k pantas itu, karena memang tak pernah datang lagi. Semua kembali berjalan sesuai fitrah
angit berwarna jingga kusam seperti kai
ng kretek yang menyala pelan. Angin bertiup malas, hanya cukup kuat menggoyang daun jambu, menciptak
apu halaman belakang sebelum berhenti pada wajah Pian yang
segar aja, ya. Wajahnya cerah terus. Senyumnya itu
. "Mungkin karena Anisa kerja di toko, j
ko juga, tapi malah makin kusut. Toko mainan, pula. Tapi Anisa emang beda, cantiknya
k juga marah. Datar. Tapi matanya menatap dalam, s
sir istri
a buru-buru mengangkat
naran. Lagian bukan cuma aku yang sering bilang gi
a Pian tetap rendah, tapi nadanya seperti tali
u. "Ya itu tandanya kamu emang harus bangga, Yan. Mana ada orang kampun
sayatan. "Pujian boleh. Tapi kadang yang
awa lagi, tapi nad
ak bocah. Walau usiaku lebih tua, kita udah sama-s
g. Kadang rumput tetangga kelihatan lebih h
bantu, Yan. Lagian Anisa juga selalu sopa
baik. Aku cuma minta satu hal, jangan terlalu ser
"Baik, Yan. Aku paham maksudmu. Nanti mal
i langkahnya tak seenteng biasanya. Ada kegugupan di pu
lang ke udara. Kata-kata Badri menggugah potongan-potongan ingatan yang semula dianggap remeh: betapa sering Anisa menyebut n
ggi dan kekar dari Pian. Gayanya meyakinkan, mulutnya manis. Dan entah kenapa, ras
, muncul rasa yang aneh-antara curiga, takut, dan pasrah. Ia belum tahu apakah ini
uncul dengan gayanya yang khas, jaket lusuh tergantung di bahu, dan rambutnya yang disisir ke belakang tam
apanya, setengah rama
sih menyimpan jejak keresahan set
ilakukan teman. Ia mengeluarkan rokok dari kantong celananya, menyal
i kejauhan. Ngobrol sama
bentar," jawa
an sesuatu. "Hati-hati, Yan. Tetangga
pat, alisnya na
ngobrol. Tapi kamu tau sendiri, dia tipe yang... kalau liat sesuatu yang menari
na terdengar terlalu pas dengan rasa cur
juga tau istrimu memang luar biasa. Nah apakah kamu gak curiga sama Badri. Cewek secantik Anisa, jangan terlal
an di pangkuannya, ta
an-bukan," lanjut Hadiat, masih dengan senyum yang terlalu santai. "Ka
u barusan ngomong itu kayak orang
lang yang nyata. Dan aku cuma pengin kamu waspada,
ang" kata Pian pe
ud jahat, Yan. Cuma kadang suami memang butuh masukan dari luar, sebelum se
lai saling berebut tempat. Ia tahu, kampung kecil ini penuh bisik-bisik, dan istrinya, wanita yang ia banggakan-
nja, dan malam pu
empat disampaikan. Pian melangkah keluar rumah, niatnya sederhana-sekadar membeli roko
r suara dua lelaki yang sangat ia kenal
engar geli. "Tapi jujur ya, aku yakin istrinya itu kurang kepuasan. Lihat aja cara d
i Pian itu, auranya kayak api dalam sekam. Au
lak, nyaris tersedak kopinya. "Buset, itu
n bicara, tapi lidahnya terasa lumpuh. Bukan karena takut-tapi
"Menurut aku, Anisa tuh udah pengen banget punya ana
icik. "Kalau aja si Pian minta bantu
Badri. "Jangankan satu anak, Sepuluh
n terasa makin kecil. Dan yang paling menyakitkan, bukan hanya kare
erasa sepele. Yang lebih mendesak adalah menjawab pe
erti gema buruk yang tak bisa dipadamkan. Dalam hati, ia mencatat: Hadiat memang ular kepala dua. Tap
kamar. Di sana, Anisa duduk santai di atas ranjang, ponsel di tangan, senyum-sen
m. Ingin bertanya, "Sedang chat sama siapa?" Tapi lidahnya kelu.
pelan, tapi sang istri tak menoleh. Jemarinya tetap si
an serak, "Boleh
unci ponsel. "Apa,
alu mengusap
at, mereka sering ganggu
aki, Mas. Kadang suka celetukan aneh, kaya ngegoda gitu wa
amu... nggak terganggu
"Asal jangan diladenin, tapi juga jangan dibikin
sekaligus menusuk. Pia
aku ng
pa sih nanyanya aneh
ku cuma... pengin tahu aja. Dan
menarik selimut dan meletakn hapenya, lalu memjamkan
*

GOOGLE PLAY