/0/25598/coverbig.jpg?v=8497fb7f6bf778aadd1230b6f1287d16)
u beneran?!"
kangen, Rin,"
"Kok bisa tahu ak
nmu. Aku nggak betah k
aneh. Ini jauh, loh.
ak apa. Yang pent
lam rumah terdengar s
. Kalau nenek
"Santai, cuma n
ikan senyum, nenek kel
Saya Faldo, tem
um. "Oh, Fald
membuatkan kopi cream favorit k
. Kopi ke
n kamu lupa
an ransel penuh mi
buka warun
ggak ada. Kan kamu m
ni berat b
, apasih yang berat
tert
g kangen? Udah ada co
rina kangen banget, tau! D
par cokl
ila!" ak
i membawa si
an dulu,"
an bungkusan kertas. "Sed
ngat. "Wah, terima
dengan nenek, rasa waswasku lenyap
nggak sih?" tanyanya
u keliatan jor
u di sini dinging banget, ku
us ya, mau dipeluk? Pada
u tertawa. Suasana hangat, ditemani kopi, sing
ik, "Rin, temenin aku
enti main, ibu-ibu melongo. Wajar, Faldo tinggi, gagah, gaya kota, kontras
jalan sama maj
kku. "Aku malah beras
gkul! Ini kampung
di hutan pinus berd
ngus. "Pa
sama kamu," balasnya s
annya langsung terhenti, mata mereka penuh rasa penasaran,
-bisik makin ramai saat kami
"Mau beli rokok
erani godain kamu," katanya sok j
Emangnya
matis. "Kalau kamu nggak laku
"Pasar cinta
elanja hati k
empar sandal.
mu ketawa. Kalau serius t
tetap terangkat. Bersama Faldo, kadan
pamit, menatapku
yanya terlalu mencolok, dikhawatirkan rawan begal. Sebenarnya aku ingin ia mengina
jemput, bilang aja Rin. Ja
sok gaya. Itu hutan, bukan ca
galkan aroma kopi dan singkong goreng
asuk lewat celah jendela, sementara ak
. "Temenmu itu baik, ya.
"Iya, cuma
al hatinya bagus," j
paruh baya berdiri di beranda: sarung rapi, baju k
ikum, Mak Yan
k Haji. Silakan duduk
yentuhku-membuatku buru-buru kembali ke dapur. Obrolan sama
sebentar," pangg
, mapan, tanah luas, toko besar... Dia
api... dia kan s
akitan. Usianya enam puluh, tapi sehat. Dan
istri kedua lelaki seusia ay
ak mau. Aku mas
api di kampung, seusiamu wajar menikah. D
a 'teman' yang dimaksudkan Faldo tadi? dia sepert
magrib, Haji Farid rutin datang, membawa makanan untukku. Aw
tak pernah genit atau menyinggung soal lamaran. Jauh dari tipikal bapa
u ramai. Dari balik meja, Haji Farid menyambut hangat, senyumnya te
aru lima puluhan, tapi tampak renta. Saat tatapanku bertemu dengannya, ia tersenyum lembut,
aji Farid tulus, tapi aku sadar: bahagia bukan hanya soal ketulusan orang lain, melainkan j
rena kuliah sebentar lagi masuk. Kupikir akan naik ojek sepe
kota belanja pupuk sama alat pertani
k samping, sementara beliau menyetir mobil pick-up. Sepanjang perjalanan, kami hanya sesekali be
dan mengucapkan terima kasih. Sebelum menutup pintu,
ik-adik," katanya singkat, se
tu: beberapa lembar uang seratus ribuan. Lebih dari cukup untuk jajan aku, E
iri belum pernah bicara gamblang soal lamaran. Bisa jadi hanya nenek yang terlalu jauh menafsirkan ke
Faldo
uka, tapi langsung mundur, minder karena selain terlalu ganteng, dia jelas dari
nongkrong di kafe kecil, jalan berdua, tanpa banyak tahu soal keluarga masing-masing. Aku nyaman, ka
lu banyak penggemar dan tidak bisa tegas menolak, sementara aku sendiri tak kuat men
lah waktu yang aka
*

GOOGLE PLAY