nan Teh
apa Alda, dengan busana muslimah dan kerudung syar'i-nya yang besar, duduk seorang diri di bawah poh
estiansi paling damai untuk melepaskan lela
g menjulang tinggi di kejauhan, dan sungai berkelok yang memisahkan dua s
i ladangan bersama puluhan pegawainya. Sibuk mempersiapan panen perdana teh jenis u
uka kontak. Ia menatap nama di layar sejenak sebelum akhirnya mengetuk tombol
u menung
ng langsung menyapa ceria, khas Erlin
kecil. "Lagi
bil maskeran pake lumpur laut mati. Hidup emak
"Enak ya hidup kamu,
ak-anak makin sibuk dengan dunianya, asisten rumah tangga malah kabur minggu lalu,
mu glowing
m, Udah kaya Bu Ustazah aja. Eh iya gimana kabar
ku lagi di bawah pohon beringin, tempat favo
pohon beringin, pasti curhatnya
g sej
yang sering aku omongin, Mas Arga kayaknya makin parah banget. Kayak nggak ada tenaga sama sekali. Ka
rlin hanya ber
uh, gairahku masih menggebu-gebu. Masih ngerasa pengen di
ab. Ia tahu benar, ini bukan curhat bias
stri yang masih terbilang muda, 40 tahun, sehat, cantik. Punya kebutuhan, punya gairah. Y
. "Tapi aku malu, Li
s itu aseksual. Kamu bukan malaikat, Al. Kamu manusia biasa, istri, dan ibu. G
lama-lama meledak, Lin.
.. kalau Mas Arga gak berubah, dan kamu terus nyangkal perasaan kamu sendiri,
ya tampak begitu damai, tapi dadanya sesa
arus menyakiti siapa pun. Kalau kamu butuh liburan, kabur sebentar, atau sekadar nginep ke Batam, di tem
r kalimat kayak gitu. Yang bikin aku ngerasa gak sendirian. Aku ka
alau saat ini kita jauh, a
Alda yang sebagian melayang-layang. Ia masih duduk di bawah pohon beringin, ponsel menempel di telinga, su
. Dari keluhan jadi ibu dua anak, tren skincare terbaru, gosip artis yang vira
serem. Udah kayak sinetron strip
drama. Bedanya kamu nonton, bukan main pera
jadi tokoh utama juga. Tapi bukan sebaga
ggeleng sambil
ra Alda terdengar lebih pelan. "Lin... sebenernya ak
n cepat, nadanya berubah jad
pian, atau karena... ya gitu deh. Tapi aku ngerasa...
ntusias. "Mantan SMA? Jangan bilang si Reinhar?
langsung mem
impunan kampus yang suka anter
tahu dimana Mas Arif sekarang.
ti sedang menahan tawa. "Kalau bukan
Alda bertanya
mimu itu l
paan sih... Dodi
juga udah kaya pendekar, tinggi, tegap. Pasti suka curi-curi pandang p
emijit pelipisnya, sepa
Duloh loh! Yang sering kamu bangga-banggain itu. Yang kamu bilang se
teriak Al
.. jangan bilang kamu terobsesi
enutupi lututnya. Mukanya memerah seketi
. sumpah kamu tuh kal
a bercanda and nebak aja. Tapi cara kamu diam
ang apa. Yang jelas bukan mereka. Aku cuma lagi...
akan maksa. Tapi kamu
pa
empat yang salah cuma karena kesepian. Terus berdoa
ma. "Aku tahu, Lin. Mak
umahku selalu terbuka. Dan mulutku... ya biasanya sih g
n ditutup, bukan karena topik selesai, tapi karen
tah kenapa, tebakan Erlin soal Dodi dan Bah Duloh terus bergema di kepalanya. Padahal ia tidak bila
dengan aktivitas ringan. Ia mengambil selang dari samping rumah, mulai menyiram bunga-bunga di halaman d
kelopak-kelopak bunga yang bermekaran. Tapi
os oblong yang dikenakannya sudah agak basah, menempel di tubuh. Keringat bercamp
ali rambut depannya ia sapu ke belakang karena terhalang pandangan. Bahkan tonjolan
gerak-gerik pemuda 21 tahun itu. Napasnya tak seirama dengan selan
Ia bukan sekadar sopir, tapi hampir seperti tangan kanan dalam segala hal. Disipli
ras Dodi. Tapi postur tegapnya, sorot matanya yang tenang, dan cara ia menyeka pelipis de
ya sedikit basah karena terpental dari tanah. Ia buru-buru mematikan keran, l
ersenyum sopan. "Bu, airnya muncrat k
um kaku. "Maaf, Dod
mah... saya ikhlas," jawab Dodi cepat, lalu
ngar seperti godaan yang dibungkus canda. Tapi juga bi
rumah, padahal belum
a mengapa akhir-akhir ini godaan itu seolah
ta memandang. Pikirannya melayang pada peristiwa beberapa bu
*