Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / My [Secret]ary
My [Secret]ary

My [Secret]ary

5.0
128 Bab
2.5K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Penolakan Raya untuk menjadi pimpinan salah satu anak perusahaan Chinar Group membawanya bertemu dengan sekretaris yang ternyata adalah kating di kampusnya dulu. Raya menyukai sekretarisnya, Jevano. Dengan sikap dingin dan cueknya, Jevano tetap menjadi seseorang yang Raya sukai. Namun, siapa sangka, di balik sikap dinginnya, Jevano menyimpan banyak rahasia tentang dirinya. Jevano bukan hanya seorang sekretaris biasa, dia lebih dari itu.

Bab 1 Sekretaris Baru

“Ayah sudah mengatur jadwalmu untuk hari ini, Raya. Kamu akan bertemu general manajer dari brand kosmetik Chinara.”

Raya terdiam lama, tidak merespon kalimat yang diucapkan Prames Chinar, ayah sekaligus pemimpin Chinar Group untuk saat ini. Raya masih tidak mengerti mengapa ayahnya sangat ingin sekali dia terjun ke dunia bisnis.

Tidakkah ketiga kakaknya saja sudah cukup mampu mengurus semua anak perusahaan Chinar Group atau bahkan menjadi pemimpin setelah ayahnya nanti? Kenapa sang ayah justru masih tidak puas dan ingin Raya ikut terjun ke dalam dunia bisnis?

“Ayah mau kamu mandiri, Raya. Tidak selamanya kamu hidup bergantung pada ayah dan kakakmu bukan? Kamu harus mulai mengurus bisnis supaya kehidupanmu setelah ayah pergi nanti tidak banyak berubah.”

Perkataan Prames terdengar sangat jelas di telinga Raya. Tidak ada yang Raya lewatkan sedikit pun, tapi entah mengapa dirinya tetap saja tidak berminat melakukan itu.

“Tinggal menikah saja kalo gitu. Aku bisa bergantung pada suamiku.”

“Itu namanya tidak mandiri.” Seorang laki-laki mendatangi meja makan, tempat di mana Raya dan Prames berbincang.

Raya memandang sekilas ke arahnya, mencebikkan bibir. “Emang kenapa? Selagi ada yang bisa dimanfaatkan, kenapa harus mandiri?”

“Dasar anak ini.” Theodore, kakak pertama Raya menggelengkan kepala. Tidak mengerti dengan jalan pikiran adiknya.

Raya memang sering dimanjakan oleh ayah dan tiga kakak laki-lakinya, karena itu dia terlalu malas menjalankan perintah sang ayah. Menurutnya, untuk apa susah-susah menjadi pemimpin? Mencari uang? Dia bisa meminta semua itu pada ayah dan kakaknya.

“Aku sudah pernah bilang, Yah. Raya tidak akan tertarik dengan bisnis.” Jayden, kakak kedua Raya ikut masuk ke dalam pembicaraan. Dia mengambil kursi di sebelah kiri Raya, dekat dengan sang ayah.

“Itu karena kalian semua memanjakannya.” Prames menunjuk dua anak laki-lakinya, Theo dan Jayden. Yang ditunjuk hanya tertawa saja, sadar bahwa mereka memang selalu memanjakan sang adik.

“Apa aku tidak termasuk hitungan?” Mahen, anak laki-laki ketiga di keluarga Chinar memasuki ruang makan. Dia mengambil tempat duduk di hadapan Raya, tepat di samping Theo.

“Kamu juga sama saja. Kalian bertiga selalu memanjakannya.”

Raya yang mendengar percakapan antara ayah dan kakaknya tertawa. Itu benar sekali dan dia tidak bisa mengelak. Sebab dia juga suka dimanjakan oleh mereka.

“Sudah, lupakan pembahasan itu. Ayah harus bicara serius dengan Raya. Hari ini kamu akan bertemu Bu Puji, tidak ada penolakan. Ayah juga sudah mencarikan sekretaris untukmu, dia akan membimbing dan mengajarimu cara menjadi pemimpin yang baik.”

“Hah? Sekretaris apanya? Ayah tidak bilang padaku.”

“Ini Ayah sudah bilang ‘kan? Jadi kamu tinggal mengikuti saja apa kata Ayah.”

Raya memajukan bibirnya, malas sekali dengan perintah beruntun dari Prames. Terlebih lagi semua itu terdengar seperti paksaan yang harus dituruti, mau atau tidaknya Raya sama sekali tidak masuk ke dalam pertimbangan.

“Udah, Dek. Turuti aja ya, selamat menjadi perempuan sibuk.” Jayden menepuk pelan kepala Raya, lalu menggusak rambut adiknya.

“Ah elah Kak, berantakan nih rambutku. Nyebelin banget sih!” sungut Raya kesal.

Bukannya apa, dia sudah menata rambut selama kurang lebih tiga puluh menit untuk mendapatkan model yang dimau dan Jayden bisa-bisa mengacak rambut ini. Memang kakak keduanya itu suka sekali membuat dia kesal.

“Udah ya, pembicaraan udah selesai. Ayo fokus makan.” Prames mengucapkan kalimat terakhir sebagai penutup pembicaraan di meja makan. Selanjutnya suasana mulai hening sampai semua makanan yang disajikan pelayan di atas piring tandas.

Para pelayan sibuk mengambil piring dari atas meja, merapikan semuanya. Belum sempat semuanya bangkit dari kursi, bel rumah berbunyi, menandakan ada tamu yang datang.

Pelayan segera bergegas membuka pintu, mempersilahkan tamu itu masuk ke ruang tengah. Seorang laki-laki dengan tinggi 175 centimeter memasuki ruang makan, tubuhnya dibalut kemeja putih dengan jas biru tua serta celana warna senada. Dasi hitam bercorak garis maroon terlampir di lehernya. Dia sedikit membungkuk, memberi hormat pada Prames.

“Selamat pagi, Pak. Saya Jevano Naraja.”

“Oh! Kamu sudah datang rupanya.”

Raya yang mendengar percakapan antara ayahnya dengan seorang pemilik nama yang tak asing segera mengangkat kepala, dia tadi sibuk merapikan rambut sehingga harus menundukkan kepala. Begitu matanya melihat ke arah sang tamu, dia terkejut tidak terkira.

Mulutnya terbuka sedikit, bola matanya melebar. Jantungnya serasa berhenti berdetak saat itu juga. Oke, mungkin ini berlebihan, tapi itu yang Raya rasakan. Suhu dingin bahkan mulai merambat dari buku jemarinya.

“Heh, tutup mulutnya! Nanti nyamuk masuk tahu rasa.” Theo menginterupsi Raya, dia tidak menyangka kalau respon adiknya berlebihan seperti itu padahal yang datang hanya seorang sekretaris baru.

“Wait, please let me take a time for a moment.” Raya menolehkan kepalanya ke sang ayah, wajahnya dia rubah, mencoba terlihat biasa walau degup jantungnya tidak bisa berbohong.

“Ayah, kenapa Ayah nggak bilang kalau sekretaris baruku itu dia?” tanya Raya dengan suara sepelan mungkin, takut kalau orang yang dibicarakan akan mendengar. Padahal mau sekecil apapun suara Raya, orang di ruang makan akan tetap mendengar karena suasana di sana hening usai semua pelayan selesai membereskan piring.

“Kenapa? Kamu kenal dia?” tanya Prames.

“Kenal sih kayaknya, Yah.” Mahen menyahuti dengan nada menggoda. Matanya melirik Jevano yang tidak menampilkan ekspresi wajah apapun, terus datar sejak berada di rumah ini.

Bukannya apa, Mahen tahu pasti siapa Jevano ini. Karena Mahen adalah kakak tingkat Jevano di kampus dulu, mereka pernah satu kegiatan organisasi berdua dan yeah Mahen tahu kalau adik perempuan satu-satunya itu sudah lama jatuh ke dalam pesona seorang Jevano.

Bahkan saat Mahen dan Jevano masih kuliah, Raya beberapa kali mencoba meminta tolong pada Mahen untuk mengenalkannya ke Jevano. Hanya saja Mahen tidak mau melakukannya. Bukannya Mahen jahat, dia cuma tak mau Raya terlihat seperti perempuan yang terlalu mengejar laki-laki. Bagi Mahen, kodrat perempuan itu dikejar, bukan mengejar.

Raya melemparkan tatapan tajam ke arah Mahen, takut kalau kakaknya yang satu itu akan banyak bersuara dan membeberkan semuanya di keadaan sekarang. Yang ditatap tajam meledakan tawanya, lantas bangkit berdiri.

“Aku berangkat duluan deh, Yah. Hari ini harus mendatangi beberapa cabang mal jadi aku mulai dari pagi.”

“Ya, sana berangkat. Hati-hati di perjalanan. Bilang ke supir untuk tidak ngebut.”

“Siap, Ayah.”

Sepeninggal Mahen, ruang makan terasa semakin dingin. Suasananya benar-benar tidak bisa dikendalikan. Apalagi Theo terus memperhatikan Jevano dari atas sampai bawah. Dia tentu peka terhadap respon Raya dan Mahen tadi, sepertinya laki-laki bernama Jevano ini memiliki sesuatu yang khusus sampai respon kedua adiknya amat di luar dugaan.

“Dia lulusan mana, Yah?” tanya Theo ke Prames.

Bukannya Prames yang menjawab, malah Jevano yang angkat bicara. Dia menjelaskan secara runtut jurusan sewaktu kuliah, di mana kampusnya, dan apa saja kegiatan yang sebelumnya pernah dia lakukan.

Mendengar pernyataan Jevano membuat Theo menganggukkan kepala. “Menarik. Aku setuju aja sih dia jadi sekretaris Raya. Asal dia bisa membimbing Raya menjadi pemimpin yang baik.”

“Itu alasan Ayah menjadikan dia sekretaris Raya. Ayah percaya dia akan menjadikan Raya pemimpin yang baik dan hebat.”

Kepala Raya terasa berdenyut sakit sekarang. Pikirannya mulai berjalan tak tentu arah. Karena hei! Yang benar saja. Bagaimana bisa sekarang dia bertemu lagi dengan seseorang yang membuatnya tak bisa jatuh cinta ke laki-laki lain? Setelah selama empat tahun kuliah dia hanya mampu memendam perasaan seorang diri? Malah ayahnya sendiri yang membawa laki-laki itu padanya, mengejutkan sekali. Takdir yang tidak disangka.

“Raya, kamu baik-baik sama dia ya. Dan Jevano, saya titipkan anak saya padamu. Dia masih sangat manja, jadi tolong didik dia dengan baik.” Prames berbicara ke Jevano yang hanya diangguki oleh laki-laki itu.

Lihatlah, Jevano tidak banyak berubah sejak masih kuliah dulu. Dia tetap irit bicara, tipe laki-laki yang tak ingin diributkan dengan banyak hal dan Raya harus menghabiskan banyak waktu dengannya, terus di sisinya entah sampai kapan. Walaupun Raya menyukai laki-laki itu, tapi tetap saja Raya paling tidak suka berada di dekat seseorang yang bersikap dingin.

Huh! Semoga saja Raya bisa bertahan.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY