LIA
n detail-detailnya terasa begitu akrab. Bantal sofa yang sama denganku. Lukisan abstrak ya
senyum bersama. Mereka berdua di pantai, di r
a berselingkuh. Dia membangun kehidupan
ngiku. Saat dia berbalik, senyuman tipis t
nya manis menusuk. "Mas Aditya sering menceritakan
yang terlihat kaku
aper untuk kamar bayi," Nasywa terus berbicara, nadanya meremehkan. "Dia bahkan menghabiskan berjam-ja
ak lelah terus-terusan berjuang tanpa has
kan barang-barang terbaik untuk rumah kami. Dia desainer
ah kami. Dia tidak pernah memilih wallpaper untuk k
n tatapan mengejek. Mata polos itu kini penuh kebe
ya," kataku, suaraku datar. "Termasuk dirinya. Kau
Napasnya tercekat.
a tersenyum lagi. Se
siapa." Dia lalu mendekatiku, suaranya lebih renda
itu jatuh, pecah berantakan. Dia terhuyung, m
kik kesakitan, m
ke arahnya. "Kau baik-baik saja?
ta mengalir deras. "Tolong, Mbak..
p perutnya, seolah aku
penuh kekecewaan. Dia menga
umah sakit
a menoleh padaku. Matanya
danya?" tanyaku, suarak
. Hanya menatapku sesaat
men asing ini, di tengah pecahan kaca. Nasywa b
lantai. Aku membungkuk, mula
r
netes, membasahi lantai. Rasa perih itu mengin
ga yang bisa kubanggakan. Aku selalu mencari itu
ancur. Hancur lebur. Aku
GOOGLE PLAY