Mencoba menetralkan pikiran yang mulai runyam. Dilra itu baik, tak menyangka dia berubah drastis macam sekarang. Keesokan paginya aku dibangunkan Ibu, nyatanya aku ketiduran di Sofa.
"Kenapa kamu tidur di sini?"
"Oh Galang ketiduran, Bu."
"Istri kamu itu memang keterlaluan. Setiap Ibu keluar pasti ribut. Harusnya kamu tegur! Biar tahu cara menghormati suami."
"Iya nanti aku tegur."
"Sekarang ke mana dia, kenapa enggak ada di kamar?"
"Ke warung paling."
"Baguslah, sini Ibu mau ngomong serius!"
"Kenapa, Bu?"
"Sini duduk, Lang!" ajak Ibu menyuruh duduk mendekat padanya.
"Kamu punya istri kurang ajar kayak gitu mending pisah!" kata Ibu. Lagi-lagi bayangan Dilra yang menahan sakit saat melahirkan wajah pucatnya aroma amis darah semua masih terekam jelas di benakku. Sudah kali ke tiga sejak menikah ibu selalu saja menyarankan kami untuk pisah. Aku tak banyak menanggapi tetapi kali ini agaknya Dilra sudah keterlaluan. Di bengkel pikiranku benar-benar kacau, apa harus kupertimbangkan permintaan ibu kali ini.
"Kenapa? Gelisah amat ?" sapa Ardi teman sekaligus partner bisnisku.
Kami membangun bengkel mobil ini berdua.
"Gue mau pisah."
"Serius lo? Kenapa?" Ardi yang tadinya duduk di atas meja kerjanya kini berjalan mendekat ke arahku.
"Gue capek sama Dilra."
"Perempuan kalem kayak Dilra masih aja kurang, apalagi bini gue."
"Lo enggak tahu sikap Dilra ke gue bagaimana? Ketus, enggak kayak dulu lembut pemaaf, sekarang bikin enggak betah di rumah."
Ardi malah tertawa mendengar keluhanku.
"Memangnya lo benar jadi suami?"
"Maksud lo?"
"Pikir sendiri, waktu lo susah Dilra ada tuntut lo minta duit lebih?"
"Enggak."
"Nah sekarang pas lo kaya, dia nuntut minta duit, wajarlah."
"Bukan masalah duit, kalau masalah itu dia enggak pernah tuntut, semuanya gue serahkan ke ibu."
"Apa? Lo kasih ke siapa duitnya?"
"Ibu, kenapa? Mereka kan serumah, biar enggak ribet, lagian Dilra juga boros enggak pintar atur uang." Ardi malah menggeleng kepala
"Bisa ya, memang bini lu enggak pernah protes?"
"Sering, tapi lebih pilih mengalah karena Ibu suka enggak mau kalah, ujung-ujungnya ibu malah bikin masalahnya jadi rumit.
"Parah! Berapa tahun lu rumah tangga sama Dilra?"
"5 tahun."
"Selama itu juga lu menyakiti anak orang, harusnya lu bisa bedakan tanggung jawab sebelum dan setelah nikah, lu boleh kasih orang tua, tapi enggak pakai atur keuangan rumah tangga lu juga."
"Tapi Dilra enggak pernah protes."
"Gak pernah protes tapi dia sering marah buat urusan yang enggak jelas apa namanya?
Aku diam. Memikirkan Dilra yang memang berubah pemarah terlebih sejak aku membuat keputusan untuk mengajak Ibu turut serta mengatur keuangan kami. Awalnya memang Dilra yang mengatur semuanya sayang hanya bertahan 3 bulan setelah itu. Mengingat Dilra yang juga baru saja keguguran, aku mempercayakan semuanya pada ibu termasuk keuangan kami dan itu berlanjut sampai hari tak pernah terlintas kalau itu menyakiti hati Dilra. Dia memang kerap protes tapi seperti tak benar-benar menuntut untuk kembali mengambil kendali, aku jadi tak terlalu mengindahkan permintaannya.
"Di."
"Apa lagi?"
"Istri lo pernah enggak sih kayak melamun terus sering murung, bahkan kayak menutup diri."
"Kagaklah bini gue, setiap hari ada saja maunya enggak pernah bisa diam. Tugas gue cuma bisa menuruti kemauannya dari pada kena amuk."
"Takut istri lu ya?"
"Mending gue takut istri dari pada bini seteres. Sudah ah gue mau kerja."
"Sialan, lo pikir Dilra seteres."
"Ya lo pikir sendiri, orang seteres awalnya dari apa coba? Kebanyakan beban, dipendem sendirian."
“Laki-laki itu tidak perlu ijin istri untuk menikah lagi,” katanya. Mendengar ucapan Ayah bisa kulihat Ibu malah tertunduk lagi, ada apa sebenarnya? kenapa dia hanya diam tanpa suara? “Dari sekian banyak sunah nabi kenapa harus poligami, Riana biar kutanya langsung padamu, bersediakah kamu jadi istri kedua suamiku?” “Hmm, aku, tolong kasih aku waktu, aku engga bisa ngasih keputusan sekarang,” jawab Riana. “Kenapa nak Riana bukannya kamu dan Bagas sudah saling kenal, bukankah kalian sudah dekat sejak kuliah?” tanya Ayah mertua. Hah? Apa ini jadi mereka pernah dekat? Kenapa hidup serumit ini. Lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum menyaksikan permainan takdirku. “Kenapa Dek, kenapa kamu malah senyum?” Mas bagas menatap heran ke arahku, raut mukanya tampak gelisah mungkin dia takut aku akan meledak. “Kenapa dunia ini begitu sempit, Mas? kamu sendiri bagaimana? maukah menikahi mantan teman sebangkuku?” Aku harus memastikan ini sendiri disaksikan kedua orang tuanya. Dia lagi-lagi tak menjawab. “Tentu saja suamimu tidak akan menolak menikah dengan wanita cantik seperti Riana, toh mereka juga sudah saling mengenal,” sambar ayah mertuaku. “Kalau tolak ukur menikahi wanita hanya dilihat dari kecantikannya, apakah setelah menikah ada jaminan dia akan memiliki anak laki-laki, kalau tidak bukankah semuanya sia-sia?”
Seorang istri bisa kuat saat rumah tangga diuji dengan harta tapi saat pengkhianatan terjadi itu akan sangat melukai harga dirinya. Hingga dia pun meminta pada sang Pemilik Hati, agar suaminya kembali ke jalan yang benar. Bukankah hati hanya segumpal darah, bahkan sebuah batu sekalipun jika ditetesi air terus menerus suatu saat akan berlubang, apalagi hati. Dialah Ayu, Istri yang memilih mengadukan setiap masalah rumah tangganya langsung kepada Tuhannya.
“Kamu selingkuh lagi Mas? Aku sudah pernah bilang kan? Cukup sekali, enggak ada dua kali!” lirih Dewi, istriku. “Ini? Bon belanjaan sebanyak ini buat siapa? Semuanya barang-barang perempuan! Ini juga tiket bioskop?” Dewi menggeleng. Meski dia berbicara cukup pelan, namun jelas ada kemarahan yang teramat sangat.
Tak ada cinya yang sempurna. Kadarnya berubag setiap waktu, kadang menjulang tinggi sampai ke langit, tetapi tak jarang rasa bosan menyapa. Menurunkan kadarnya hingga ke dasar bumi. Tugas kita menjaganya tetap hangat agar rasa itu tetap tinggak, meski gairahnya mulai pudar perlahan. Memupuk kembali rasa yang hampir mati, menghujaninya dengan untaian doa, berharap Tuhan mau mencampuri urusan kami. Menumbuhkan kembami rasa cinta pada dua insan yang dilema, antara bertahan atau pergi mencari tempat baru.
Karena sebuah kesepakatan, dia mengandung anak orang asing. Dia kemudian menjadi istri dari seorang pria yang dijodohkan dengannya sejak mereka masih bayi. Pada awalnya, dia mengira itu hanya kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak, namun akhirnya, rasa sayang yang tak terduga tumbuh di antara mereka. Saat dia hamil 10 bulan, dia menyerahkan surat cerai dan dia akhirnya menyadari kesalahannya. Kemudian, dia berkata, "Istriku, tolong kembalilah padaku. Kamu adalah orang yang selalu aku cintai."
Setelah menghabiskan malam dengan orang asing, Bella hamil. Dia tidak tahu siapa ayah dari anak itu hingga akhirnya dia melahirkan bayi dalam keadaan meninggal Di bawah intrik ibu dan saudara perempuannya, Bella dikirim ke rumah sakit jiwa. Lima tahun kemudian, adik perempuannya akan menikah dengan Tuan Muda dari keluarga terkenal dikota itu. Rumor yang beredar Pada hari dia lahir, dokter mendiagnosisnya bahwa dia tidak akan hidup lebih dari dua puluh tahun. Ibunya tidak tahan melihat Adiknya menikah dengan orang seperti itu dan memikirkan Bella, yang masih dikurung di rumah sakit jiwa. Dalam semalam, Bella dibawa keluar dari rumah sakit untuk menggantikan Shella dalam pernikahannya. Saat itu, skema melawannya hanya berhasil karena kombinasi faktor yang aneh, menyebabkan dia menderita. Dia akan kembali pada mereka semua! Semua orang mengira bahwa tindakannya berasal dari mentalitas pecundang dan penyakit mental yang dia derita, tetapi sedikit yang mereka tahu bahwa pernikahan ini akan menjadi pijakan yang kuat untuknya seperti Mars yang menabrak Bumi! Memanfaatkan keterampilannya yang brilian dalam bidang seni pengobatan, Bella Setiap orang yang menghinanya memakan kata-kata mereka sendiri. Dalam sekejap mata, identitasnya mengejutkan dunia saat masing-masing dari mereka terungkap. Ternyata dia cukup berharga untuk menyaingi suatu negara! "Jangan Berharap aku akan menceraikanmu" Axelthon merobek surat perjanjian yang diberikan Bella malam itu. "Tenang Suamiku, Aku masih menyimpan Salinan nya" Diterbitkan di platform lain juga dengan judul berbeda.
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Wanita bertubuh ideal tidak terlalu tinggi, badan padat terisi agak menonjol ke depan istilah kata postur Shopie itu bungkuk udang. Menjadi ciri khas bahwa memiliki gelora asmara menggebu-gebu jika saat memadu kasih dengan pasangannya. Membalikkan badan hendak melangkah ke arah pintu, perlahan berjalan sampai ke bibir pintu. Lalu tiba-tiba ada tangan meraih pundak agak kasar. Tangan itu mendorong tubuh Sophia hingga bagian depan tubuh hangat menempel di dinding samping pintu kamar. "Aahh!" Mulutnya langsung di sumpal...
"Tanda tangani surat cerai dan keluar!" Leanna menikah untuk membayar utang, tetapi dia dikhianati oleh suaminya dan dikucilkan oleh mertuanya. Melihat usahanya sia-sia, dia setuju untuk bercerai dan mengklaim harta gono-gini yang menjadi haknya. Dengan banyak uang dari penyelesaian perceraian, Leanna menikmati kebebasan barunya. Gangguan terus-menerus dari simpanan mantan suaminya tidak pernah membuatnya takut. Dia mengambil kembali identitasnya sebagai peretas top, pembalap juara, profesor medis, dan desainer perhiasan terkenal. Kemudian seseorang menemukan rahasianya. Matthew tersenyum. "Maukah kamu memilikiku sebagai suamimu berikutnya?"
Firhan Ardana, pemuda 24 tahun yang sedang berjuang meniti karier, kembali ke kota masa kecilnya untuk memulai babak baru sebagai anak magang. Tapi langkahnya tertahan ketika sebuah undangan reuni SMP memaksa dia bertemu kembali dengan masa lalu yang pernah membuatnya merasa kecil. Di tengah acara reuni yang tampak biasa, Firhan tak menyangka akan terjebak dalam pusaran hasrat yang membara. Ada Puspita, cinta monyet yang kini terlihat lebih memesona dengan aura misteriusnya. Lalu Meilani, sahabat Puspita yang selalu bicara blak-blakan, tapi diam-diam menyimpan daya tarik yang tak bisa diabaikan. Dan Azaliya, primadona sekolah yang kini hadir dengan pesona luar biasa, membawa aroma bahaya dan godaan tak terbantahkan. Semakin jauh Firhan melangkah, semakin sulit baginya membedakan antara cinta sejati dan nafsu yang liar. Gairah meluap dalam setiap pertemuan. Batas-batas moral perlahan kabur, membuat Firhan bertanya-tanya: apakah ia mengendalikan situasi ini, atau justru dikendalikan oleh api di dalam dirinya? "Hasrat Liar Darah Muda" bukan sekadar cerita cinta biasa. Ini adalah kisah tentang keinginan, kesalahan, dan keputusan yang membakar, di mana setiap sentuhan dan tatapan menyimpan rahasia yang siap meledak kapan saja. Apa jadinya ketika darah muda tak lagi mengenal batas?