rasa bersalah. Lia mencoba bangkit, fokus pada sisa masa kuliahnya. Ia tahu, satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan terus melangkah maju, bahkan jika seti
rimkan lamaran ke berbagai perusahaan, berharap bisa menemukan tempat di mana ia bisa memulai lembaran baru, jauh dari bayang-bayang masa lalu. Beberapa kali
i, teknologi, hingga media-mendapatkan respons positif. Lia diundang untuk wawancara tahap akhir. Perasaan cemas bercampur dengan sedikit harapan menyelimuti hat
a menjawab setiap pertanyaan dengan lugas dan percaya diri, mengesankan para pewawancara. Seminggu kemudian, telepon berdering. Lia diterima.
di sinilah ia bisa melarikan diri dari masa lalu yang terus menghan
ari pagi, menciptakan siluet megah yang memesona. Lia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu.
angka 25. Di dalam lift, ia mematut diri di pantulan cermin. Gaun formal berwarna abu-abu, rambut yang diikat rapi, dan waj
bikel-kubikel modern, suara ketikan keyboard, dan obrolan samar-samar. Seorang wanita muda den
ita itu dengan senyum ramah. "Saya Sarah, asisten
h. Terima kasih." L
ada tim," kata Sarah, memimpin Lia menyusuri lorong. "Omong-omong,
ati beberapa ruangan dan kubikel. Beberapa karyawan menoleh dan tersenyu
h kubikel kosong. "Ini tempat Anda. Anda akan
rah," Lia mulai m
da rapat rutin divisi di ruang meeting utama. Anda akan diperkenal
Biasanya, itu hanya dihadiri oleh kepala divisi atau manajer senior. Namun, Lia mengabaikan f
ima kasih informa
a-apa, jangan sungkan bertanya.
aroma kantor yang baru, menenangkan pikirannya. Ini adalah bab
nya, lalu berjalan menuju ruang meeting utama yang ditunjukkan Sarah. Pintu ruang meeting terbuka le
tersembunyi, tampak menarik. Lia berjalan ke arah sana. Saat ia hendak
tu. Dan Lia, saat ia menole
ya. Rambut hitamnya tertata rapi, rahangnya tegas, dan mata itu... mata yang Lia kenali dengan sangat bai
zk
engan sorot mata yang dingin. Kemudian, pandangan
h tubuhnya, meninggalkan rasa dingin yang membekukan. Ia tidak bisa bergerak, tidak bisa bernapas. Ia hanya bisa menatap mata Rizky,
mencari tahu siapa pemilik perusahaan itu. Ia hanya melihat nama "Nusa Abadi Group" di
lam dan berwibawa, namun di telinga Lia, suara itu
Rizky. Ia melangkah menuju kursi di ujung meja, kursi kepala. Ta
ru saja diperkenalkan Lia pagi itu, berdeham. "Bai
ingin menghilang, ingin menembus lantai dan lenyap dari hadapan Rizk
ata-kata Adrian terasa seperti dengungan jauh. Ia hanya bisa merasakan tatapan Rizky yang se
ain yang menyampaikan laporan. Suasana rapat forma
tnya," Adrian tersenyum ramah ke arah Lia, "Saya in
k tersenyum, senyum kaku yang tidak sampai ke matanya. Ia
m kami. Dia lulusan terbaik dari universitasnya, dan
an kerja. Lia mengangguk, mencoba terlihat ten
imak, kini mengangkat tangan.
memanggil namanya, kini terdengar dingin, penuh pene
njutkan, suaranya tenang namun memiliki nada yang mengintimidasi. "
punggungnya. Semua orang di ruangan itu saling berpandangan, bingung dengan komentar Rizky. Mereka tidak tahu apa-apa te
namun ia tidak sanggup. Ia hanya bis
a kembali datar. "Saya rasa cukup per
sekali. Setiap kali ia melirik ke arah Rizky, pria itu selalu menatapnya, sorot matanya yang ta
saling berbincang. Lia buru-buru membereskan barang-barangnya, berharap bisa s
ara Rizky memanggil
ri di dekat meja, menatapnya dengan ekspresi yang tak terbaca. H
ncoba bersikap formal,
gkahnya terasa mengancam. "Saya tid
tenang. "Saya melamar karena saya melihat lowong
bagus? Atau kesempatan untu
erasa tidak nyaman dengan suasana yang tegang. "Uh
dari Lia. "Tidak, Adrian. Kau boleh perg
u bergegas keluar, meninggalkan
ntui hidupmu?" Lia bertanya
etelah semua yang terjadi, kau berani muncul di perusahaa
ninggi. "Aku tidak tahu ini perusahaanmu! Aku
nya. "Atau kau ingin melihat seberapa ja
lai menggenang di matanya. "Aku tidak pernah berniat meny
rubah dari amarah menjadi kesedihan yang mendalam. Namun,
menggelegar di ruang meeting yang sepi. "Kau tidak punya
emosi. "Itu kecelakaan! Kecelakaan! Apakah kau tidak mengerti itu? Apa
p, Lia! Kau masih bisa menghirup udara ini, melihat matahar
Aku melihat semuanya! Truk itu! Sopirnya yang ugal-ugalan! Aku berteriak pada Anya, aku melihat dia m
lihatmu di samping Anya malam itu, Lia. Aku melihatmu selamat. Aku melihat
t yang tak terlukiskan. Lia menatap Rizky, pria yang dulu sangat ia hormati, pria yang dulu adalah separu
khirnya, suaranya rendah namun penuh penekanan. "Ak
ungnya mencelos
kata Rizky, ekspresinya datar. "Kau tidak bisa menjadi ba
a terkesiap. "Aku sudah diterima!
a. Aku bisa melakukan apa pun yang aku mau. Termasuk memastikan
mulai kembali, hancur berkeping-keping di hadapan Rizky. Ini bukan hanya t
Rizky," Lia berbisik, suar
ahwa wanita yang kucintai tidak lagi bernapas, sementara orang yang terakhir bersamanya masih hidup dan menghirup udara yang sam
tu. Ia tahu, di mata Rizky, ia akan selalu menjadi Lia, sang "penyebab", yang "mengambil" Anya dari dunia ini. Dan di kantor
zky, suaranya final. "Da
isa-sisa mimpinya yang hancur di belakangnya. Ia tidak tahu harus pergi ke mana, harus berbuat apa. Jakarta yang luas tib
ak adil ini, dan apakah ada cara baginya untuk m