/0/6522/coverbig.jpg?v=9f9b37ee7803233a9b20afcf7c897e59)
Seorang siswi SMA bernama Nissa yang mencintai gurunya. Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia yang masih muda dan tampan. Segala macam cara ia lakukan untuk mendapatkan perhatian sang guru. Hingga akhirnya ... apakah lelaki bernama Ilyas itu akan menerima cinta anak didiknya? Atau justru menolak karena seorang siswa bukan seleranya? Atau ia memilih menikah dengan wanita yang lebih dewasa?
"Nisa, letakkan cerminnya!" seruku, pada gadis berambut pendek itu.
Gadis itu mendongak, lalu menjawab dengan santainya. "Woke, Pak."
Kuembuskan napas berat. Harus sabar menghadapi siswi rewel itu. Kadang bersikap sopan, tetapi tidak jarang bersikap seenak jidat.
"Baik, sekarang buka halaman 55. Hari ini kita akan mempelajari Bab 5, tentang karya sastra puisi."
Para siswa menurut, tetapi lagi-lagi tidak dengan Nisa. Ia malah sibuk menyisir rambut sebahunya. Ada-ada saja yang dilakukan, membuatku geram.
"Nisa!" teriakku, sedikit emosi, "fokus pelajaran, jangan dandan terus!"
"Ashiaap!" Sisir yang dipegang, kini diletakkan di meja.
Aku berjalan mendekatinya, lalu menodongkan tangan untuk menyita barang yang mengalihkan perhatiannya itu ketimbang memperhatikanku.
"Sini, cermin dan sisirnya. Saya sita."
Wajahnya cemberut, lain dengan teman-temannya yang tertawa. "Kalau disita, Nisa pakai apa, dong? Emang Bapak mau gantiin yang baru?"
Haish!
Beli baru boleh saja. Masalahnya, memang ia mau dibelikan barang murah seharga di bawah lima puluh ribu? Dompet sedang masa kritis, bagaimana mungkin aku bisa menggantikan yang baru dan lebih mahal?
"Pak Sayang!"
"Eh!" Aku terlonjak. "Apa?"
Sorak-sorai dan tawa memenuhi seisi kelas. Memang aku pelawak yang patut ditertawakan? Kehidupanku saja sudah penuh jenaka. Namun, ketampananku menjadi plus-nya.
"Barusan kamu manggil saya apa? Coba ulangi!" desakku, membuat gadis itu menutup mulut menggunakan kedua tangannya.
Ia pikir, aku tidak mendengar?
"Manggil 'Pak Sayang', emang nggak boleh?"
Aku mendelik. Berani sekali mengatakannya.
"Kenapa harus ada kata 'Sayang'? Cukup panggil 'Pak' atau 'Pak Ilyas'."
Apa-apaan sembarangan menambahi embel-embel 'sayang'. Memang aku guru apa? Cukup dikenal sebagai guru mata pelajaran Bahasa Indonesia yang banyak fans di media sosial.
"Emangnya nggak boleh kalau anak didiknya sayang sama gurunya?" Pertanyaan konyol itu disambut suitan siswa lain.
"Boleh, tapi nggak gitu caranya. Saya nggak suka."
"Terus, sukanya yang kayak gimana?"
"Siswa yang nggak banyak tingkah. Kelihatan manis," kataku, sambil berlalu ke kursi guru.
"Berarti saya, dong?"
Aku berbalik, lalu menatapnya tajam. "Kamu?"
"Saya 'kan manis, Pak. Masih nggak mau ngakuin?"
Lagi-lagi, aku hanya bisa mengembuskan napas berat. Meladeni siswi itu, harus ekstra sabar. Untung aku bukan kang rayu seperti buaya pada umumnya, hanya kang baper yang pura-pura cuek di depan mereka. Aslinya? Ya, tetap biasa-biasa saja. Maksudnya baper kalau telat gajian.
"Iya, kamu manis." Gadis itu tersenyum, mengedip-ngedipkan matanya. "Tapi masih kalah sama gula."
Penghuni kelas tertawa serentak. Kulihat wajahnya memerah, mungkin menahan malu atau marah. Peduli apa, memang begitu kenyataannya. Berani mengawali, berani menerima akhir, bukan?
***
Jam pelajaran Bahasa Indonesia telah usai, itu berarti, waktunya pulang. Selesai berdoa dan menyalamiku, para siswa berbondong keluar kelas, kecuali Nisa. Dia memang suka cari perhatian, membuatku pegal meladeninya.
"Mana cerminnya, Pak?"
"Ada."
Gadis itu mendekat. "Mana?"
"Cermin kamu saya sita. Masak waktu pelajaran bawa barang begituan. Nggak teladan banget jadi siswa."
"Kata siapa saya nggak teladan?" tanyanya, mengerucutkan bibir.
Kumiringkan kepala, menatapnya yang masih menampakkan wajah masam. Sebenarnya manis, tetapi bukan seleraku. Dia terlalu bar-bar sebagai siswa perempuan kepada gurunya.
Bukan berarti tidak baik, hanya saja aku lebih suka wanita yang dewasa, umur dan pemikirannya.
"Kalau siswa teladan, apa prestasi yang bisa kamu banggakan sekarang?"
"Prestasi saya, mencintai Bapak."
Allahu Akbar!
Mengingat kejadian di kelas tadi, membuatku merenung di taman samping rumah ini. Bagaimana bisa seorang siswa mencintai gurunya sendiri? Apalagi guru baru sepertiku yang masih tiga bulan mengajar, wajar bukan kalau heran?
Tahu begitu, aku memilih kelas XI A yang terlihat kalem-kalem. Berbeda jauh dengan XI B yang membuatku lelah dan nyaris gila.
"Den Ilyas!" panggil Lili, anak Mbok Dami yang bekerja di rumahku. Rumah milik Mama, ding.
Aku yang semula fokus dengan koran, mendongak. "Sudah berapa kali saya bilang? Jangan panggil Den."
Gadis seusiaku itu menggaruk kepala. "I–iya, Den. Eh, Yas. Mau dibuatkan minum apa? Yang seger-seger kayaknya enak apalagi ini sedang sayang-sayangnya. Eh, siang-siangnya."
"Air putih hangat saja, Li. "
Gadis berambut panjang itu mengangguk, lalu berbalik. Aku menatap punggungnya yang menghilang di pintu.
Tak lama, ia datang membawa nampan berisi segelas air dan camilan. "Ini minumannya, Den. Eh, Yas."
Bisa kudengar embusan napasnya yang kasar. "Kenapa harus panggil nama langsung, sih? Kan, saya jadi ndak enak."
"Nggak apa-apa. Kan, saya yang minta."
Aku membalas dengan tersenyum, membuatnya malu-malu kucing. Kalau sedang seperti itu, ia terlihat seperti di bawah umurku dan kalau aku mengantarnya ke pasar kami sering dikira kakak adik. Anehnya, aku tidak marah, justru senang.
Sudah sejak lama, aku menginginkan seorang adik, tetapi harapan itu sirna. Papa meninggal beberapa tahun yang lalu. Dan sampai sekarang, Mama tidak ada niat untuk menikah lagi, meskipun usianya bisa dibilang masih muda untuk ibu anak usia 23 tahun kurang.
"Ini cemilannya, jangan lupa dimakan, Yas," ucapnya, membuatku tersadar. "Nanti kalau ndak makan, malah jatuh cinta. Eh, jatuh hati. Duh, maksudnya jatuh sakit."
Perempuan itu menjadi salah tingkah, seperti hari-hari sebelumnya. Semenjak aku pulang kuliah dari kota seberang dan memilih mengajar di kota kelahiran. Aku menahan tawa untuk tidak menyembur di depannya. Pipi yang sudah merona itu takutnya terbakar.
Aku mengangguk dan mengulas senyum. Ia tipe gadis cerewet, tetapi menyenangkan karena kadang bisa menghiburku yang sering pusing mengoreksi tugas anak-anak. Seperti gadis desa pada umumnya, ia sopan dan lembut. Tidak jarang pula membuatku senyum-senyum sendiri melihat tingkahnya.
Bukan suka, hanya saja aku senang, setidaknya Mbok Dami tidak sendirian lagi. Ia ditemani putrinya yang baru lulus kuliah dan mengisi waktunya untuk menunggu panggilan kerja. Aku salut dengan kerja keras assisten Mama yang sudah bekerja puluhan tahun itu. Beliau rela banting tulang demi mencari rezeki untuk pendidikan yang layak atas ketiga anaknya.
"Jangan lupa dimakan, ya. Saya tinggal dulu ke belakang. Kalau rindu, bilang. Ndak baik kalau dipendam." Setelah mengucapkan itu, ia berlalu tanpa menengok ke belakang.
Niatnya ingin memintanya menemani, tetapi kadung pergi, ya sudah. Besok lagi.
Menikmati tanaman yang rapi karena dirawat suami Mbok Dami, mataku termanjakan oleh keindahannya. Dasar, jomblo, bisanya manja sama tanaman. Sama istri kapan?
Sebenarnya aku bukan tipe orang yang muluk-muluk, walaupun termasuk kategori ganteng. Hidung tidak terlalu mancung atau pesek, bibir tipis yang merona dari lahir, bentuk wajah oval, tetapi bukan lonjong. Kata orang-orang, yang paling indah adalah bagian mata, hitamnya memabukkan.
Harapannya memiliki istri yang salihah, penurut, perhatian, dan tidak banyak omong atau protes. Sesimpel itu, tetapi nyatanya belum ada yang nyantol, maksudnya belum ada yang cocok di hati.
Bukan bermaksud mempromosikan diri, lebih tepatnya menjabarkan ciri-ciri seorang Ilyas Aldevaro, bukan Aldebaran di sinetron itu, muka saja yang mirip. Eh, enggak, ding. Masih gantengan aku.
Melihat gelas berisi air putih, gegas kuambil, lalu meneguknya hingga tandas.
"Jangan lupa dimakan, ya. Saya tinggal dulu ke belakang. Kalau rindu, bilang. Ndak baik kalau dipendam."
Neneng tiba-tiba duduk di kursi sofa dan menyingkapkan roknya, dia lalu membuka lebar ke dua pahanya. Terlihat celana dalamnya yang putih. “Lihat Om sini, yang deket.” Suradi mendekat dan membungkuk. “Gemes ga Om?” Suradi mengangguk. “Sekarang kalo udah gemes, pengen apa?” “Pengen… pengen… ngejilatin. Boleh ga?” “Engga boleh. Harus di kamar.” Kata Neneng terkikik. Neneng pergi ke kamar diikuti Suradi. Dia melepaskan rok dan celana dalamnya sekaligus. Dia lalu berbaring di ranjang dan membentangkan ke dua pahanya.
"Usir wanita ini keluar!" "Lempar wanita ini ke laut!" Saat dia tidak mengetahui identitas Dewi Nayaka yang sebenarnya, Kusuma Hadi mengabaikan wanita tersebut. Sekretaris Kusuma mengingatkan"Tuan Hadi, wanita itu adalah istri Anda,". Mendengar hal itu, Kusuma memberinya tatapan dingin dan mengeluh, "Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya?" Sejak saat itu, Kusuma sangat memanjakannya. Semua orang tidak menyangka bahwa mereka akan bercerai.
Kedua orang yang memegangi ku tak mau tinggal diam saja. Mereka ingin ikut pula mencicipi kemolekan dan kehangatan tubuhku. Pak Karmin berpindah posisi, tadinya hendak menjamah leher namun ia sedikit turun ke bawah menuju bagian dadaku. Pak Darmaji sambil memegangi kedua tanganku. Mendekatkan wajahnya tepat di depan hidungku. Tanpa rasa jijik mencium bibir yang telah basah oleh liur temannya. Melakukan aksi yang hampir sama di lakukan oleh pak Karmin yaitu melumat bibir, namun ia tak sekedar menciumi saja. Mulutnya memaksaku untuk menjulurkan lidah, lalu ia memagut dan menghisapnya kuat-kuat. "Hhss aahh." Hisapannya begitu kuat, membuat lidah ku kelu. Wajahnya semakin terbenam menciumi leher jenjangku. Beberapa kecupan dan sesekali menghisap sampai menggigit kecil permukaan leher. Hingga berbekas meninggalkan beberapa tanda merah di leher. Tanganku telentang di atas kepala memamerkan bagian ketiak putih mulus tanpa sehelai bulu. Aku sering merawat dan mencukur habis bulu ketiak ku seminggu sekali. Ia menempelkan bibirnya di permukaan ketiak, mencium aroma wangi tubuhku yang berasal dari sana. Bulu kudukku sampai berdiri menerima perlakuannya. Lidahnya sudah menjulur di bagian paling putih dan terdapat garis-garis di permukaan ketiak. Lidah itu terasa sangat licin dan hangat. Tanpa ragu ia menjilatinya bergantian di kiri dan kanan. Sesekali kembali menciumi leher, dan balik lagi ke bagian paling putih tersebut. Aku sangat tak tahan merasakan kegelian yang teramat sangat. Teriakan keras yang tadi selalu aku lakukan, kini berganti dengan erangan-erangan kecil yang membuat mereka semakin bergairah mengundang birahiku untuk cepat naik. Pak Karmin yang berpindah posisi, nampak asyik memijat dua gundukan di depannya. Dua gundukan indah itu masih terhalang oleh kaos yang aku kenakan. Tangannya perlahan menyusup ke balik kaos putih. Meraih dua buah bukit kembarnya yang terhimpit oleh bh sempit yang masih ku kenakan. .. Sementara itu pak Arga yang merupakan bos ku, sudah beres dengan kegiatan meeting nya. Ia nampak duduk termenung sembari memainkan bolpoin di tangannya. Pikirannya menerawang pada paras ku. Lebih tepatnya kemolekan dan kehangatan tubuhku. Belum pernah ia mendapati kenikmatan yang sesungguhnya dari istrinya sendiri. Kenikmatan itu justru datang dari orang yang tidak di duga-duga, namun sayangnya orang tersebut hanyalah seorang pembantu di rumahnya. Di pikirannya terlintas bagaimana ia bisa lebih leluasa untuk menggauli pembantunya. Tanpa ada rasa khawatir dan membuat curiga istrinya. "Ah bagaimana kalau aku ambil cuti, terus pergi ke suatu tempat dengan dirinya." Otaknya terus berputar mencari cara agar bisa membawaku pergi bersamanya. Hingga ia terpikirkan suatu cara sebagai solusi dari permasalahannya. "Ha ha, masuk akal juga. Dan pasti istriku takkan menyadarinya." Bergumam dalam hati sembari tersenyum jahat. ... Pak Karmin meremas buah kembar dari balik baju. "Ja.. jangan.. ja. Ngan pak.!" Ucapan terbata-bata keluar dari mulut, sembari merasakan geli di ketiakku. "Ha ha, tenang dek bapak gak bakalan ragu buat ngemut punyamu" tangan sembari memelintir dua ujung mungil di puncak keindahan atas dadaku. "Aaahh, " geli dan sakit yang terasa di ujung buah kembarku di pelintir lalu di tarik oleh jemarinya. Pak Karmin menyingkap baju yang ku kenakan dan melorotkan bh sedikit kebawah. Sayangnya ia tidak bisa melihat bentuk keindahan yang ada di genggaman. Kondisi disini masih gelap, hanya terdengar suara suara yang mereka bicarakan. Tangan kanan meremas dan memelintir bagian kanan, sedang tangan kiri asyik menekan kuat buah ranum dan kenyal lalu memainkan ujungnya dengan lidah lembut yang liar. Mulutnya silih berganti ke bagian kanan kiri memagut dan mengemut ujung kecil mungil berwarna merah muda jika di tempat yang terang. "Aahh aahh ahh," nafasku mulai tersengal memburu. Detak jantungku berdebar kencang. Kenikmatan menjalar ke seluruh tubuh, mendapatkan rangsangan yang mereka lakukan. Tapi itu belum cukup, Pak Doyo lebih beruntung daripada mereka. Ia memegangi kakiku, lidahnya sudah bergerak liar menjelajahi setiap inci paha mulus hingga ke ujung selangkangan putih. Beberapa kali ia mengecup bagian paha dalamku. Juga sesekali menghisapnya kadang menggigit. Lidahnya sangat bersemangat menelisik menjilati organ kewanitaanku yang masih tertutup celana pendek yang ia naikkan ke atas hingga selangkangan. Ujung lidahnya terasa licin dan basah begitu mengenai permukaan kulit dan bulu halusku, yang tumbuhnya masih jarang di atas bibir kewanitaan. Lidahnya tak terasa terganggu oleh bulu-bulu hitam halus yang sebagian mengintip dari celah cd yang ku kenakan. "Aahh,, eemmhh.. " aku sampai bergidik memejam keenakan merasakan sensasi sentuhan lidah di berbagai area sensitif. Terutama lidah pak Doyo yang mulai berani melorotkan celana pendek, beserta dalaman nya. Kini lidah itu menari-nari di ujung kacang kecil yang menguntit dari dalam. "Eemmhh,, aahh" aku meracau kecil. Tubuhku men
Livia ditinggalkan oleh calon suaminya yang kabur dengan wanita lain. Marah, dia menarik orang asing dan berkata, "Ayo menikah!" Dia bertindak berdasarkan dorongan hati, terlambat menyadari bahwa suami barunya adalah si bajingan terkenal, Kiran. Publik menertawakannya, dan bahkan mantannya yang melarikan diri menawarkan untuk berbaikan. Namun Livia mengejeknya. "Suamiku dan aku saling mencintai!" Semua orang mengira dia sedang berkhayal. Kemudian Kiran terungkap sebagai orang terkaya di dunia.Di depan semua orang, dia berlutut dan mengangkat cincin berlian yang menakjubkan. "Aku menantikan kehidupan kita selamanya, Sayang."