/0/13634/coverbig.jpg?v=0dc0548ead96d92736c8b70bde21c855)
Dan perempuan itu? Kulihat wajahnya memang cantik. Rambut panjang terurai dengan cat pirangnya. Kulit putih, meskipun tidak seputih susu. Tinggi semampai, dengan tubuh yang proporsional. Dengan dada dan bokong yang besar. Ah, tapi tetap saja, aku lebih cantik tentunya. Coba deh, tanyakan ke Mas Ali. Dia pasti akan bilang, bahwa aku adalah yang tercantik. Aku harus percaya diri. "Kamu jangan khawatir, sebentar lagi juga kamu bakalan jadi ratu di rumah ini. Menggantikan mantuku yang mandul itu. Kita hanya harus pintar bersandiwara. Kamu mainkan peranmu secantik mungkin. Jangan sampai rencana kita berantakan. Rayulah Ali, sampai dia jadi milikmu. Berikan aku cucu. Ok?" Spontan, aku menutupkan telapak tanganku, menutupi mulutku, yang membentuk huruf o. What ? Mantu mandul? Ibu mertuaku bilang, mantu mandul? Ok, baiklah. Orang bodoh pun tahu arah pembicaraan mereka. Tak perlu menerka-nerka, aku sudah sangat paham. Sepertinya aku akan ikuti sandiwara mereka, dan akan kupastikan, mereka hanya akan jadi figuran saja.
"Bagaimana, Kak Mel? Sudah enakan?" Harum memijit betisku.
Gadis muda ini adalah pembantuku. Usianya kira-kira sembila belas tahun. Sejak dua bulan lalu dia sudah ikut bersamaku. Saat itu aku bermaksud mencari pembantu karena kondisiku yang sedang hamil. Dia datang bersama ibunya menawarkan diri. Bahkan sangat memelas. Dengan alasan putrinya menganggur di kampung, Mak Uda memohon-mohon.
"Lumayan, Alhamdulillah. Kamu pintar mijitnya, " ucapku masih sedikit meringis.
Entah kenapa akhir-akhir ini kakiku sering keram. Kata dokter yang kutemui dua hari yang lalu, itu biasa dialami oleh seorang perempuan yang sedang hamil tua.
"Kak, kalau kakak melahirkan nanti, Mak Tua ke sini, enggak?"
"Pastilah, tapi mungkin enggak bisa lama. Dia juga punya kesibukan di kampung. Kenapa, kau mau nitip sesuatu dari Mak Uda?" tanyaku.
Mak Tua adalah panggilannya untuk Ibuku. Sedangkan Mak Uda adalah panggilanku untuk ibunya. Rumah orang tuaku di kampung bersebelahan dengan rumah ibunya.
"Enggak, cuma nanya aja. Memang lebih baik kalau dia gak usah lama-lama di sini."
"Kenapa?" Aku kaget mendengar ucapannya.
"Kan udah ada aku yang ngerawat Kakak."
"Iya, sih," sahutku menyimpan tanya.
Aku merasa ada sesuatu yang tersirat dari ucapannya. Naluriku mengatakan ada yang sengaja ditutupi.
Sebenarnya kecurigaanku ini sudah sejak sebulan lalu. Harum akhir-akhir ini bertingkah aneh. Sering kudapati dia mematut diri di depan cermin hias saat membersihkan kamarku. Bahkan pernah kupergoki dia mencoba memakai gaun pemberian Mas Gilang suamiku.
Aku marah dan memintanya jangan pernah sembarangan membuka lemariku lagi. Sayangnya Mas Gilang malah membelanya. Dengan alasan sudah lama kepingin gaun seperti itu, pembantuku beralibi. Esoknya Mas Gilang membelikan gaun yang sama untuknya.
"Jangan kasar! Jangan buat dia tersinggung! Nanti kalau dia merajuk pulang kampung, gimana? Kita kehilangan pembantu, kita juga dicap gak bagus di mata orang kampung," kata suamiku beralasan.
Aku menurut, dan kembali memperlakukan dia dengan baik. Sampai malam harinya setelah kejadian itu, aku dapati Mas Gilang duduk berdua di meja makan. Aku kebelet malam itu.
Aku pikir Mas Gilang masih sibuk di depan. Suamiku memang punya usaha toko pupuk yang lumayan besar. Toko itu di depan rumah kami pusatnya. Sedang cabangnya tersebar di beberapa kecamatan. Kadang dia bekerja sampai malam terutama bila ada pengiriman ke cabang.
"Mas di sini? Kirain di toko?" kataku mengagetkan mereka berdua.
Aku tidak melihat dengan jelas, karena lampu dapur sudah padam. Sepertinya aku melihat Harum duduk dipangkuan suamiku. Saat aku menghidupkan lampu, gadis itu sudah bergeser. Kucoba menghibur hati, bahwa aku hanya salah lihat tadi.
"Iya, ini si Harum dari tadi duduk menyendiri di sini. Kebetulan aku baru pulang dari toko. Aku tanya ngapain gelap-gelapan. Dia bilang masih sedih karena kamu tegur tadi. Dia minta pulang kampung besok. Dari tadi aku sudah membujuknya."
"Rum, kakak udah minta maaf, kan? Kenapa masih merajuk?" tanyaku ikut duduk.
Gadis itu meraba bibirnya. Kenapa di tanya malah meraba bibir? Kulirik kancing bajunya terbuka dua buah bagian atas. Dadaku berdesir, saat itu sebenarnya aku sudah curiga. Tapi, aku tidak tahu harus curiga apa. Perasaanku tidak enak, seolah ada sesatu milikku yang paling berharga telah salah letak. Tapi, aku tidak tahu apa dan di mana.
***
"Kak, aku kembali ke kamarku, ya? Kakak udah bisa tidur, kan?"
Ucapan Harum membuyarkan lamunanku.
"Iya," sahutku menatap pungungnya ke luar kamar.
Kucoba memejamkan mata, melupakan prasangka dan kegundahan. Kurasakan gerakan bayiku seolah menendang. Kubelai perutku penuh kasih sayang. Aku terlelap bersama gerakannya.
Aku tersentak saat sebuah tangan kekar tiba-tiba memeluk dari belakang.
"Mas, sudah tutup tokonya?" tanyaku memegang tangannya.
"Sudah, bagaimana, masih keram kakinya?"
"Sudah enakan. Mas makan dulu sana! Perlu aku hidangin?"
"Tidak usah, Sayang. Kamu tidurlah. Istirahat yang cukup, ya! Kata Dokter dalam minggu ini, kan?"
"Iya, Mas."
"Semoga bisa normal, ya."
"Tidurlah! Mas mau makan, setelah itu kembali ke ruang kerja mengecek laporan penjualan hari ini dari toko cabang!" Dia bangkit dan melangkah ke luar.
"Tunggu! Ada yang mau aku tanyain."
"Apa sih?" Mas Gilang kembali menghadapku.
"Sudah tiga minggu, kita enggak pernah lagi. Aku gak tega, Mas harus nahan selama itu. Belum lagi kalau nanti aku habis lahiran," sergahku.
Mas Gilang tersenyum, lalu berjongkok di sisiku.
"Aku sanggup nahan berapa bulan pun, Sayang. Demi kebaikan dirimu dan bayi kita." Dikecupnya lembut keningku.
Aku kembali mengerjapkan mata, begitu bahagia. Suami yang penuh pengertian.
"Makasih, Mas," bisikku sambil tersenyum.
Dia melangkah ke luar, kupejamkan mata, aku terlelap lagi.
Entah berapa lama sudah aku tertidur. Tiba-tiba aku terbangun karena mimpi buruk. Seseorang yang entah siapa mencuri baju dasterku. Aku kelelahan mengejar dan merebut kembali daster itu. Tapi, kakiku terjerembab lubang kecil, aku jatuh, lututku berdarah.
Kucari Mas Gilang di samping. Tidak ada. Kupikir pasti dia masih di ruang kerjanya. Tenggorokanku terasa kering, kucoba bangkit dan melangkah menuju dapur.
Kulirik ruang kerja Mas Gilang sambil lewat. Sunyi tidak terdengar apa-apa. Apakah suamiku ketiduran? Kubuka pintu dengan pelan. Aku heran melihat lampu tidak menyala di dalamnya. Segera ku tekan saklar di dinding dekat pintu. Ke mana dia? Mungkin dia harus keluar menemui pelanggan atau siapa, pikirku.
Tanpa curiga aku melanjutkan langkah. Sebelum sampai ke ruang makan, aku harus melewati kamar pembantu. Saat itu telingaku seperti mendengar suara desahan. Kucoba menajamkan pendengaran. Aku tidak salah dengar. Suara desahan bahkan rintihan kini semakin jelas. Kucari sumber suara itu. Aku mundur beberapa langkah.
Ini suara Harum. Desahan dan rintihan ini berasal dari kamarnya. Kenapa dia? Apakah dia sedang sakit? Kenapa tidak membangunkan aku kalau sakit.
Aku mulai panik. Sebegitu kesakitan kah gadis itu? Ya, Allah, jangan sampai dia kenapa napa. Spontan kudorong pintu kamar.
"Harum ... kamu kena --"
Suaraku terpotong demi melihat pemandangan di dalam.
Aku terduduk lemas, di depan pintu, kupegangi kepalaku yang berdenyut hebat. Bayi dalam perut ikut meronta-ronta.
***
Bersambung
Nama ane Aliando Abdul Wahab atau biasa dipanggil Dodo. Mungkin nama ane ini kayak artis yang dulu main di sinetron Ganteng Ganteng Anjing ya? Tapi ane bukan dia kok, ane ini cuman orang biasa yang kebetulan lebih ganteng dari artis itu. Ane berasal dari pinggiran Garut City yang dimana banyak sekali pegunungan yang menjulang tinggi. Sangat manusiawi kalo seorang anak remaja pengen punya pengalaman romantis di masa sekolah. Seperti lagu ChrIyse yang menceritakan indahnya masa muda di sekolah. Ane pingin membangun sebuah kenangan indah di masa sekolah. Akhirnya ane bertekad untuk dapetin Mitha bagaimanapun caranya. Walau tampang ane pas-pasan dan gak seganteng Donnie, tapi ane yakin bisa dapetin Mitha.
"Jangan sakiti Mamih!" Teriak Basti sambil melempar barang di meja rias ke arah laki-laki yang sedang menindih sang Mamih. "Wah, jagoannya Jonas sudah datang. Hai jagoan, Om tidak akan menyakiti Mamih kamu kok. Om mau buat Mamih kamu enak," Aldri menyeringai mesum. "Kamu tidak akan pernah bisa menghindariku lagi Helen! Ingat, kartu matimu ada ditanganku. Bukankah selama ini kita saling mencintai? Aku hanya ingin kamu merayu Jonas untuk mengalihkan seluruh hartanya kepadamu, lalu kita akan hidup bahagia bersama. Bukankah itu rencana kita sejak awal? Tapi kenapa sekarang sikapmu berubah? Kamu bahkan lebih sering membela Jonas? Apa mungkin hatimu sudah berpindah pada Jonas?" tutur Aldri panjang lebar. Napas lelaki itu kian memburu. Helen hanya diam meski tubuhnya masih tetap meronta-ronta. Aldri memperkuat cengkramannya pada ke dua pergelangan tangan Helen.
Kaluna Evelyn sudah menikah Dengan Eric Alexander Bramastyo selama kurang lebih 10 tahun. Namun, Eric sama sekali tidak mencintai Luna. Ia memiliki kebiasaan yang sering bergonta-ganti wanita. Itulah yang menyebabkan Luna semakin sakit hati, namun ia tidak bisa bercerai dengan Eric karena perjanjian kedua keluarga. Ditengah keterpurukannya, ia mengalihkan rasa sakit hatinya kepada minuman keras. Dan disaat, ia mabuk, ia melakukan kesalahan dengan tidur bersama ayah mertuanya sendiri. Seorang pria dewasa bernama Brian Edison Bramastyo. Yang tidak lain dan tidak bukan, adalah ayah dari Eric sendiri. Brian yang berstatus duda, tidak bisa berkutik ketika Luna mulai menggodanya karena pengaruh minuman keras. Dan setelah kesalahan di malam itu, Luna dan sang papa mertua saling mengulangi kesalahan nikmat yang sama. Brian yang mampu memberikan nafkah batin pada Luna, harus menahan rasa perih karena mengkhianati putranya sendiri, dan menjadi tidak bermoral karena bermain gila dengan sang menantu. Namun apa boleh buat, semua sudah terlanjur dan mereka berdua sama-sama kesepian. Hubungan mereka tetap berlanjut, hingga akhirnya Eric mengetahui hubungan mereka dan menceraikan Luna. Namun, beberapa waktu kemudian, diketahui bahwa alasan Eric menceraikan Luna adalah dia sudah menghamili kekasihnya, yang bernama Bianca. Mereka menjalani hidup masing-masing. Eric pergi jauh dari kehidupan Brian dan Luna. Brian dan Luna pun memilih untuk bersama.
Blurb : Adult 21+ Orang bilang cinta itu indah tetapi akankah tetap indah kalau merasakan cinta terhadap milik orang lain. Milik seseorang yang kita sayangi
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Ketika istrinya tak lagi mampu mengimbangi hasratnya yang membara, Valdi terjerumus dalam kehampaan dan kesendirian yang menyiksa. Setelah perceraian merenggut segalanya, hidupnya terasa kosong-hingga Mayang, gadis muda yang polos dan lugu, hadir dalam kehidupannya. Mayang, yang baru kehilangan ibunya-pembantu setia yang telah lama bekerja di rumah Valdi-tak pernah menduga bahwa kepolosannya akan menjadi alat bagi Valdi untuk memenuhi keinginan terpendamnya. Gadis yang masih hijau dalam dunia dewasa ini tanpa sadar masuk ke dalam permainan Valdi yang penuh tipu daya. Bisakah Mayang, dengan keluguannya, bertahan dari manipulasi pria yang jauh lebih berpengalaman? Ataukah ia akan terjerat dalam permainan berbahaya yang berada di luar kendalinya?
Warning!!! Khusus 18+++ Di bawah 18+++ alangkah baiknya jangan dicoba-coba.
Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?
Kupejamkan mataku, dan kukecup bibirnya dengan lembut, dia menyambutnya. Bibir kami saling terpaut, saling mengecup. Pelan dan lembut, aku tidak ingin terburu-buru. Sejenak hatiku berkecamuk, shit! She got a boyfriend! Tapi sepertinya pikiranku mulai buyar, semakin larut dalam ciuman ini, malah dalam pikiranku, hanya ada Nita. My logic kick in, ku hentikan ciuman itu, kutarik bibirku mejauh darinya. Mata Nita terpejam, menikmati setiap detik ciuman kami, bibir merahnya begitu menggoda, begitu indah. Fu*k the logic, kusambar lagi bibir yang terpampang di depanku itu. Kejadian ini jelas akan mengubah hubungan kami, yang seharusnya hanya sebatas kerjaan, menjadi lebih dari kerjaan, sebatas teman dan lebih dari teman.