Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Birahi Anak Motor
Birahi Anak Motor

Birahi Anak Motor

5.0
2 Bab
100 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Khusu Penikmat Cerita TAK BIASA

Bab 1 Balapan

Ketika Kakak Ipar, maksa minta dihamili.

"Gila... mereka benar-benar serius dengan ide sintingnya!" Zidane mengumpat, rahangnya mengatup keras.

Ia duduk di atas motor sportnya yang masih menyala. Menatap kosong ke jalanan gelap di depan. Lampu-lampu dari kendaraan yang bersiap balapan liar berpendar di kejauhan, memantul di aspal yang masih lembap oleh embun malam. Suara knalpot meraung, sorakan para penonton membahana-tapi semua itu terasa jauh di telinganya.

Jari-jarinya mengetuk-ngetuk gagang gas, gelisah. Pikiran Zidane masih dihantui percakapan tadi malam. Kata-kata Vanesa dan Fuad berputar di benaknya seperti jarum yang terus menusuk tanpa henti.

"Sialan!"

Dengan kasar, dia mengusap wajahnya. Dadanya terasa sesak. Semua ini terlalu absurd, terlalu menjijikkan untuk bisa dicerna akalnya. Jika ada satu orang yang bisa diajak berbicara soal ini, itu hanya Fikra. Ali memang teman lama, tapi terlalu santai, tak bisa diandalkan dalam situasi segila ini. Matanya menyapu kerumunan. Fikra ada di sana, bersandar di motornya di sisi jalan, mengamati hiruk-pikuk dengan ekspresi santai.

Zidane memutar gas dan meluncur ke arahnya. Begitu sampai, Fikra menoleh, menyeringai seperti biasa.

"Eh, duda anget-anget tahi ayam, balik ke arena rupanya!" serunya, nada canda khasnya tak berubah.

Zidane tertawa kecil-tawa hambar, tanpa semangat. Sorot matanya gelap.

"Gue perlu bicara sama lu."

Fikra menatapnya lekat, membaca keseriusan dalam ekspresi temannya. Candaannya langsung luntur. "Serius nih? Mau ngobrol di mana? Di sini ribut, Zid."

Zidane melirik kerumunan yang semakin bising. "Ke belakang aja, jauh dari sini."

Tanpa banyak kata, mereka memacu motor masing-masing ke tempat yang lebih sepi. Saat suara raungan mesin dan sorakan mulai meredup, mereka berhenti di pinggir jalan kosong, hanya ditemani deru angin malam.

Zidane turun dari motornya, menarik napas panjang, sementara Fikra tetap duduk, menatapnya dengan mata tajam.

"Jadi, apa lagi masalahnya, Boss? Tumben lu serius banget," Fikra membuka percakapan, kali ini tanpa nada bercanda.

Zidane mengusap tengkuknya, seolah berharap bisa mengusir ketegangan yang mengikat tubuhnya. "Ini soal kakak gue dan istrinya."

Wajah Fikra langsung berubah. Dia menajamkan tatapannya. "Kenapa lagi mereka?"

Zidane menelan ludah. Rasanya sulit mengucapkan ini, seolah semakin dia berbicara, semakin nyata kegilaan ini. "Mereka datang ke rumah gue tadi malam."

Fikra menegakkan tubuh. "Terus?"

Zidane menarik napas dalam-dalam. "Mereka minta sesuatu dari gue. Vanesa ingin gue menghamilinya." Tangannya mengepal saat mengatakannya. Bahkan sekarang pun, kalimat itu masih terasa asing dan menjijikkan.

Fikra menatapnya tajam. "Serius lu?" Suaranya bergetar antara marah dan tidak percaya. "Mereka beneran udah gila, apa?"

Zidane mengangguk pelan. Rasanya ada batu besar yang menghimpit dadanya.

Angin malam berhembus dingin, tapi keringat dingin justru merembes di pelipis Zidane. Sunyi melingkupi mereka, seolah dunia pun ikut menahan napas.

Fikra mengumpat panjang, lalu mendengus. "Kenapa mereka nggak adopsi anak aja, sih? Panti asuhan kan banyak."

Zidane menatap sahabatnya dalam-dalam. "Lu tahu sendiri. Gue udah nyaranin itu berkali-kali. Tapi Vanesa nggak mau. Bang Fuad juga... terlalu gampang dipengaruhi istrinya."

Fikra menggeleng, ekspresinya semakin gelap. "Gue rasa Vanesa cuma manfaatin kelemahan suaminya buat bisa dapetin lu. Lu sadar kan, Zid?"

Zidane mengatup rahang, menekan amarah yang mendidih di dalam dada. "Itulah kenapa gue ke sini. Gue nggak tahu harus gimana. Bang Fuad itu kakak kandung gue. Dan gue baru lima bulan cerai dari istri gue. Gue masih ngerasain gimana rasanya dikhianatin. Masa sekarang gue harus ngekhianatin kakak gue sendiri?" Suaranya tercekat di akhir kalimat.

"Sebenarnya lu gak ngehianatin sih, kan kakak lu sendiri yang minta lu buat dihamilin istrinya."

"Tetep saja gua gak minat, Blog!"

Fikra menghembuskan napas keras, lalu turun dari motornya. Dia menatap Zidane lama, sebelum akhirnya menepuk bahunya-bukan sekadar tepukan biasa, tapi yang berbobot, yang penuh pemahaman.

"Gila, Zid... ini berat. Tapi satu hal yang pasti: lu nggak boleh kejebak dalam permainan mereka. Even Bang Fuad itu, kakak kandung lu. "

Zidane memejamkan mata sejenak, sebelum membuka lagi dengan tatapan yang lebih mantap. Dia tahu. Tapi bagaimana caranya keluar dari kekacauan ini tanpa menghancurkan semuanya?

Fikra menatap Zidane serius, matanya menyorot tajam seolah sedang membaca isi kepala sahabatnya. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, ia akhirnya bertanya, suaranya rendah namun menekan. "Dan lu beneran gak minat?"

Zidane langsung menggeleng, nyaris spontan, seperti menepis sesuatu yang menjijikkan. "Gue belum gila, Nyet!"

"Tapi lu ragu, kan?" Fikra masih menatapnya dalam-dalam, pandangannya tak lepas dari wajah Zidane, seolah mencoba menggali sesuatu yang tak diucapkan.

Zidane mengembuskan napas panjang, lalu memijat pelipisnya dengan gerakan lelah. "Gue nggak ngerti gimana otak mereka bisa sampai kepikiran hal segila itu."

Fikra tertawa kecil, getir. Tatapannya melembut, tapi di baliknya ada sesuatu yang lebih dalam-pengertian yang tak perlu dijelaskan dengan kata-kata. "Yang bikin lu berat karena Vanesa kakak ipar lu, kan?"

Zidane menunduk sedikit, menghela napas. "Gue bukan orang suci, tapi gue pantang main sama cewek yang punya ikatan keluarga atau pertemanan sama gue. Itu harga diri gue."

Fikra menyeringai tipis. "Vanesa masih secantik dulu?"

Zidane mengangkat wajahnya, tersenyum kecil-pahit. "Lebih cantik sekarang malah."

Hening. Angin malam berdesir melewati mereka, membawa udara dingin yang tiba-tiba terasa lebih menyesakkan.

Zidane akhirnya kembali membuka suara, nadanya lebih rendah, nyaris seperti bisikan. "Fik, dulu lu lebih dari sekadar suka kan sama kakak ipar gue?"

Fikra terkekeh, hambar. Tatapannya menerawang jauh ke arah jalan yang gelap. "Dulu gue emang penggila Vanesa, Zid. Tapi hidup nggak selalu kasih kita apa yang kita mau."

Zidane menatap sahabatnya itu, bisa merasakan luka yang masih tersisa. Namun, ini bukan saatnya membahas kenangan lama.

Ia menghela napas berat sebelum akhirnya berkata, tegas. "Itulah kenapa gue datang ke sini. Gue nggak tahu ada nggak orang yang lebih cocok buat ngehamilin Vanesa selain lu. Gue nggak mau terlibat dalam urusan gila begini."

Fikra terdiam. Mata hitamnya kosong, tapi Zidane tahu, pikirannya sedang berpacu, mencoba mencerna absurditas yang baru saja didengarnya.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti seabad, ia akhirnya bersuara-pelan, tapi sarat makna.

"Gue sekarang cuma penjaga toko, Zid. Vanesa nggak bakal pernah ngelirik gue lagi."

Di kejauhan, terdengar deru motor menjauh. Dunia di sekitar mereka terasa semakin sunyi, semakin sempit. Seakan hanya ada mereka berdua di tengah malam yang pekat ini.

Zidane menyandarkan punggungnya ke motor, menatap langit kosong dengan mata penuh beban.

Vanesa, kakak iparnya, memang memiliki pesona yang sulit diabaikan. Tapi di balik wajah cantiknya, ada permintaan yang bisa menghancurkan segalanya-keluarga, harga diri, dan hubungan persaudaraan yang tak akan pernah sama lagi.

Fikra akhirnya bersuara lagi, kali ini lebih berat. "Zid, gue ngerti posisi lu. Vanesa itu dulu emang cantik, dan sekarang mungkin lebih cantik. Tapi... apa bener-bener nggak ada cara lain?"

Zidane menutup matanya sejenak, lalu mengusap wajah dengan telapak tangan yang terasa dingin.

"Tadi udah gue bilang. Gue udah kasih saran ke mereka-adopsi anak, atau cari alternatif medis. Tapi Vanesa keras kepala, dan Bang Fuad..." Ia menghela napas tajam. "Dia selalu nurut apa kata istrinya."

Fikra tertawa kecil, sinis. "Kadang, terlalu cinta sama istri juga nggak bagus. Jadi lemah."

Zidane tak langsung menjawab. Ada sesuatu dalam ucapan itu yang menusuknya lebih dalam dari yang ia kira. Lalu, ia berbalik, menatap Fikra lurus-lurus.

"Lu pikir gue bisa biarin ini terjadi? Gue udah cukup terpuruk waktu dikhianati sama istri gue. Sekarang, gue harus berhadapan sama dilema ini. Kakak gue... dia nggak tahu apa-apa, Fik. Kalau dia tahu gimana sakitnya istri berkhianat, dia bisa hancur."

Fikra menatap Zidane dengan sorot yang lebih lembut. "Zid, kalau gue boleh jujur, ini bukan cuma soal lu atau Vanesa. Ini soal prinsip. Lu harus tegas sama mereka. Gue tahu lu nggak mau nyakitin perasaan Bang Fuad, tapi kalau lu nggak ngelawan sekarang, lu bisa terjebak lebih dalam."

Zidane menatap sahabatnya lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Gue tahu. Itu yang bikin gue datang ke sini. Gue nggak bisa nyelesain ini sendirian."

Fikra mengembuskan napas panjang, lalu turun dari motornya. Ia berjalan mendekati Zidane, menepuk bahunya dengan lembut.

"Lu harus berani bilang TIDAK, Zid. Kalau perlu, bikin batas yang jelas sama Vanesa. Sekarang, semua tergantung sama lu. Jangan biarin mereka dorong lu ke jurang yang lebih dalam."

Zidane menatap lurus ke depan. Malam ini, di jalanan yang sunyi, ia tahu keputusan besar harus diambil. Ini bukan lagi soal menjaga citra atau harga diri di mata orang lain-ini soal mempertahankan prinsip yang selama ini ia pegang teguh.

Setelah beberapa detik yang terasa panjang, Zidane akhirnya mengangguk. "Lu bener, Fik. Gue harus tegas sama Vanesa juga Bang Fuad."

Fikra tersenyum tipis, meski matanya menyimpan sesuatu yang lebih dalam. "Gue di belakang lu, Zid. Apapun yang lu butuhin."

Zidane merasa sedikit lebih ringan mendengar itu. Tapi ia tahu, masalah ini jauh dari selesai.

Permintaan Vanesa bukan sesuatu yang bisa dia abaikan begitu saja. Ada pertaruhan besar di dalamnya-hubungan keluarga, kepercayaan, dan kehormatan.

Di kejauhan, suara balapan liar masih bergema. Namun malam ini, bagi Zidane, hiruk-pikuk dunia luar terasa semakin jauh. Dengan tekad yang mulai menguat, ia menatap jalanan gelap di depannya.

Masalah ini harus segera diselesaikan dengan satu cara atau seribu cara.

"Ayo balik, Fik. Gue udah cukup malam ini."

Fikra mengangguk, menyalakan motornya kembali. Mereka berdua melaju di jalanan malam, meninggalkan kerumunan pembalap liar yang masih bersorak gembira.

Namun di dalam kepala Zidane, kata-kata Vanesa masih menggema. Tapi kali ini, ia tahu apa yang harus dilakukan.

^*^

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 2 Balapan   Kemarin13:41
img
1 Bab 1 Balapan
27/05/2025
2 Bab 2 Balapan
27/05/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY