at untuk melarikan diri. Setiap langkahnya terasa berat, beban yang tidak bisa dia lepaskan. Ezra, dengan segala ketenangan dan kekuatann
hu, Ezra selalu mengamatinya, tak peduli seberapa jauh ia berusaha menghindar. Mereka berdua terikat dalam sesuatu
, suara langkah kaki yang dikenal membuatnya terjaga. Tanpa melihat, Ivy sudah bisa merasakanny
. "Kau pikir bisa menghindar dariku selamanya?" suara Ezra mengalir pelan, hampir sep
adapannya, mencoba mengabaikan Ezra yang begitu dekat. "A
a yang ada untuk dipikirkan, Ivy?" Dia bergerak lebih dekat, mengambil kursi di sebelahnya tanpa i
ra sudah mengunci setiap kemungkinan untuk melarikan diri. "Aku tidak tahu apa yang kau inginkan dariku, Ezra. Ini suda
kau bisa bertahan, Ivy. Sampai kapan kau bisa terus bersembunyi dari kenyataan ini." Tangannya tiba-tiba terulur, menyentuh lembut
bertanya, namun suaranya terdengar
hangat, menggetarkan setiap helai rambut di tengkuknya. "Kenyataan bahwa kita sudah terjebak dalam ini bersama," jawab Ezra dengan
in terperangkap, bukan karena dia menginginkan ini-tapi karena ada kekuatan dalam diri Ezra yang membuatnya mer
dirinya yang ingin melawan, yang ingin keluar dari jaring ini, me
skipun penuh dengan ketidakpastian. "Aku ti
da yang kau kira. Kau mungkin tidak sadar, tapi kau sudah terjebak sejak awal." Dia menarik kursi lebih dekat, men
uasi ini, tapi saat itu, dia tahu, kata-kata itu kosong. Tidak ada yang bisa di
lu hanya semakin memperjelas bahwa pertempuran ini bukan hanya ten
ih untuk melawan perasaan yang muncul. Mereka datang dengan cara yang tak
coba, semakin dia merasa seperti tenggelam dalam kedalaman yang tak terlihat. Ezra bukan hanya profesor yang dingin dan tak
memberi ruang di antara mereka, namun masih dengan tatapan
nya lebih erat. Dan meskipun dia berusaha keras untuk menolak, dia tahu satu ha