Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Menikah Dengan Musuh
Menikah Dengan Musuh

Menikah Dengan Musuh

5.0
2 Bab
314 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Pernikahan yang biasanya disetujui oleh kedua belah pihak, terutama pengantin yang akan menjalaninya. Tapi, pernikahan antara Birdel dengan Denan bukanlah pernikahan yang mereka impikan. Denan yang merupakan tunangan kakak Birdel terpaksa menikahi gadis itu atas permintaan tunangannya, Barsha. Awalnya Birdel tidak ingin menjalani hubungan itu dan sangat membenci Denan karena dia menganggap bahwa Denan lah yang telah menghabisi nyawa kekasihnya. Namun, seiring berjalannya waktu Birdel tahu bahwa pelaku yang sesungguhnya bukanlah Denan, melainkan kakak kandungnya sendiri. Setelah mengetahui hal itu, hati Birdel sangat hancur. Terlebih lagi ketika Barsha mengatakan bahwa dia sengaja melakukan hal itu agar Denan bisa menikah dengannya. Barsha yang pada kenyataannya mempunyai kekasih lain, membuat Denan kecewa dan menyesal karena sangat mencintainya. Akan tetapi, Barsha yang tahu bahwa Denan sangat tulus menyayanginya itu pun berusaha untuk memperbaiki semuanya dengan merebut Denan dari tangan Birdel. Lantas apa yang akan dilakukan oleh Birdel saat mengetahui kakaknya berusaha untuk kembali ke dalam kehidupan suaminya? Apakah Denan akan memilih Barsha yang sangat dia cintai atau Birdel yang mulai mencintainya?

Bab 1 Pertengkaran Di Malam Pertama

Berulang kali dia meyakini bahwa pria yang baru saja resmi menjadi suaminya itu adalah mantan tunangan kakak kandungnya sendiri. Dia tidak tahu apa yang terjadi dan kenapa dia bisa menikah dengan pria yang paling dia benci di dunia ini.

Mungkin karena kesalahan yang tidak sengaja dia lakukan saat sesi foto prewedding kakaknya yang dilakukan di sebuah pulau terpencil. Di sana dia dan calon pengantin pria bertemu di ruang ganti pakaian dan terjadi perdebatan hebat di sana. Apa yang membuat mereka saling bermusuhan? Sehingga setiap ada kesempatan untuk bertemu tak pernah luput dari pertengkaran.

“Sekarang kamu bisa tersenyum dengan puas karena telah berhasil mengancurkan kehidupan kakakmu. Apa lagi prestasi yang bisa membuatmu bangga selain merebut calon suami dari kakakmu sendiri?”

Dia menatap jengkel pada pria itu. Mereka yang saat ini sedang berada di sebuah hotel untuk menghabiskan malam pertama, tampak tidak tidak ingin saling menyentuh satu sama lain.

Wanita itu mendekat, menyentuh pelan dada bidang suaminya yang masih berdiri di ambang pintu sembari berkacak pinggang.

“Satu hal yang harus kamu ketahui, Suamiku. Aku bukanlah orang yang suka mengambil barang bekas meski diberikan padaku dengan suka rela. Aku lebih baik membeli berlian berharga yang belum pernah disentuh oleh orang lain. Jadi, sebaiknya kamu berpikir dulu sebelum berbicara kepadaku,” ujarnya.

“Barang bekas? Perkataanmu sungguh sangat menyakitkan bagiku. Selama aku hidup hingga diumur dua puluh enam tahun, aku belum pernah bertemu dengan wanita arogan seperti dirimu. Kamu tidak hanya angkuh dan sombong, tapi juga tidak bisa membedakan mana berlian yang berharga dan juga mana perak yang sudah berkarat. Antara kamu dan kakakmu sudah jauh perbedaannya. Dia berlian sekaligus mutiara yang sangat berharga. Sedangkan dirimu hanyalah perak berkarat yang tidak akan pernah berkilau seperti semula.”

Wanita itu menahan napas, tangannya terkepal dengan sangat kuat saat mendengar perkataan yang menyakitkan itu. Impiannya bukanlah serumit ini, menikahi pria yang menjadi musuhnya beberapa tahun terakhir.

Dia wanita yang sangat sederhana, mencintaik lelaki yang tidak akan pernah bisa dia miliki. Impiannya telah hancur, terkubur bersama jasad kekasihnya yang meninggal karena sebuah konspirasi. Dia tidak akan pernah melupakan momen bersejarah itu, di mana pria yang saat ini berdiri di hadapannya juga dia lihat ketika kekasihnya menghembuskan napas terakhir.

“Aku masih ingat dengan jelas bagaimana tanganmu yang kotor itu telah menghabisi nyawa kekasihku. Kamu pikir aku akan melupakan semuanya dan bahagia saat menikah denganmu? Tidak, Denandra! Kamu telah salah menilaiku. Aku sama sekali tidak senang menikah dengan musuhku sendiri. Kamu lihat saja nanti, api kemarahanku akan menghancurkan hidupmu yang sempurna itu. Ini baru permulaan, aku berhasil menggagalkanmu sebagai kakak iparku.”

“Lakukan apa yang menurutmu benar, aku akan melakukan apa yang menurutku benar. Kita akan melihatnya nanti, siapa yang telah salah menilai selama ini. Kamu atau aku yang akan menjadi pemenangnya.”

Setelah mengatakan hal itu dan berhasil membuat mulut istrinya terbungkam, Denandra memilih untuk keluar dari kamarnya dan pergi ke suatu tempat agar bisa menghindar dari perdebatan mereka yang tidak akan ada habisnya.

Dia memicingkan mata, mengatur napasnya yang terasa sangat sulit untuk dikendalikan tadi. Ketampanan Denandra tidak mampu membuat kebencian di hati wanita itu memudar. Justru rasa bencinya semakin besar saat mengetahui kenyataan yang selama ini ingin dia dengar.

“Bagaimana malam pertamamu? Lancar? Kamu dan Denandra sudah menyelesaikan kewajiban kalian sebagai suami istri kan?”

Dia mendengus kesal, sang kakak mengirimkan pesan pribadi beberapa menit yang lalu. Entah apa tujuannya, sehingga mantan tunangan suaminya itu bertanya hal yang yang seharusnya tidak perlu dia tanyakan. Kalau wanita lain yang berada di posisinya, pasti sudah melakukan sesuatu untuk mencegah pernikahan dan malam pertama itu terjadi.

“Kami tidak tidur dalam kamar yang sama, Kak. Denandra ada di kamar sebelah. Kalau Kakak mau tahu tentang dia, sebaiknya hubungi saja langsung ke nomor dia,” balasnya.

“Apa kalian bertengkar lagi? Kenapa? Jangan bilang karena masalah yang sama?”

“Kenapa Kakak harus peduli dan khawatir? Seharusnya Kakak senang karena aku dan Denandra tidak melakukan ibadah layaknya pasangan suami istri.”

“Mungkin karena aku yang membuat kalian tidak melakukan ibadah itu. Birdel, sudah berapa kali aku katakan, jangan pikirkan perasaanku. Aku senang karena Denandra menikah denganmu. Dengan begitu kebencian yang ada di dalam hatimu akan mulai berkurang seiring berjalannya waktu.”

Birdella galau, dia dilema dengan sikap kakaknya yang seharusnya marah, tapi malah mendukung dan merestui pernikahannya itu. Entah apa yang dipikirkan oleh saudaranya itu sehingga hatinya begitu baik dan suci dalam mencintai Denandra dan menyayangi adiknya.

“Aku tahu ini rencana Kakak untuk menikahkanku dengan Denandra. Tujuannya apa sih, Kak? Supaya aku bisa memaafkan kesalahan pria itu dan melupakan apa yang telah dia lakukan pada Syail? Tidak, Kak. Aku bukan orang baik yang akan memaafkan kesalahannya begitu saja.”

Birdella mengirim panjang lebar pesan pada kakaknya. Kemudian dia beranjak menuju kamar mandi, berniat untuk membersihkan diri. Tapi, tiba-tiba Denandra kembali masuk dengan muka kusut. Sepertinya habis bertengkar dengan seseorang.

“Ngapain kamu masuk ke kamarku?” tanya Birdel dingin.

Denan menatapnya dengan sendu. “Ini kamarku juga. Orang tuamu telah memesan kamar ini untuk kita berdua. Jadi, aku bebas tidur di atas kasur,” jawabnya.

“Enak saja. Kamu tidur aja di sofa, kasur ini milikku.”

“Kalau kamu mau tidur aja di sebelahku. Tapi, kalau kamu menolaknya, ya aku bisa apa. Sofa masih kosong, lantainya juga nggak terlalu dingin, ada karpet sebagai alasnya.”

Tanpa rasa bersalah, Denandra langsung merebahkan tubuhnya di kasur empuk itu. Birdel yang tidak terima langsung menghampirinya dan menarik tangan Denan untuk segera turun dari sana.

“Jangan melewati batas, Denan. Aku bisa kasar jika kamu memaksanya. Sebelum kemarahanku bertambah, sebaiknya kamu turun dari tempat tidur ini,” ujarnya.

Dengan sekuat tenaga Birdel berusaha untuk membuat Denan turun dari tempat tidurnya. Namun, kekuatan seorang wanita tidak sebanding dengan pria, sehingga tubuh Birdel jatuh menimpa tubuh Denan yang masih berbaring di tempat tidur.

Selanjutnya, tidak ada adegan saling tatap menatap seperti yang ada di drama-drama. Denan langsung mendorong tubuh Birdel ke samping lantas dia langsung duduk di sisi ranjang.

“Kalau kamu ada perasaan padaku, sebaiknya kamu buang saja. Karena hati dan cintaku masih menjadi milik kakakmu, Barsha,” ujar Denan tanpa menoleh.

Birdel yang mendengar musuhnya mengatakan hal itu dengan percaya diri pun turun dari ranjang dan menatapnya sembari melipatkan kedua tangan di dada.

“Apa pernikahan ini yang sudah memberikanmu kepercayaan bahwa musuh bisa jadi cinta? Mungkin kamu terlalu banyak menonton drama, makanya suka menghalu seperti ini. Tapi, maaf, Denan. Kebencianku tidak akan pernah berubah menjadi cinta. Sebaiknya buang pikiran itu jauh-jauh dari dalam otakmu yang tidak berguna itu.”

Denan berdiri, dia menatap Birdel dengan tajam. Tatapan mereka memang bertemu. Tapi, rasa antara Birdel dan Denan tetap sama, hanya ada benci dan bukan cinta atau pun rasa kagum.

“Semakin aku mengenal dirimu, membuatku semakin tahu bahwa sifatmu sangat jauh berbeda dengan Barsha. Dia gadis yang anggun dan juga baik, berbeda dengan wanita yang berdiri di hadapanku ini.”

“Maka itu kita tidak pernah ditakdirkan untuk bersama. Pernikahan ini adalah kesalahan, dan aku ingin kamu mengurus surat perceraian kita secepat mungkin. Satu hari saja aku tidak mau hidup denganmu, pria egois dan merasa dirinya yang paling benar.”

Birdel kembali meninggalkan Denan yang mematung tanpa mencegah istrinya itu pergi.

“Entah bagaimana caraku menghadapi adikmu ini, Barsha. Dia sangat membenci diriku. Dia percaya dengan apa yang dia lihat tanpa tahu kebenarannya. Aku sangat lelah menghadapi sikapnya yang arogan itu.” Denan menghela napas berat, dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan dan menunduk memikirkan tunangannya.

***

Birdel telah selesai mengemasi barang-barangnya. Dia hendak pulang ke rumah orang tuanya tanpa mengatakan apa pun kepada Denan terlebih dahulu. Denan yang melihat istrinya berkemas pun langsung menghampirinya.

“Kamu mau ke mana?” tanya Denan heran.

“Pulang, mau ke mana lagi,” jawab Birdel cuek dan dingin. Dia sama sekali tidak menatap suaminya itu.

“Masih ada dua hari lagi, kenapa kamu ingin pulang secepat itu?”

“Karena aku muak melihat wajahmu itu. Bukankah tadi malam aku sudah mengatakan bahwa aku tidak ingin tinggal bersamamu walau hanya untuk satu hari saja. Kamu itu terlalu menjijikkan bagiku.” Birdel berbalik dan melayangkan tatapan tajam pada Denan.

“Jaga ucapanmu, Birdel. Ini masih pagi dan aku tidak ingin ada keributan di antara kita. Bisakah kamu menyimpannya untuk nanti? Setidaknya sampai kita selesai sarapan,” ujar Denan.

Birdel menyeringai, dengan pelan dia menyentuh rambut suaminya dan mengusapnya sebentar. “Apa kamu menyukaiku?” tanya Birdel.

Denan mengerutkan kening. “Maksud kamu?”

“Dari caramu bersikap sudah sangat jelas bahwa ada rasa yang tidak kamu katakan pada kakakku. Aku tahu bahwa kamu sangat mencintainya dan tidak ingin dia tahu bahwa kamu juga menyukai adik kandungnya sendiri. Apa aku benar?”

“Kamu salah paham, Del. Nggak pernah ada cinta untukmu dihatiku. Aku hanya mencintai Barsha, sampai kapan pun hanya dia wanita yang aku cintai. Lebih baik kamu jangan terlalu berharap padaku, aku tidak akan pernah bisa membalas perasaanmu itu.”

Kali ini giliran Birdel yang dibuat bingung oleh Denan. Dia yang tadinya dengan percaya diri mengatakan bahwa Denan menyukainya, kini terpaksa harus berbalik badan karena malu telah kalah berdebat dengan pria itu.

“Aku lapar. Cepat turun dan jangan membuatku menunggu lama,” ujar Birdel. Dia segera keluar dari kamarnya dan berdiri di depan pintu.

Ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Entah itu karena Denan telah membuatnya kesal atau mungkin dia sangat merindukan Syail yang lebih dulu dipanggil Tuhan.

Tanpa disadari air mata Birdel jatuh membasahi pipinya. Dia segera menyekanya sebelum Denan keluar dan melihatnya menangis, karena itu akan menghancurkan harga dirinya sebagai orang yang akan membalaskan dendam pada pria itu.

“Kenapa masih berdiri di sini? Aku pikir kamu duluan ke restoran.” Denan keluar dan sedikit terkejut melihat Birdel yang ternyata menunggunya di luar kamar.

“Jangan kepedean! Aku berdiri di sini bukan karena menunggumu, hanya saja aku tidak tahu jalan menuju kantinnya,” jawab Birdel menyimpan rasa malunya.

“Kan bisa tanya sama pegawainya, jangan bilang kamu mau bergandengan tangan denganku,” goda Denan.

Birdel menatapnya kesal. “Dari mana sejarahnya dua orang yang saling bermusuhan bergandengan tangan menuju restoran? Jangan mimpi kamu! Aku tidak akan pernah melakukan hal itu, meski hanya kamu satu-satunya pria yang ada di dunia ini.”

“Yakin? Nanti kamu sendiri yang mencari tanganku. Setidaknya pundak lah untukmu bersandar.”

Tak ingin mendengarkan celotehan dari Denan, Birdel berbalik badan dan pergi meninggalkan meninggalkan suaminya sendiri. Denan yang melihat istrinya kesal, malah tersenyum senang. Dia pun segera menyusulnya.

“Hai pengantin baru, kita bertemu lagi di sini.”

Birdel dan Denan menghentikan langkah tepat sebelum pintu masuk restoran saat sepasang suami istri menghampiri mereka berdua.

“Kita pergi saja dari sini. Aku nggak ada selera untuk sarapan,” ajak Birdel pada Denan.

“Tunggu, Del.” Wanita itu mencegahnya. “Apa kamu tidak penasaran siapa orang yang telah menjebak Syail waktu itu?” Birdel balik badan, menatap wanita itu dengan penuh penasaran. Dia memang ingin tahu kenapa Syail meninggal secara mendadak seperti itu. Tapi, ada hal yang tidak ingin dia ketahui meski itu tentang Syail sekali pun.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY