Unduh Aplikasi panas
Beranda / Horor / Pocong Itu Bapakku
Pocong Itu Bapakku

Pocong Itu Bapakku

5.0
2 Bab
227 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Semenjak kematian Bapak yang tragis karena di keroyok warga, sosok Pocong tiba-tiba menghantui warga. Mereka bilang itu adalah Bapakku yang menuntut balas. Apa benar yang dikatakan warga? atau itu hanya wujud yang menyerupainya saja?

Bab 1 Di keroyok Warga

Bismillah

POCONG ITU BAPAKKU

#part 1

#by: R.D.Lestari.

"Maling ... maling!"

"Tolong ... ada begal! tolong ... motor saya di rampok!"

Suara teriakan wanita di tengah malam buta seketika membuat jiwa-jiwa yang sedang tenang dan tertidur di dalam rumah terbangun.

Para warga dan beberapa orang penjaga malam berlarian ke arah suara, sebagian mengejar motor yang melesat dengan kecepatan tinggi.

Beruntung, saat kejadian warga masih banyak yang terjaga karena tadarusan dan berkumpul di mesjid dekat kejadian.

Motor yang di kejar begitu kencang, serentak dengan suara menggema warga yang mengejar.

Sang pengendara motor yang di kejar semakin panik karena jarak dengan warga yang mengejar memakai motor dalam jumlah banyak menyiutkan nyalinya.

Brukkk!

Motor oleng ke kiri dan masuk ke persawahan warga. Lelaki berbaju hitam itu terjerembab bersama motor yang ia rampas.

Menyadari dirinya sedang diincar, Lelaki itu berusaha bangkit meski dengan luka dan lebam di sebagian tubuh juga wajahnya.

Ia berusaha keras untuk bisa melarikan diri meski terpincang dan degup jantung yang bedetak kencang.

Diantara sepinya sawah, kegelapan malam yang mencekam, ia berlari lintang pukang ke sembarang arah. Mencoba menghindari kejaran warga dan berupaya keras untuk bisa selamat.

"Woy! begalnya lari ke sana!" teriak salah seorang warga saat motor menepi.

"Noh, malingnya, noh! di sono!" sahut yang lainnya.

"Kejar! bantai! maling meresahkan!"

Nyali lelaki itu semakin ciut saat mendengar teriakan dan derap kaki menghentak di areal persawahan.

Lelah, dengan napas yang tersengal, lelaki yang sudah menginjak kepala lima itu berusaha menyembunyikan diri di sela deretan padi yang sudah meninggi dan menunggu masa panen.

Keringat dingin mengucur deras di sertai bunyi napas yang satu-satu. Dibawah langit malam yang tiada bintang juga angin dingin yang menusuk tulang.

Di saat menegangkan seperti itu, lelaki tua itu memegang dadanya yang bergemuruh.

'Tuhan ... maafkan kesalahanku, bantulah aku agar bisa pulang dengan selamat,'

Namun, naas bagi Bapak dari dua orang anak dan calon anak dalam perut Istri nya yang sedang mengandung sembilan bulan, juga dalam masa menunggu detik-detik kelahiran.

Salah satu warga memergokinya dan berteriak saat melihat Si Bapak yang berjongkok sembari memeluk kakinya dengan peluh yang mengucur di kening karena ketakutan.

Lelaki tua itu ditarik ketengah sawah. Beberapa orang menghajarnya tanpa ampun. Sekitar dua puluhan lebih lelaki dari yang muda dan juga tua ikut meramaikan.

Lelaki yang belum di ketahui identitasnya itu habis di keroyok warga. Di tendang, di tonjok, dan yang membuatnya tersungkur tak berdaya saat kepalanya di hantam dentuman-dentuman helm hingga mengucurkan darah segar.

Tubuh tua itu terhempas keras dan menggelegar. Darah keluar dari hidung, mulut, juga kepala. Tubuhnya penuh lebam karena pukulan.

Byurrr!

Saat sekarat, ia masih merasakan tubuhnya di siram cairan dengan bau menyengat.

"Bakar! biar tau rasa!"

"Ya, Bakar! begal memang harus di musnahkan!"

Klik!

Tubuh tua itu hanya mampu menahan sakit dan panas yang merayap menyusuri tubuhnya saat api mulai menjalar dan melahap kulit serta dagingnya.

Bau gosong seketika menyeruak di tengah hiruk pikuk warga yang merasa menang dengan kematian seorang begal tua yang tak mereka kebal karena tertutup gelapnya malam.

Sementara lelaki itu mat* dengan cara yang sangat menyiksa karena buah dari perbuatannya.

***

Seorang wanita hamil sedang resah mengelus perutnya. Menatap sendu anaknya yang sedang bermain di halaman rumah.

"Danang, jangan main jauh-jauh, Nak," pekik Kartini, ibu paruh baya berumur empat puluh lima tahun itu, menatap resah anaknya yang hendak melangkah menjauhi pekarangan rumahnya.

"Iya, Buk. Mau main ke rumah Firman sebentar," sahutnya di tengah kaki riangnya.

Ibu itu mendesah. Berusaha bangkit dari duduknya dengan susah payah. Perut besarnya yang begah terasa semakin merepotkan.

Tubuh kurus berbalut tulang itu melangkah masuk. Perutnya sudah mulai lapar dan sedari tadi keroncongan.

Suara lantunan ayat Alquran terasa merdu dan menyejukkan hati yang sedari tadi gundah.

Kartini tersenyum melihat anak perempuannya, Indah, begitu fasih mengumandangkan bait demi bait ayat dengan suara merdunya.

"MasyaAllah anak Ibu ," ucapnya bangga. Ia kembali mengelus perutnya.

Kembali rasa lapar menyerang. Di bulan puasa ini, Ibu Kartini tak berpuasa. Ia yang sedang mengandung sembilan bulan itu selalu merasa lapar.

Ibu Kartini melanjutkan langkahnya ke arah dapur. Mengangkat tudung saji dan melihat isi di dalamnya.

Hatinya teriris saat melihat potongan singkong rebus. Ya, hanya singkong rebus tanpa dampingan.

Hanya itu yang bisa ia olah selama beberapa hari ini. Beruntung, ia rajin menanam singkong di kebun belakang rumahnya.

Kebun sekitar tiga tumbuk tanah itu warisan kedua orang tuanya sebelum mereka dipanggil Yang Kuasa.

Sangat membantu saat beras dan lauk pauk tak tersedia di rumah, seperti saat ini.

Ia mendesah. Air mata tanpa sadar jatuh di ujung mata. Memikirkan nasibnya yang jauh dari kata bahagia.

Punya suami yang malas bekerja. Sukanya minum-minuman keras dan berjudi. Setiap hari nongkrong di pasar dan malakin warga.

Suami seorang preman, kadang ia merasa resah dan takut menggunakan uangnya. Ia lebih memilih memakan singkong rebus hasil kebunnya sendiri.

Kartini menghela napas dalam. Sejak semalam suaminya belum pulang. Tak ada kabar ataupun sebuah pesan, ia kembali resah. Meskipun suaminya itu seorang preman, tapi ia termasuk sosok Bapak dan Suami penyayang.

"Bapak mau cari uang dulu buat lahiran, itu uang yang Ibu simpan buat pegangan atau makan. Uang untuk bersalin belum ada,"

"Tapi ... Pak, perasaan Ibu ga enak. Bapak ga usah pergi. Kalau memang ga ada uang, Ibu minta tolong Mbok Timah, dukun beranak di kampung sebelah," cegahnya saat kaki laki-lakinya mulai melangkah.

Lelaki itu menoleh dan melempar senyum manisnya. Malam ini Kartini melihat suaminya berbeda. Seperti ada sesuatu yang akan menimpanya.

Kartini mendekat dan memeluk tubuh kurus suaminya erat. " Hati-hati, Pak...,"

Tangan kekar suaminya mengelus pucuk kepalanya sayang.

"Jaga diri dan anak-anak kita, ya, Buk. Bapak sayang Ibu," satu kecupan ia layangkan sebelum pergi.

Ia bergegas pergi saat suara deru kendaraan roda dua terdengar menderu di pekarangan rumahnya.

Kartini hanya bisa menatap nanar kepergian suaminya hingga menghilang di kegelapan malam.

Mengingat itu, Kartini merasa napasnya sesak. Rasa khawatir kian menelusup batinnya.

"Buk...," sebuah usapan lembut di lengannya membuatnya terjingkat.

"Indah ...," Kartini berbalik dan melihat senyum di wajah anak gadisnya.

"Ibu kenapa? Indah lihat dari tadi melamun saja,"

"Ibu memikirkan nasib bapakmu, Nak, dari semalam belum pulang," gumamnya.

"Bu ...,"

Indah mengurungkan niatnya untuk berbicara, saat mendengar suara riuh didepan rumahnya.

Seketika Kartini dan Indah melangkah bergegas ke arah depan rumahnya, di mana sudah banyak orang berkerumun dengan wajah yang sulit di arti kan

Batin Kartini langsung bergejolak. Apa terjadi sesuatu dengan anaknya Danang?

***

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 2 Kematian Bapak   06-17 11:01
img
2 Bab 2 Kematian Bapak
17/06/2022
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY