Unduh Aplikasi panas
Beranda / Modern / Godaan Desah Majikan
Godaan Desah Majikan

Godaan Desah Majikan

5.0
21 Bab
5.4K Penayangan
Baca Sekarang

Bacaan Khusus Yang Sudah Pernah Selingkuh

Konten

Bab 1 Godaan 1

"Faldo... kamu beneran?!" tanyaku kaget.

"Kok kaget? Aku kangen, Rin," jawabnya santai.

Aku berdiri cepat. "Kok bisa tahu aku di rumah nenek?"

"Usaha lah. Tanya temenmu. Aku nggak betah kalau nggak ketemu kamu."

Aku mendengus. "Dasar aneh. Ini jauh, loh. Nggak takut nyasar?"

"Nyasar dikit nggak apa. Yang penting ketemu kamu."

Pipiku panas. Dari dalam rumah terdengar suara nenek. Aku panik.

"Kamu gila, Al. Kalau nenek lihat gimana?"

Faldo tertawa. "Santai, cuma ngobrol sebentar."

Belum sempat kusembunyikan senyum, nenek keluar. "Lho, siapa ini?"

"Permisi, Nek. Saya Faldo, temen kampus Erina."

Nenek tersenyum. "Oh, Faldo. Masuk, Nak."

Aku lega. Di ruang tengah, aku membuatkan kopi cream favorit kami, sambil menggoreng singkong.

"Nih, Fal. Kopi kesukaanmu."

"Wah, kirain kamu lupa," katanya.

Ia lalu mengeluarkan ransel penuh minuman dan cemilan.

"Kamu mau buka warung?" candaku.

"Kata kamu di sini nggak ada. Kan kamu masih lama liburannya."

"Bawa segini berat banget, Al."

"Demi cucunya nenek, apasih yang berat." Ia mengedip nakal.

Aku tertawa.

"Rin, kok nggak bilang kangen? Udah ada cowok baru ya?" godanya.

Aku melotot. "Oh my God! Erina kangen banget, tau! Dua minggu kamu kemana aja?"

Ia melempar coklat padaku.

"Dasar gila!" aku tertawa.

Nenek kembali membawa singkong goreng.

"Nih, makan dulu," katanya.

Faldo buru-buru menyerahkan bungkusan kertas. "Sedikit oleh-oleh buat Nenek."

Nenek tersenyum hangat. "Wah, terima kasih banyak, Nak."

Aku tersenyum melihat Faldo akrab dengan nenek, rasa waswasku lenyap. Udara dingin membuatnya menggigil.

"Rin, kamu suka mandi nggak sih?" tanyanya sambil memeluk diri.

"Heh! Emang aku keliatan jorok?" aku manyun.

Ia terkekeh. "Bukan, maksudku di sini dinging banget, kuat nggak mandi pagi di sini?"

Aku mendekat nakal. "Modus ya, mau dipeluk? Padahal ada singa di dapur."

Pipinya memerah, buru-buru menyeruput kopi. Aku tertawa. Suasana hangat, ditemani kopi, singkong goreng, dan nenek yang sesekali nimbrung.

Tak lama, Faldo berbisik, "Rin, temenin aku ke warung beli rokok."

Sejak keluar rumah, tatapan orang-orang langsung mengikuti. Anak-anak berhenti main, ibu-ibu melongo. Wajar, Faldo tinggi, gagah, gaya kota, kontras sekali denganku yang berdandan seadanya. Rasanya seperti jadi pembantunya.

"Aku kok berasa jalan sama majikan," bisikku.

Faldo merangkul pundakku. "Aku malah berasa jalan sama bidadari."

"Sttt, jangan rangkul! Ini kampung, Fal," aku panik.

"Hehe, kirain kita di hutan pinus berdua doang," godanya.

Aku mendengus. "Pansos aja."

"Biarin, yang penting sama kamu," balasnya sambil menepuk pundakku.

Warung sederhana itu sudah terlihat. Obrolan ibu-ibu di depannya langsung terhenti, mata mereka penuh rasa penasaran, ada yang melirik diam-diam, ada yang menatap terang-terangan.

Faldo membeli rokok dan bisik-bisik makin ramai saat kami kembali pulang ke rumah nenek.

Aku mendengus, "Mau beli rokok apa pamer sih?"

"Pamer lah. Biar nggak ada yang berani godain kamu," katanya sok jagoan. Aku senyum-senyum sendiri.

"Ih pede. Emangnya aku laku?"

Faldo berhenti, menatapku dramatis. "Kalau kamu nggak laku, pasar cinta bisa bangkrut."

Aku ngakak. "Pasar cinta apaan sih?"

"Tempat aku belanja hati kamu tiap hari."

Aku hampir melempar sandal. "Gombal banget!"

"Biarin. Tugasku bikin kamu ketawa. Kalau serius terus, kita kayak sinetron."

Aku manyun pura-pura, tapi ujung bibir tetap terangkat. Bersama Faldo, kadang marah dan tangis pun berakhir tawa.

Menjelang sore, ia pamit, menatapku seolah enggan pergi.

Atas saran nenek dan tetangga, Faldo pulang ditemani dua tukang ojek. Motor dan gayanya terlalu mencolok, dikhawatirkan rawan begal. Sebenarnya aku ingin ia menginap, tapi aturan nenek jelas tak bisa ditawar. Sebelum berangkat, Faldo menyalamiku.

"Nanti kalau pulang mau dijemput, bilang aja Rin. Jangan kangen berlebihan, ya."

Aku manyun. "Hati-hati, jangan sok gaya. Itu hutan, bukan catwalk. Lagian gak ada sinyal."

Ia tertawa, lalu melaju pergi, meninggalkan aroma kopi dan singkong goreng... juga rasa hangat bercampur rindu.

Malam terasa lebih sepi. Angin sawah masuk lewat celah jendela, sementara aku masih terbayang senyumnya saat pamit.

"Eh, Neng," panggil nenek. "Temenmu itu baik, ya. Sopan, bawain kado segala."

Aku nyengir. "Iya, cuma agak bawel."

"Bawel nggak apa, asal hatinya bagus," jawab nenek terkekeh.

Usai makan, suara salam terdengar. Seorang lelaki paruh baya berdiri di beranda: sarung rapi, baju koko putih, peci hitam, wajah teduh berjanggut tipis.

"Assalamu'alaikum, Mak Yanah," sapanya.

"Wa'alaikum salam, Pak Haji. Silakan duduk," sambut nenek ramah.

Aku menyiapkan teh. Saat menyerahkan, tatapannya sempat menyentuhku-membuatku buru-buru kembali ke dapur. Obrolan samar, lumayan lama sampai akhirnya lelaki paaruh baya itu pamit.

"Neng, ke kamar sebentar," panggil nenek kemudian.

"Tamu tadi Haji Fariduddin. Orang baik, mapan, tanah luas, toko besar... Dia tadi sempat nanya-nanya tentang kamu."

Aku tercekat. "Tapi... dia kan sudah punya istri?"

"Anak-anaknya sudah pisah. Istrinya sakit-sakitan. Usianya enam puluh, tapi sehat. Dan dia sanggup biayai kuliahmu sampai tamat."

Dadaku sesak. Bayangan jadi istri kedua lelaki seusia ayahku membuat tubuhku dingin.

"Nek... aku nggak mau. Aku masih mau kuliah."

Nenek mengusap tanganku. "Nenek ngerti. Tapi di kampung, seusiamu wajar menikah. Dan Haji Farid... bukan orang sembarangan."

Aku terdiam. Apakah nenek tidak mengerti arti kata 'teman' yang dimaksudkan Faldo tadi? dia sepertinya menganggap Faldo memang bukan siapa-siapaku.

Sejak sore itu, rumah nenek nyaris tak pernah sepi. Menjelang magrib, Haji Farid rutin datang, membawa makanan untukku. Awalnya aku enggan, tapi demi nenek, akhirnya ikut menemaninya.

Ternyata ia berbeda dari bayanganku: ramah, sederhana, suka bercanda, tak pernah genit atau menyinggung soal lamaran. Jauh dari tipikal bapak-bapak kampung yang mapan dan sering sok berkuasa. Seperti Pak Hasbi.

Suatu siang nenek mengajakku ke tokonya, alasan beli pupuk. Toko itu ramai. Dari balik meja, Haji Farid menyambut hangat, senyumnya tenang, matanya sempat singgah padaku. Cukup membuat jantung berdegup.

Di sudut, seorang perempuan duduk pucat dan ringkih. "Itu istrinya," bisik nenek. Usianya baru lima puluhan, tapi tampak renta. Saat tatapanku bertemu dengannya, ia tersenyum lembut, ramah, namun sarat makna. Seolah tahu sesuatu, seolah memberi izin sebelum ada kata terucap.

Aku merinding. Antara simpati dan takut, seperti berdiri di ambang rahasia besar. Mungkin Haji Farid tulus, tapi aku sadar: bahagia bukan hanya soal ketulusan orang lain, melainkan juga pilihan hati. Dan hatiku belum siap. Aku masih ingin mengejar mimpi, bukan terikat janji.

Tak terasa masa liburan hampir selesai. Aku harus kembali karena kuliah sebentar lagi masuk. Kupikir akan naik ojek seperti biasa, tapi Haji Farid justru menawarkan diri mengantarku.

"Sekalian aja, Neng. Saya juga mau ke kota belanja pupuk sama alat pertanian. Pas sekali, kan," katanya ringan.

Aku tak enak menolak. Nenek tersenyum setuju, seolah semuanya sudah mereka atur. Aku duduk di jok samping, sementara beliau menyetir mobil pick-up. Sepanjang perjalanan, kami hanya sesekali bertukar kata, tentang kampus, sawah, atau cuaca. Aku lebih banyak menatap jalanan, pura-pura sibuk.

Saat mobil berhenti di mulut gang kampungku, aku turun dan mengucapkan terima kasih. Sebelum menutup pintu, Haji Farid menyelipkan sebuah amplop putih ke tanganku.

"Buat jajan Neng Erina dan adik-adik," katanya singkat, senyumnya seperti seorang ayah.

Tanganku menerima, tapi dadaku bergetar aneh. Di kamar, aku membuka amplop itu: beberapa lembar uang seratus ribuan. Lebih dari cukup untuk jajan aku, Erwan dan Enda sebulan, tapi di tanganku terasa seperti beban yang tak kuminta.

Sebenarnya aku ingin menceritakan semuanya pada Ayah dan Ibu, tapi lidahku kelu. Toh, Haji Farid sendiri belum pernah bicara gamblang soal lamaran. Bisa jadi hanya nenek yang terlalu jauh menafsirkan kebaikannya. Lagian orang tuaku bisa tersinggung, menganggap nenek ikut campur urusan yang bukan haknya?

Terus Faldo gimana?

Aku dan Faldo beda kampus. Dia setahun di atasku. Awalnya aku yang lebih dulu suka, tapi langsung mundur, minder karena selain terlalu ganteng, dia jelas dari keluarga berada, sedangkan aku cuma anak petani dengan ibu penjual kue di pasar.

Saat aku berhenti berharap, dia malah menyatakan perasaan. Tiga bulan kami bersama, sederhana saja: nongkrong di kafe kecil, jalan berdua, tanpa banyak tahu soal keluarga masing-masing. Aku nyaman, karena walau populer dan kaya, Faldo nggak pernah pamer. Kedua orang tuaku pun belum kenal sama sekali.

Selama bersama itu, selain manis, aku merasa lebih banyak bertengkarnya. Faldo terlalu banyak penggemar dan tidak bisa tegas menolak, sementara aku sendiri tak kuat menahan rasa cemburu kalau dia sudah bersikap terlalu manis dan mesra pada cewek lain.

Ah, sudahlah. Biarlah waktu yang akan menjawab takdirku.

^*^

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 21 Godaan 21   11-10 16:58
img
img
Bab 1 Godaan 1
27/06/2025
Bab 2 Godaan 2
27/06/2025
Bab 3 Godaan 3
27/06/2025
Bab 4 Godaan 4
27/06/2025
Bab 5 Godaan 5
28/06/2025
Bab 6 Godaan 6
28/06/2025
Bab 7 Godaan 7
28/06/2025
Bab 8 Godaan 8
28/06/2025
Bab 9 Godaan 9
28/06/2025
Bab 10 Godaan 10
28/06/2025
Bab 11 Godaan 11
20/09/2025
Bab 12 Godaan 12
20/09/2025
Bab 13 Godaan 13
21/09/2025
Bab 14 Godaan 14
21/09/2025
Bab 15 Godaan 15
21/09/2025
Bab 16 Godaan 16
21/09/2025
Bab 17 Godaan 17
21/09/2025
Bab 18 Godaan 18
21/09/2025
Bab 19 Godaan 19
21/09/2025
Bab 20 Godaan 20
21/09/2025
Bab 21 Godaan 21
21/09/2025
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY