"Ini gila," Elara bergumam pada dirinya sendiri, suaranya setengah bergetar. Ia menatap keluar jendela, kota Jakarta yang riuh seakan tak peduli dengan drama kecil dalam kamarnya. "Aku tak kenal dia. Kenapa aku harus menikah dengannya?"
Ibu Elara masuk, langkahnya pelan namun pasti. "Elara, jangan bersikap kekanak-kanakan. Keluarga sudah memutuskan. Kiano pria yang baik, anak dari keluarga terhormat. Ini kesempatanmu untuk... stabil dalam hidup."
Elara menahan napas. "Stabil? Ibu, aku tak butuh stabil kalau harus hidup tanpa cinta. Aku... aku tak ingin." Suaranya meninggi, tapi tetap tertahan oleh rasa hormat yang mengikatnya.
Ibu menghela napas panjang. "Cinta itu bisa tumbuh, Nak. Tapi kesempatan seperti ini tidak datang dua kali."
Elara menunduk, namun hatinya tetap memberontak. Kata-kata ibu terdengar seperti mantra yang gagal menenangkan. Ia tahu, kata-kata itu tidak akan mengubah kenyataan: besok, ia harus menikah dengan orang yang tidak pernah ia pilih sendiri.
Kiano Ravindra duduk di ruangannya di apartemen tinggi keluarga Ravindra, menatap layar ponsel yang menampilkan profil Elara. Ia tidak tahu harus merasa apa-penasaran, cemas, atau marah. Ia bukan pria yang percaya pada cinta instan, apalagi dijodohkan tanpa persetujuannya.
"Ini sungguh... membosankan," bisiknya. Tangannya mengetuk meja kayu dengan irama gelisah. "Harusnya aku punya pilihan sendiri. Kenapa mereka selalu memutuskan tanpa menanyakanku?"
Sekali pun begitu, ada sesuatu dalam wajah Elara yang membuatnya berhenti sejenak: senyum kecil yang menahan amarah, mata yang menatap seakan menantang dunia. Ada ketegasan yang tak biasa pada wanita itu, dan Kiano merasa... sedikit terganggu.
Hari pernikahan datang lebih cepat daripada yang bisa mereka bayangkan. Elara berdiri di aula megah, gaun putih menjuntai dengan elegan, tapi hatinya berdegup cepat. Ia merasa seperti boneka yang digerakkan oleh tangan orang lain.
Di ujung lorong, Kiano berdiri kaku dalam jas hitam, wajahnya datar, namun ada kilatan aneh di matanya-seolah menilai, menimbang, tapi tak bisa memutuskan apa-apa.
Saat mereka bertemu di altar, dunia di sekelilingnya seperti memudar. Elara menatap Kiano, dan dalam tatapan itu ada pertanyaan tak terucap: siapa sebenarnya pria ini? Dan Kiano, menatap Elara, hanya bisa menjawab dengan dingin: siapa sebenarnya wanita ini yang tiba-tiba harus menjadi istrinya?
Pernikahan itu... aneh. Sebuah kontrak kehidupan yang tak diinginkan, diikat dengan sumpah yang terasa berat dan penuh kepura-puraan. Kata-kata sakral diucapkan, namun hati mereka menolak menerima.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan ketegangan. Setiap percakapan berubah menjadi debat, setiap sentuhan menjadi peringatan. Mereka saling membenci dengan cara yang hampir elegan-tidak kasar, tapi menusuk di tempat yang paling sensitif.
Elara menulis di jurnalnya setiap malam: Aku membenci pria ini. Tapi mengapa aku merasa... terganggu setiap kali dia tersenyum sinis?
Kiano, di sisi lain, menahan frustrasi yang sama. Elara terlalu keras kepala. Terlalu percaya diri. Tapi anehnya... aku tak bisa berhenti memikirkan wajahnya.
Bulan-bulan berlalu, dan hubungan mereka tetap dingin. Tidak ada cinta, tidak ada kompromi. Mereka hidup bersama karena kewajiban, bukan karena pilihan. Semua orang di sekitar mereka menganggap mereka pasangan sempurna, tapi hanya mereka yang tahu betapa hampa rumah itu tanpa kehangatan.
Konflik yang kecil pun berkembang menjadi ledakan besar. Sebuah perbedaan pendapat tentang acara keluarga berubah menjadi pertengkaran besar, dengan kata-kata yang lebih tajam daripada pisau. Akhirnya, perceraian menjadi jalan keluar yang tak terhindarkan.
Di pengadilan, mereka duduk berhadap-hadapan untuk terakhir kalinya. Tidak ada air mata, tidak ada penyesalan yang nyata-hanya ketegangan yang membekas.
"Ini sudah selesai," Elara berkata singkat, menatap Kiano dengan mata yang penuh campuran kebencian dan kelegaan.
"Ya," jawab Kiano, suaranya datar, hampir seperti suara robot. "Selesai."
Mereka berpisah, membawa luka masing-masing. Dunia mereka kembali normal, atau setidaknya terlihat normal bagi orang lain. Tapi di dalam hati, ada kekosongan yang tidak bisa diisi oleh apa pun.
Lima tahun kemudian, takdir mempermainkan mereka lagi. Bukan di aula pernikahan, bukan di rumah keluarga, tapi di sebuah proyek besar di Jakarta. Elara kini menjadi kepala tim kreatif di perusahaan terkemuka, sementara Kiano memimpin divisi pemasaran di perusahaan yang sama.
Mereka bertemu di ruang rapat pertama proyek itu. Saat Elara melangkah masuk, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Dan saat Kiano menatapnya, ada kilatan aneh yang tak bisa ia jelaskan-antara rasa kesal dan... sesuatu yang lain.
"Sepertinya kita harus bekerja sama lagi," ujar Kiano, suaranya tetap dingin, tapi ada nada yang sedikit berbeda dari biasanya.
Elara menatapnya balik, senyumnya tipis, tapi matanya berbicara: aku tidak takut padamu.
Hari-hari berikutnya penuh ketegangan. Sindiran lama muncul lagi, canggung seperti musik yang salah nada. Namun, seiring waktu, mereka mulai melihat sisi lain dari satu sama lain-sisi yang dulu tersembunyi di balik kebencian.
Elara melihat bahwa Kiano ternyata bukan sekadar pria dingin; ada ketulusan yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Kiano menyadari bahwa Elara bukan hanya wanita keras kepala; ada kelembutan yang ia sembunyikan di balik keberanian dan rasa sakitnya.
Pertemuan demi pertemuan, konflik demi konflik, lambat laun menumbuhkan sesuatu yang tak pernah mereka duga: rasa rindu, rasa peduli, dan-tanpa mereka sadari-benih cinta yang mulai tumbuh dari abu kebencian lama.
Namun, tak mudah bagi mereka. Masa lalu yang penuh luka, kebencian yang dulu membara, dan harga diri yang tinggi menjadi rintangan terbesar. Setiap senyum yang tulus disertai curiga, setiap perhatian disertai keraguan. Mereka belajar, dengan cara yang lambat dan menyakitkan, bahwa membuka hati setelah terluka bukanlah hal mudah.
Di satu sore, saat hujan deras mengguyur kota, Elara dan Kiano terjebak dalam lift kantor yang macet. Tidak ada ruang untuk menghindar, tidak ada kesempatan untuk menyembunyikan emosi.
"Hujan di luar sepertinya ingin kita berbicara," kata Kiano, suaranya lembut, bukan lagi dingin.
Elara menatapnya, jantungnya berdetak kencang. "Mungkin... mungkin sudah waktunya kita bicara dari hati ke hati, tanpa topeng."
Mereka diam sejenak. Hujan di luar seolah menjadi saksi dari momen rapuh itu-dua orang yang dulunya saling membenci, kini belajar memahami satu sama lain.
Dan di situlah, untuk pertama kalinya, Elara merasa... bahwa kebencian yang dulu mengikat mereka perlahan-lahan berubah menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih hangat, lebih lembut, dan jauh lebih berbahaya: cinta.