Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Gadis Berbalut Luka
Gadis Berbalut Luka

Gadis Berbalut Luka

5.0
35 Bab
4.2K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

Setelah pemutusan sepihak yang dilakukan oleh sang kekasih, Ayana beranggapan bahwa laki-laki memang selalu sama. Ia tak ingin terjatuh ke dalam pesona kaum adam yang tak punya rasa simpati pada wanita. Bukan perkara mudah untuk melupakan rasa sakit yang mereka timbulkan. Butuh waktu yang lama untuk bangkit dari keterpurukan yang mereka ciptakan. Ayana bersumpah pada diri sendiri untuk tidak gampang terpesona dengan laki-laki mana pun. Sampai ketika ia bertemu dengan Bima Argunarta, seseorang yang pernah menjadi bagian dari masa lalu Ayana. Masa lalu yang begitu mencekam, sekaligus menyesakkan.

Bab 1 Pemutusan Sepihak

Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Pemberian dari orang istimewa di ulang tahunku yang ke dua puluh enam tahun, tepat sebulan yang lalu. Meski bukan barang branded, aku tahu bahwa ada perjuangan yang tak main-main di baliknya. Ada keringat hasil jerih payah dari seorang pria yang sangat kuhargai.

Arka Mahesa, pria sederhana yang mampu memikat hatiku. Memperlakukanku layaknya seorang ratu, dan selalu memberikan perhatian yang selama ini kuidamkan. Dia sangat dewasa, pengertian, dan humoris. Sosok yang sangat cocok untuk diriku yang membutuhkan candaan di sela kesibukan yang sangat melelahkan.

Meski jarang bertemu, hal itu bukanlah penghalang bagi hubungan kami. Aku dan dia sudah berkomitmen untuk setia dan tak akan mengecewakan satu sama lain. Meski banyak perbedaan yang kerap menjadi bumerang di hubungan ini, tetapi kami berusaha untuk tetap kuat dan tegar melewatinya. Ya, slogan ‘badai pasti akan berlalu’ selalu menjadi penguat dan penyemangat yang entah sampai kapan akan bertahan.

Banyak orang di luar sana yang menyayangkan hubunganku ini. Katanya Arka bukanlah pria yang cocok untuk diriku yang sudah memiliki segalanya. Mereka tak tahu bahwa ada satu hal yang bisa kudapatkan setelah bersama dengan Arka, yaitu kebahagian dan arti kasih sayang yang sesungguhnya.

Sejak kecil aku selalu ditinggalkan orang tua ke luar kota, sehingga hanya bibi pengasuh yang menemani hari-hariku. Aku tak pernah merasakan tidur bersama orang tua, seperti yang kerap diceritakan oleh teman sebayaku. Aku tak pernah dibacakan dongeng sebelum tidur, juga tak pernah merasakan keharmonisan yang selalu dielu-elukan oleh orang lain.

Mereka tak tahu, bahwa yang kubutuhkan di dunia ini bukanlah semata-mata hanya uang saja, tetapi kasih sayang dari orang lain. Tak perlu orang yang berharta untuk membuatku jatuh cinta, tak perlu orang yang rupawan untuk membangunkan sel cinta dalam tubuhku, cukup Dia. Cukup dia, si pria jangkung berhidung mancung yang selalu berada di sisiku. Cukup dia, pria dengan senyuman seratus derajat celcius yang dapat melelehkan hatiku. Karena dirinya, adalah sosok yang mampu menghapus sejuta luka yang telah lama bernaung di kalbu.

Jujur, hubunganku dengan Arka bukanlah yang pertama, tetapi Arka adalah pria pertama yang membuatku yakin bahwa tidak semua kaum adam itu sama. Itu adalah kalimat yang kerap diucapkan setiap wanita kala sedang sakit hati atau dikecewakan oleh pasangannya.

Walaupun hubungan yang telah berjalan selama tiga tahun selalu dibayang-bayangi oleh orang tuaku, tetapi pria berkacamata itu masih tetap bertahan, menjadikanku yakin bahwa dirinya adalah orang yang tepat. Tak terhitung berapa kali ia mendapatkan cacian dan hinaan, membuatku kerap berselisih dengan orang tuaku sendiri yang dengan mudahnya mengatakan kalimat-kalimat kasar tersebut. Mereka bahkan mengatasnamakan agama, tetapi tutur katanya tak mencerminkan seseorang yang berakhlak mulia.

Seolah tersadar dari lamunan yang kugeluti, aku yang sedang menunggunya di taman, kembali melirik arloji. Cukup heran karena sosoknya tak kunjung datang, padahal waktu janji yang telah kami sepakati telah berlalu. Seminggu tak bertemu, membuatku sangat merindukannya. Salahkan pekerjaan, yang sepertinya dengan sengaja membuat kami berdua sulit untuk bertemu. Dia yang harus lembur di kantor barunya, sedangkan aku harus ke luar kota menjalani beberapa pemotretan.

Perasaan gelisah menghantui, bagaimana jika dirinya mengalami kecelakaan? Bagaimana jika ada masalah yang ia dapatkan selama perjalanan kemari? Pikiran negatif itu terus berputar di otakku.

Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit, hingga satu jam telah berlalu. Akhirnya dia datang juga, senyumku mengembang menyambut kedatangannya yang kusadari sedikit asing. Biasanya, dia akan melemparkan senyuman hangat sambil melambaikan tangan, dan membawakan sekuntum bunga yang menurutku sangat romantis. Namun, kali ini berbeda, tak ada senyuman, dan tak ada sekuntum mawar di genggamannya.

Ada apa dengannya? Apakah dirinya lupa? Tidak mungkin! Dia tak akan dengan mudah melupakan sesuatu yang telah menjadi kebiasaannya selama tiga tahun terakhir ini.

“Mengapa kau terlambat?” tanyaku dengan wajah gelisah.

“Ada sedikit urusan tadi,” jawabnya tanpa memandang wajahku.

Dia berbeda, ada yang lain dari dirinya saat ini. Aku menatap bola matanya lekat-lekat, alisku bertaut menandakan bahwa situasi saat ini tak baik-baik saja.

“Kau punya masalah? Ada apa? Cerita sama aku?” pintaku dengan nada memohon.

Dia masih saja terdiam, menatap langit yang sedang cerah. “Kita putus saja!” tegasnya, membuatku sangat syok. Tak ada kebohongan di balik matanya, membuatku yakin bahwa dia mengucapkan kalimat sakral itu dengan serius.

Tubuhku seperti tertimpa puluhan godam, remuk, dan hancur. Ragaku seakan terbakar bak tersambar petir di cuaca yang sangat cerah. Dan hatiku seakan layu, bagai bunga yang tak tersiram. Dirinya yang menyembuhkan luka, dia pula yang menyayatnya kembali.

“Kenapa kau ingin mengakhirinya?” Pupil mataku membulat menatap tajam wajahnya.

“Aku tidak ingin menjalani hubungan tanpa sebuah restu,” tuturnya dengan air muka gelisah.

“Lantas, mengapa baru sekarang, Arka!” hardikku tak terima.

“Ayana, sadarlah!” sergahnya. Suaranya meninggi, hal yang tak pernah dia lakukan sebelumnya. “Hubungan kita tak akan bisa berlanjut. Aku tidak akan meninggalkan tuhanku, dan kau juga seperti itu, bukan? Orang tuamu benar, tak akan ada kebaikan jika kita bersama,” lanjutnya semakin membuat hatiku tersayat.

Mataku mulai berkaca-kaca, kami memang berbeda keyakinan, aku menengadah, sedang dia menggenggam tangan. Mengapa baru sekarang!? Saat aku sudah berharap akan sosoknya, dia malah dengan gampangnya menyatakan perpisahan. Seandainya dulu dia melepasku, aku mungkin tak akan merasa sesakit ini.

“Kau lelah bersamaku? Jika alasanmu hanya karena restu, mengapa tidak dari dulu kau mengakhirinya?” Air mataku sudah mengalir. Dulu, dirinya tak akan membiarkanku mengeluarkan air mata meski hanya setetes. Namun sekarang, justru dialah yang menjadi penyebab dari tangisanku ini.

“Benar katamu. Aku lelah! Mengapa baru sekarang aku rela melepasmu? Karena aku sudah tak sanggup mendapat hinaan dari orang tuamu. Aku tidak kaya, Na. Aku hanya pegawai biasa, sedangkan kau sudah memiliki segalanya. Kita berbeda kasta.”

Lagi-lagi perbedaan kasta. Apa kasta sangat penting baginya? Apa orang yang memiliki kasta berbeda tak akan bisa bersatu? Apakah jodoh seseorang dilihat dari kasta dan kekayaannya? Aku ingin berteriak, mengeluarkan semua keluh kesahku selama ini, tetapi suaraku seakan tertahan di tenggorokan, sehingga aku memilih untuk diam saja.

Aku yang duduk di kursi taman, menunduk agar tak ada orang yang melihatku menangis. Apakah akhir dari hubunganku harus selalu seperti ini? Semua pria akan meninggalkanku karena ulah orang tuaku. Terkadang aku ingin hidup bebas, hidup biasa saja, tanpa kekangan orang tua. Aku sudah dewasa, mengapa mereka masih memperlakukanku seperti balita? Aku juga ingin menjalani hidup sesuai keinginanku.

“Aku minta maaf karena telah membuatmu menangis, kau pasti tahu bahwa aku juga mencintaimu. Akan tetapi, aku memilih untuk menyerah dengan hubungan ini. Carilah orang yang sepadan dan memiliki kepercayaan yang sama denganmu,” sesalnya, lalu mengelus rambutku, yang mungkin akan menjadi momen untuk terakhir kalinya. “Aku akan pergi. Pulanglah!”

Akhirnya hal yang kutakutkan terjadi, dia meninggalkanku sendirian. Aku menatap punggungnya yang semakin mengecil termakan oleh jarak. Air mataku masih setia mengalir menjadi bukti betapa hancurnya perasaanku.

Dirinya pergi meninggalkan sejuta kenangan indah yang sepertinya tak akan kulupa. Kenangan bersamanya akan terngiang dan terus menjadi bukti perjalanan cinta yang indah sekaligus menyakitkan.

Kutatap langit yang cerah, saat kurasakan sebutir air mendarat di pipiku. Hujan di hari yang sangat cerah. Orang-orang berlarian, tetapi tidak denganku. Aku menikmati hujan yang mengguyur, berharap rintiknya mampu menyamarkan air mataku. Cuaca hari ini seakan mewakili hatiku. Bahagia karena bisa kembali bertemu dengannya, sekaligus sedih karena hari ini, merupakan hari terakhir untuk hubungan yang telah lama kami bina bersama.

Aku akan menerima takdirku, takdir untuk tidak bersamanya. Meski sulit, tetapi aku akan bertahan sampai cinta yang baru akan menyembuhkan luka yang ia toreh. Aku akan mencari lelaki seiman dan seamin, seperti kemauannya. Meski kutahu itu akan sangat sulit terealisasikan.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY