Ipar, maksa m
dengan ide sintingnya!" Zidane me
dari kendaraan yang bersiap balapan liar berpendar di kejauhan, memantul di aspal yang masih lembap oleh e
masih dihantui percakapan tadi malam. Kata-kata Vanesa dan Fuad b
ala
satu orang yang bisa diajak berbicara soal ini, itu hanya Fikra. Ali memang teman lama, tapi terlalu santai, tak bisa diandalkan dalam situasi
e arahnya. Begitu sampai, Fikra m
balik ke arena rupanya!" seruny
wa hambar, tanpa semang
u bicara
kspresi temannya. Candaannya langsung luntur. "Ser
ang semakin bising. "Ke be
lebih sepi. Saat suara raungan mesin dan sorakan mulai meredup, mere
napas panjang, sementara Fikra tetap
en lu serius banget," Fikra membuka pe
p bisa mengusir ketegangan yang mengikat t
ah. Dia menajamkan tatapan
i, seolah semakin dia berbicara, semakin nyata keg
gakkan tub
nesa ingin gue menghamilinya." Tangannya mengepal saat mengatakannya
aranya bergetar antara marah dan tidak
Rasanya ada batu besar
n justru merembes di pelipis Zidane. Sunyi meling
gus. "Kenapa mereka nggak adopsi ana
Gue udah nyaranin itu berkali-kali. Tapi Vanesa nggak mau
"Gue rasa Vanesa cuma manfaatin kelemahan sua
us gimana. Bang Fuad itu kakak kandung gue. Dan gue baru lima bulan cerai dari istri gue. Gue masih ngerasain gima
ih, kan kakak lu sendiri yang mi
gua gak mi
menatap Zidane lama, sebelum akhirnya menepuk bahunya-bukan s
asti: lu nggak boleh kejebak dalam permainan
n tatapan yang lebih mantap. Dia tahu. Tapi bagaimana cara
isi kepala sahabatnya. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, ia ak
pontan, seperti menepis sesuatu yang
dalam, pandangannya tak lepas dari wajah Zidane, s
pisnya dengan gerakan lelah. "Gue nggak ngerti giman
a sesuatu yang lebih dalam-pengertian yang tak perlu dijelaskan deng
g suci, tapi gue pantang main sama cewek yang punya ikat
tipis. "Vanesa mas
tersenyum kecil-pahit. "Le
ti mereka, membawa udara dingin yan
bih rendah, nyaris seperti bisikan. "Fik, dulu lu
ah jalan yang gelap. "Dulu gue emang penggila Vanesa, Zi
sakan luka yang masih tersisa. Namun, in
e datang ke sini. Gue nggak tahu ada nggak orang yang lebih cocok buat nge
ne tahu, pikirannya sedang berpacu, mencoba me
sa seperti seabad, ia akhirnya
toko, Zid. Vanesa nggak bak
itar mereka terasa semakin sunyi, semakin sempit. Seaka
ya ke motor, menatap langit k
balik wajah cantiknya, ada permintaan yang bisa menghancurkan segalanya-ke
gerti posisi lu. Vanesa itu dulu emang cantik, dan sekarang mun
lalu mengusap wajah dengan tel
atau cari alternatif medis. Tapi Vanesa keras kepala, dan Bang Fuad
adang, terlalu cinta sama istr
apan itu yang menusuknya lebih dalam dari yang ia
istri gue. Sekarang, gue harus berhadapan sama dilema ini. Kakak gue... dia nggak t
ma soal lu atau Vanesa. Ini soal prinsip. Lu harus tegas sama mereka. Gue tahu lu nggak mau ny
ngangguk pelan. "Gue tahu. Itu yang bikin gue datan
urun dari motornya. Ia berjalan mendekat
yang jelas sama Vanesa. Sekarang, semua tergantung sama lu.
san besar harus diambil. Ini bukan lagi soal menjaga citra atau harga diri di m
Zidane akhirnya mengangguk. "Lu bener, Fik.
impan sesuatu yang lebih dalam. "Gue di b
gan mendengar itu. Tapi ia tahu
ikan begitu saja. Ada pertaruhan besar di dalamny
bagi Zidane, hiruk-pikuk dunia luar terasa semakin jauh. Denga
diselesaikan dengan sat
k. Gue udah cu
eka berdua melaju di jalanan malam, meninggalkan k
ta Vanesa masih menggema. Tapi kali i
*