/0/29788/coverbig.jpg?v=2db6c1d51b5e2cf2a28c128544250bc1)
enangkan kegelisahan yang menumpuk sejak pagi. Hari ini bukan hari biasa. Bukan hari b
ga Marwanto: Elara dijodohkan dengan seorang pria asing. Seseorang yang tak pernah ia temui,
a menatap keluar jendela, kota Jakarta yang riuh seakan tak peduli dengan dram
kekanak-kanakan. Keluarga sudah memutuskan. Kiano pria yang baik, anak
harus hidup tanpa cinta. Aku... aku tak ingin." Suaranya men
tu bisa tumbuh, Nak. Tapi kesempatan
i mantra yang gagal menenangkan. Ia tahu, kata-kata itu tidak akan mengubah ken
sel yang menampilkan profil Elara. Ia tidak tahu harus merasa apa-penasaran, cemas, atau ma
eja kayu dengan irama gelisah. "Harusnya aku punya pilihan s
: senyum kecil yang menahan amarah, mata yang menatap seakan menantang dunia. Ada
a berdiri di aula megah, gaun putih menjuntai dengan elegan, tapi hatinya be
ajahnya datar, namun ada kilatan aneh di matanya-seola
am tatapan itu ada pertanyaan tak terucap: siapa sebenarnya pria ini? Dan Kiano, menatap Elara, ha
kan, diikat dengan sumpah yang terasa berat dan penuh kepura-pura
adi debat, setiap sentuhan menjadi peringatan. Mereka saling membenci dengan ca
membenci pria ini. Tapi mengapa aku merasa.
ara terlalu keras kepala. Terlalu percaya diri. Tapi
ka hidup bersama karena kewajiban, bukan karena pilihan. Semua orang di sekitar mereka mengangga
ntang acara keluarga berubah menjadi pertengkaran besar, dengan kata-kata yang lebih
terakhir kalinya. Tidak ada air mata, tidak ada p
ngkat, menatap Kiano dengan mata yang
nya datar, hampir sepert
i normal, atau setidaknya terlihat normal bagi orang lain. Tapi
umah keluarga, tapi di sebuah proyek besar di Jakarta. Elara kini menjadi kepala tim kreati
antungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Dan saat Kiano menatapnya, ada ki
ujar Kiano, suaranya tetap dingin, tapi a
mnya tipis, tapi matanya berb
seperti musik yang salah nada. Namun, seiring waktu, mereka mulai melihat s
ak pernah ia lihat sebelumnya. Kiano menyadari bahwa Elara bukan hanya wanita kera
n sesuatu yang tak pernah mereka duga: rasa rindu, rasa peduli, dan-ta
gi menjadi rintangan terbesar. Setiap senyum yang tulus disertai curiga, setiap perhatian disertai keraguan. M
o terjebak dalam lift kantor yang macet. Tidak ada ruang untu
kita berbicara," kata Kiano, sua
ang. "Mungkin... mungkin sudah waktunya ki
aksi dari momen rapuh itu-dua orang yang dulunya sa
ng dulu mengikat mereka perlahan-lahan berubah menjadi sesuatu yang lain.

GOOGLE PLAY