"Karena kau tidak kunjung hamil, jadi ...."
Aulia serasa tersambar petir di sian bolong mendengar perkataan pria yang ia nikahi karena dijodohkan oleh orang tuanya itu. Dia yang tidak kunjung hamil juga belum tentu kesalahan darinya, itu juga bisa dikarenakan oleh pria yang sedikit mengalami masalah obesitas. Hanya saja, bagi orang-orang desa, saat pasangan suami istri tidak kunjung dikarunia anak maka yang menjadi sebab adalah si wanita tidak pernah laki-laki.
"Bagaimana bisa ...."
"Ibu sudah sangat ingin menimang cucu jadinya dia meminta aku untuk kembali menikah agar segera di karuniai seorang anak," ujar Angga.
"Bagaimana kalau tetap tidak akan punya anak?" tanya Aulia.
"Kau menyumpahi putraku?!" bentak Ibu Angga dari balik tembok ruang tamu.
"Bukan begitu ... hanya ...."
"Kalau kau tidak mandul, aku tidak akan membuat anakku menikah lagi!" tukas Siti kepada menantunya.
"Ibu ...."
"Jadi terima saja! Biarkan suamimu menikah lagi," ujar wanita pra lansia tersebut.
"Bagaimana kalau bukan aku penyebabnya? Bagaimana kalau putra ibu yang menjadi sebab aku tidak segera hamil?!" Aulia memang tidak bisa mencintai pria yang ia nikahi itu meski telah dua tahun mereka menikah, tetap saja dituduh mandul oleh ibu mertuanya, ia tidak bisa terima.
"Yang mandul itu wanita, bukan pria!" tegas Siti dengan bibir maju tiga senti.
"Tapi, yang punya sperma itu anak ibu dan kalau sperma anak ibu bermasalah, menikah dengan siapa saja tidak akan pernah ...."
Plak ...
Sebuah tamparan melayang ke pipi mulus Aulia yang sedikit cekung karena tertekan dengan kehidupan pernikahannya. Tangan gempal sang suami membuat tubuh dia terhuyung ke samping dan rasa panas menjalari seluru wajahnya.
"Jaga ucapanmu! Bersikaplah sopan pada ibu mertuamu!" bentak Angga.
"Itulah kenapa aku mencarikanmu anak pesantren, biar tahu adab dan etika tidak seperti dia yang tidak mengenyam pendidikan pesantren, berani melawan," ujar Siti dengan sinis.
"Benarkah karena mereka lebih tahu adan dan sopan santun? Atau karena mereka akan menjadi istri yang penurut bahkan akan menerima saat dia di madu karena tidak kunjung hamil," sindir Aulia.
"Kau ...." Tangan besar dan gemuk Angga bersiap untuk menampar Aulia.
Aulia yang sudah muak dengan kehidupan pernikahannya, berdiri, bangkit untuk melawan. Perjodohan yang berdasarkan kata orang oleh orang tuanya membawa dia dalam kehidupan yang penuh dengan tekanan batin, Kata mereka yang membawa Angga ke orang tuanya, pria itu adalah pria baik dan sopan dari keluarga kaya dan terpandang yang ternyata hanya isapan jempol belaka.
"Pukul aku! Hajar saja aku sampa aku mati!" teriak Aulia.
Plak ...
Bukan tangan gemuk Angga yang mendarat ke pipi Aulia melainkan tangan besar sang ibu mertua yang mendarat ke pipinya.
Wanita yang sudah memasuki akhir usia pra lansia itu adalah wanita yang sangat ikut campur dalam rumah tangga mereka hingga Aulia tidak memiliki ruang sebagai seorang istri. Dari masalah keuangan hingga masalah rumah, semua dipegang dan diatur oleh wanita itu. semua hasil dagang yang diperoleh oleh Angga selalu di setor ke ibunya dengan alasan toko tersebut merupakan toko warisan yang masih menjadi milik ibunya. Aulia hanya bisa pasrah dan diam tanpa melawan sedikit pun saat Angga hampir tidak pernah memberi uang belanja dengan alasan sang ibu telah menyiapkan makanan untuk mereka makan.
"Akhirnya watakmu yang sebenarnya keluar juga," tukas Siti dengan mata melotot.
"Bagaimana aku tidak ...."
"Wanita tidak tahu diri dan tidak punya adab, tidak akan bisa menerima kodrat dia sebagai wanita yang harus siap di madu demi memberikan keturunan kepada sang suami," potong Siti.
Aulia ingin tertawa mendengar perkataan sang mertua. Ia memang bukan lulusan pesantren tetapi ia tahu bagaimana Islam memperlakukan wanita yang jelas tidak seperti yang diyakini oleh Ibu dari suaminya itu.
"Bagaimana kalau aku dan putra ibu pergi ke dokter untuk periksa dan memastikan siapa yang bermasalah di sini!" Tantang Aulia.
"Kalau periksa itu ya kamu buat apa kau bawa-bawa suamimu!" tukas Siti.
"Sudah aku bilang ...."
"Kalau mandul ya mandul saja! Tidak usah cari alasan," potong Siti yang tidak terima dengan tuduhan menantunya.
"Aku akan bersedia di madu jika dokter menyatakan kalau aku yang menjadi sebab tidak segera hamil. Akan tetapi, jika ...."
"Halah ... terima saja kalau kau mandul!" ujar sang mertua.
"Ini bukan tentang aku tidak terima tetapi ini tentang keadilan ..."
"Tidak usah sok bilang adil tidak adil!" potong sang mertua.
Aulia benar-benar tidak dapat lagi bersabar. Cukup dua tahun ia menahan semua sikap dan perangai burung mertuanya yang terlalu mengatur dan suka seenaknya sendiri.
"Mas ... bagaimana kalau kita pergi ke dokter dan memastikan ..."
Plak ...
Tamparan kembali didapat oleh Aulia dari ibu mertuanya hanya karena ia berusaha meyakinkan suaminya. Dengan wajah yang memerah karena rasa panas yang menjalar serta air mata yang mulai berlinang, Aulia masih berusaha untuk membela hak dia sebagai wanita juga istri.
"Ini demi kebaikan Mas Angga juga. Sudah aku bilang jika kau yang menjadi sebab ...."
"Cukup!" hardik Siti.
"Ibu ..."
"Yang mandul itu kamu! Bukan suamimu!" geram Siti.
"Tidak ... aku tidak ..."
"Sudah!" Siti kembali memotong perkataan menantunya. Ia tidak mau mendengar tuduhan kepada putra semata wayangnya dari mulut sang menantu. "Kau tidak memiliki pilihan lain selain menerima untuk di madu!" tegas Siti.
Aulia menatap tajam suami dan ibu mertuanya. Dua orang yang menjadi sebab air mata terus mengalir hampir di setiap hari dalam dua tahun pernikahannya, sang suami yang sangat anak mama itu selalu menuruti dan mengikuti kata sang ibu bahkan dia rela tidak memberi nafkah pada sang istri. Bahkan, Aulia selalu diminta untuk mengalah dan mengerti dengan sikap sang mertua hingga ia tidak kehilangan jati dirinya.
Inilah waktunya, batin Aulia. Ia berdiri tegap dan tatapan tegas tidak tergoyahkan.
"Tidak," ujar Aulia.
"Apa maksudmu dengan tidak?" tanya sang mertua.
"Saya punya pilihan lain selain di madu," tukas Aulia.
"Apa?"
"Saya memilih untuk bercerai dari Mas Angga," kata Aulia dengan tegas, membuat suami dan mertuanya terbelalak kaget.