Unduh Aplikasi panas
Beranda / Modern / Godaan Desah Majikan
Godaan Desah Majikan

Godaan Desah Majikan

5.0
5 Bab
46 Penayangan
Baca Sekarang

Bacaan Khusus Yang Sudah Pernah Selingkuh

Konten

Bab 1 Curhat Istri Galau

Perkebunan Teh Nirwana.

Siang menjelang sore, angin berembus lembut menyusuri sela-sela daun. Alda Rismayanti yang biasa disapa Alda, dengan busana muslimah dan kerudung syar'i-nya yang besar, duduk seorang diri di bawah pohon beringin tua di sudut belakang rumah megah bergaya Belanda, tua namun tetap terurus dengan baik.

Tempat itu sudah lama menjadi favoritnya. Destiansi paling damai untuk melepaskan lelah, atau sekadar menenangkan hati yang galau.

Dari situ, siapapun bisa melihat hamparan kebun teh, sawah, ngarai, gunung menjulang tinggi di kejauhan, dan sungai berkelok yang memisahkan dua sisi kampung, seperti dua dunia berbeda yang dipisahkan oleh sungai raksasa.

Suasana rumah sedang sepi. Mak Uun masih sibuk di dapur, dan Arga, suaminya masih di ladangan bersama puluhan pegawainya. Sibuk mempersiapan panen perdana teh jenis unggul setelah dilakukan peremajaan yang rencana akan diekspor ke Jerman dan Inggris.

Alda menghela napas panjang. Tangannya meraih ponsel dari pangkuan, lalu membuka kontak. Ia menatap nama di layar sejenak sebelum akhirnya mengetuk tombol hijau. Erlin, sepupu sekaligus sahabt sejatinya sejak SMA hingga kuliah dulu.

Tak perlu menunggu lama.

"Halo, sayaaaangg..." suara di seberang langsung menyapa ceria, khas Erlin yang selalu terdengar penuh semangat.

Alda tersenyum kecil. "Lagi ngapain, Nek?"

"Lagi nungguin anak-anak pulang sekolah... sambil maskeran pake lumpur laut mati. Hidup emak-emak kota yang sok sibuk banget ya, hahahaha!"

Alda terkekeh pelan. "Enak ya hidup kamu, kayaknya adem terus."

"Bohong banget itu kalimat. Hidup adem dari mana? Suami sering dinas luar kota, anak-anak makin sibuk dengan dunianya, asisten rumah tangga malah kabur minggu lalu, gara-gara gaji minta naik tiap bulan. Tapi ya udahlah, hidup tetap harus cantik!"

"Pantes kamu glowing terus..."

"Tapi kamu lebih luar bias, Al. glowing luar dalam, Udah kaya Bu Ustazah aja. Eh iya gimana kabar Perkebunan Nirwana, adem pastinya ya?" goda Erlin.

Alda terdiam sejenak, lalu tertawa tipis. "Aku lagi di bawah pohon beringin, tempat favorit kita. Biasa mau curhat nih... boleh, ya?"

"Oh wow, kalau kamu udah nyari pohon beringin, pasti curhatnya dalam dan berat, nih. Hahahaha."

Hening sejenak.

Alda menarik napas, lalu mulai bicara pelan. "Aku capek, Lin. Capek... nahan semuanya sendiri. Seperti yang sering aku omongin, Mas Arga kayaknya makin parah banget. Kayak nggak ada tenaga sama sekali. Katanya udah berobat ke mana-mana, tapi hasilnya nihil. Tetap loyo, hambar, seolah tak ada harapan lagi."

"Duuuuh...!" Erlin hanya berseru tertahan.

"Dan aku, Lin. Aku masih ngerasa hidup. Masih ngerasa butuh, gairahku masih menggebu-gebu. Masih ngerasa pengen dicium, dipeluk, dirayu, disentuh dan dipuaskan tentu saja."

Di seberang, Erlin tidak langsung menjawab. Ia tahu benar, ini bukan curhat biasa, suara Alda pun terdengar dangat pilu.

"Kamu masih normal, Al," katanya akhirnya. "Sangat wajar, karena kamu perempuan dewasa. Istri yang masih terbilang muda, 40 tahun, sehat, cantik. Punya kebutuhan, punya gairah. Yang gak normal itu kalau kamu pura-pura nggak punya lagi. Atau kamu bohongin diri sendiri."

Alda memejamkan mata. "Tapi aku malu, Lin... Aku ini......."

"Alda?" potong Erlin cepat, lalu tertawa. "Please deh. Gak semua orang religius itu aseksual. Kamu bukan malaikat, Al. Kamu manusia biasa, istri, dan ibu. Gak dosa punya hasrat. Yang dosa itu kalau kamu nyakitin orang atau menyimpang."

"Tapi... aku takut. Takut lama-lama meledak, Lin. Aku gak tahu harus gimana?"

"Makanya kamu cerita. Aku selalu ada kok buat kamu. Tapi aku juga harus jujur... kalau Mas Arga gak berubah, dan kamu terus nyangkal perasaan kamu sendiri, kamu bisa hancur pelan-pelan. Aku tahu kamu kuat, tapi kamu juga punya batas."

Alda terdiam. Langit biru di atas kepalanya tampak begitu damai, tapi dadanya sesak oleh badai kecil yang tak kunjung reda.

"Alda..." suara Erlin kembali terdengar lembut, "kamu harus mulai pikirin cara untuk tetap waras tanpa harus menyakiti siapa pun. Kalau kamu butuh liburan, kabur sebentar, atau sekadar nginep ke Batam, di tempatku. Bawa anak-anak, datang aja. Atau... kamu bisa atur ke psikolog, atau apapun yang bikin kamu lega."

"Terima kasih, Lin... Kamu tahu nggak, kadang aku cuma butuh denger kalimat kayak gitu. Yang bikin aku ngerasa gak sendirian. Aku kangen kamu datang ke rumahku, kita bisa ketawa-ketiwi lagi di sawah."

"Kamu gak sendirian, Al. Walau saat ini kita jauh, aku akan selalu ada buatmu."

Siang makin merangkak menuju sore. Angin yang tadi hangat perlahan berubah menjadi sejuk, membelai jilbab Alda yang sebagian melayang-layang. Ia masih duduk di bawah pohon beringin, ponsel menempel di telinga, suara Erlin masih mengalir dari seberang, menemani kesendiriannya yang terasa lebih ringan sejak tadi curhat.

Setelah topik soal suaminya mulai mereda, pembicaraan mereka pun ngalor ngidul. Dari keluhan jadi ibu dua anak, tren skincare terbaru, gosip artis yang viral, sampai drama tetangga Erlin di Batam yang selingkuh dengan guru les anaknya.

"Serius, Al, emak-emak sekarang serem. Udah kayak sinetron stripping," kata Erlin sambil tergelak.

Alda ikut tertawa kecil. "Kamu juga kan suka drama. Bedanya kamu nonton, bukan main peran utama, tapi kadang ikut juga jadi figuran."

"Eh siapa tahu suatu hari nanti, aku main jadi tokoh utama juga. Tapi bukan sebagai pelakor ya, paling jadi... detektif lah."

Alda hanya menggeleng sambil senyum-senyum.

Sampai akhirnya, setelah jeda yang agak panjang, suara Alda terdengar lebih pelan. "Lin... sebenernya aku tuh... akhir-akhir ini... suka kepikiran seseorang."

"Lho? Maksudnya?" tanya Erlin cepat, nadanya berubah jadi waspada sekaligus penasaran.

"Entah ya... mungkin karena aku lagi kosong, lama kesepian, atau karena... ya gitu deh. Tapi aku ngerasa... aku jadi mikirin terus orang itu, sampai kebawa mimpi."

"Eh, eh, eh... ini mulai seru nih," kata Erlin antusias. "Mantan SMA? Jangan bilang si Reinhar? Ih, dulu kamu tuh tergila-gila banget sama dia..."

"Bukan!" Alda langsung membantah cepat.

"Atau... Mas Arif? Dulu anak himpunan kampus yang suka anterin kamu tiap pulang kajian kan?"

"Bukan juga, Lin, aku malah gak tahu dimana Mas Arif sekarang..." Alda terdengar makin gelisah.

"Hmm..." suara Erlin terdengar seperti sedang menahan tawa. "Kalau bukan mantan... jangan-jangan... si Dodi?"

"Dodi siapa?" Alda bertanya agak tersentak.

"Sopir suamimu itu loh, hehehe."

Alda tercekat. "Apaan sih... Dodi mah masih kecil!"

"Eh jangan salah, dia udah pemuda loh. Lumayan manis, ganteng. Badannya juga udah kaya pendekar, tinggi, tegap. Pasti suka curi-curi pandang pas nganter kamu, ngaku deh..." goda Erlin dengan nada geli dan menggoda.

"Lin... please!" Alda memijit pelipisnya, separuh kesal, separuh malu.

Erlin malah tambah menjadi. "Atau... astaga... jangan bilang... Bah Duloh loh! Yang sering kamu bangga-banggain itu. Yang kamu bilang semangatnya kayak anak muda. Yang kamu sebut 'jimat perkebunan' segala."

"Erliiin!" teriak Alda kesal.

"Aduh, jangan ya, Al... tolong... jangan bilang kamu terobsesi sama brondong dan aki-aki itu."

Alda langsung meremas rok panjang yang menutupi lututnya. Mukanya memerah seketika, padahal tak ada siapa-siapa di sana.

"Gila aja kamu, Lin... sumpah kamu tuh kalo ngomong suka......"

"Eh jangan marah dulu dong, Sayang... aku cuma bercanda and nebak aja. Tapi cara kamu diam itu... hmm... mencurigakan banget, hahahaha."

"Ya ampun Erlin... aku tuh... nggak tahu harus bilang apa. Yang jelas bukan mereka. Aku cuma lagi... kacau. Mungkin cuma butuh perhatian aja. Udah ah!"

"Oke, oke. Aku nggak akan maksa. Tapi kamu harus janji satu hal."

"Apaan?"

"Jangan main api. Aku gak mau lihat kamu jatuh ke tempat yang salah cuma karena kesepian. Terus berdoa semoag Mas Agra segera sembuh seperti sedia kala."

Alda menghela napas. Lama. "Aku tahu, Lin. Makasih udah dengerin aku."

"Kapan pun, sayang. Kamu tahu ponsel dan bahkan pintu rumahku selalu terbuka. Dan mulutku... ya biasanya sih gak terlalu terbuka ke orang lain. Rahasiamu aman, kok."

Mereka tertawa pelan bersama. Obrolan pun perlahan ditutup, bukan karena topik selesai, tapi karena anak-anak Erlin sudah pada pulang dari sekolah.

Alda menatap ponsel di tangannya, lalu mengangkat wajah menatap langit yang mulai berubah warna. Entah kenapa, tebakan Erlin soal Dodi dan Bah Duloh terus bergema di kepalanya. Padahal ia tidak bilang apa-apa. Tapi... dari semua tebakan itu, kenapa yang itu membuat jantungnya berdebar lebih cepat?

Setelah obrolan panjang dengan Erlin yang masih membekas di kepala, Alda mencoba mengalihkan pikirannya dengan aktivitas ringan. Ia mengambil selang dari samping rumah, mulai menyiram bunga-bunga di halaman depan. Anggrek, mawar, melati, dan beberapa tanaman hias gantung yang tumbuh subur berkat tangan dinginnya.

Air menyembur lembut, membasahi dedaunan dan kelopak-kelopak bunga yang bermekaran. Tapi pandangan Alda justru tak fokus pada tanaman.

Di samping garasi, Dodi sedang mencuci mobil Fortuner putih. Celana pendek dan kaos oblong yang dikenakannya sudah agak basah, menempel di tubuh. Keringat bercampur cipratan air membuat kulit Dodi terlihat lebih mengilap di bawah cahaya senja.

Otot lengannya tampak tegas saat ia menggosok kap mobil dengan sabun busa, dan sesekali rambut depannya ia sapu ke belakang karena terhalang pandangan. Bahkan tonjolan di selangkangannya sesekali menampakan wujurdnya, saat dia menarik tangannay ke atas.

Alda mencoba tetap tenang, namun ekor matanya jelas memperhatikan gerak-gerik pemuda 21 tahun itu. Napasnya tak seirama dengan selang yang ia genggam. Ada detak tak biasa yang mulai menyusup perlahan.

Dodi, meskipun hanya 'anak kampung,' justru jadi sosok paling diandalkan oleh Arga. Ia bukan sekadar sopir, tapi hampir seperti tangan kanan dalam segala hal. Disiplin, cekatan, dan dikenal jujur serta pendiam namun berisi. Dia lulusan STM Pertanian.

Namun yang membuat Alda saat ini tak bisa mengalihkan pandangannya... bukan soal kerja keras Dodi. Tapi postur tegapnya, sorot matanya yang tenang, dan cara ia menyeka pelipis dengan t-shirt basah itu, entah kenapa terasa terlalu jantan, terlalu macho dan laki banget.

Selang air yang dipegang Alda sempat mengarah tak tentu, membuat rok panjangnya sedikit basah karena terpental dari tanah. Ia buru-buru mematikan keran, lalu menarik napas panjang. Berpura-pura sibuk membetulkan pot yang sudah rapi.

Dodi melirik sekilas ke arahnya dan tersenyum sopan. "Bu, airnya muncrat ke sini, loh," katanya beranda santai.

Alda gugup, tersenyum kaku. "Maaf, Dod, ibu nggak sengaja."

"Gak apa-apa, Bu. Kalau Ibu yang muncratin mah... saya ikhlas," jawab Dodi cepat, lalu tertawa kecil sambil kembali membasuh mobil.

Alda terdiam. Ucapan sederhana itu, entah kenapa terdengar seperti godaan yang dibungkus canda. Tapi juga bisa jadi hanya gurauan biasa bagi anak-anak kampung sini.

Ia buru-buru masuk ke rumah, padahal belum semua bunga tersiram.

Dadanya masih berdegup pelan, bertanya-tanya mengapa akhir-akhir ini godaan itu seolah datang silih berganti dari berbagai arah.

Sesampai di kamar, Alda menatap hamparan kebun teh sejauh mata memandang. Pikirannya melayang pada peristiwa beberapa bulan yang lalu, saat untuk pertama kalinya dia merasa berubah.

^*^

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 5 Mahasiswa Magang   Hari ini11:19
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY