Di dalam kamar yang remang-remang, Ningsih melihat adegan yang membuat darahnya berdesir. Mirna duduk di pangkuan pria itu. Gaun merahnya sudah terlepas dari pundak. Pria itu mencium leher Mirna, sementara tangan Mirna mengusap rambut pria itu. Suara kecupan dan desahan menggema di kamar itu. Ningsih menutup mulutnya, menahan napas. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mirna yang ia kenal di desa, yang pendiam dan pemalu, kini berubah menjadi sosok yang binal, melayani birahi pria-pria hidung belang.
Pemandangan itu membuat Ningsih merasa jijik. Ia langsung berbalik, berlari keluar dari lorong itu. Air matanya menetes. Ia tidak bisa membayangkan dirinya berada di posisi Mirna. Ia tidak mau mengorbankan kehormatan demi uang.
***
Di bawah bayang-bayang Gunung Salak yang menjulang, hidup Ningsih, seorang gadis desa berwajah manis dengan senyum yang selalu merekah. Usianya baru 21 tahun dan ia baru saja lulus dari SMK di desanya yang tenang di kawasan Bogor. Namun, ketenangan itu tidak sebanding dengan beban di pundaknya. Ayah dan ibunya bekerja keras membanting tulang di sawah, tetapi penghasilan mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari. Sementara itu, kedua adiknya masih kecil-kecil, membutuhkan biaya sekolah dan kehidupan yang lebih baik.
Ningsih, sebagai anak sulung, merasa terpanggil untuk membantu. Ia ingin mengubah nasib keluarganya. Berbekal tekad dan keberanian, ia memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Ibunya memeluknya erat-erat sebelum ia berangkat, matanya berkaca-kaca. "Hati-hati, Nak. Jangan lupa sholat dan jaga diri baik-baik," pesan ibunya dengan suara bergetar.
"Iya, Bu. Ningsih janji. Ningsih akan cari kerja yang halal buat bantu keluarga kita," jawab Ningsih mantap, meskipun hatinya diliputi keraguan.
Satu-satunya harapannya adalah Mirna, sepupunya yang berusia 23 tahun yang sudah dua tahun merantau di Jakarta. Mirna sudah berjanji akan membantu Ningsih mencarikan pekerjaan. Ningsih membayangkan pekerjaan di kota besar pasti bergengsi, seperti karyawan kantor atau pelayan restoran. Ia hanya ingin bekerja keras dan mengumpulkan uang agar bisa kembali ke desanya dengan sukses.
Setibanya di Jakarta, Ningsih langsung disambut oleh Mirna. Penampilan Mirna sangat jauh berbeda dari yang ia kenal di desa. Rambutnya diwarnai merah menyala, bibirnya dipoles lipstik merah pekat, dan ia mengenakan celana jeans ketat dengan atasan crop top yang memperlihatkan perutnya.
"Ningsih, aduh, kangen banget!" seru Mirna sambil memeluk Ningsih. "Kamu makin cantik aja, ya. Sini, aku ajak ke kontrakan. Nanti malam kita langsung wawancara kerja."
Mata Ningsih membulat. "Wawancara? Secepat ini?"
"Iya dong, selagi ada kesempatan. Kebetulan tempat kerjaku lagi butuh banyak karyawan," jelas Mirna sambil tersenyum misterius.
Malam harinya, Mirna mengajak Ningsih ke sebuah klub malam yang gemerlap dengan lampu-lampu neon. Dentuman musik menggetarkan dada, dan aroma alkohol bercampur dengan keringat. Ningsih merasa asing. Ia tak pernah membayangkan tempat seperti ini.
"Mir, ini... tempat apa?" tanya Ningsih ragu.
"Ini tempatku kerja. Ini namanya **karaoke club**," jawab Mirna santai. "Kerjaan kita gampang kok, cuma nemenin tamu nyanyi, minum, sama ngobrol-ngobrol aja."
Ningsih mengangguk, mencoba menenangkan dirinya. Ia pikir pekerjaannya hanya sebatas pelayan, seperti yang ia bayangkan sebelumnya. Namun, pemandangan di depannya membuatnya terkejut. Ia melihat Mirna, yang baru beberapa menit lalu masih bersikap ramah, kini berubah menjadi sosok yang jauh lebih berani. Mirna mengenakan gaun mini ketat berwarna merah yang memamerkan lekuk tubuhnya. Ia duduk di pangkuan seorang pria paruh baya, tertawa genit sambil menyuapkan anggur ke mulut pria itu. Pria itu sesekali mencium pipi Mirna, dan Mirna hanya membalasnya dengan senyum.
Melihat pemandangan itu, Ningsih merasa perutnya mual. Ia tidak menyangka pekerjaan Mirna seburuk ini. Bahkan, ia melihat beberapa wanita lain yang bekerja di sana terlihat sangat akrab dengan tamu-tamu mereka. Ada yang berpelukan, berciuman, bahkan berbisik-bisik mesra.
"Ningsih, kok diam aja? Ayo, kita ke bos. Kamu harus kenalan dulu sama dia," ajak Mirna sambil menarik tangannya.
"Mir... aku... aku nggak mau kerja di sini," bisik Ningsih.
"Lho, kenapa? Udah jauh-jauh dari desa masa langsung menyerah?" jawab Mirna. "Bosnya baik kok, nanti gajinya lumayan. Banyak bonus juga."
Ningsih menggeleng. Ia tidak peduli seberapa besar gajinya. Ia hanya ingin pekerjaan yang jujur dan halal. Tapi Mirna tak mau tahu. Ia langsung membawa Ningsih ke ruangan bos. Setelah berbincang singkat, bos itu menyetujui Ningsih untuk mencoba bekerja di sana.
Pulang dari klub malam, Ningsih dan Mirna kembali ke kontrakan mereka di sebuah gang sempit yang kumuh. Aroma sampah dan selokan menyengat hidung. Kontrakan mereka hanya sebuah kamar kecil dengan kasur tipis dan lemari usang. Ningsih duduk di sudut ruangan, memeluk lututnya.
"Mir, aku... aku nggak bisa kerja di tempat kayak gitu. Aku mau pulang aja," kata Ningsih dengan suara serak.
Mirna menatapnya dengan tatapan tajam. "Pulang? Kamu pikir cari kerja di Jakarta gampang, Ningsih? Di sana gajinya sebulan bisa dapat lebih dari 10 juta, belum lagi bonus-bonusnya. Kamu pikir di desa kerja apa bisa dapat uang sebanyak itu?"
"Aku nggak peduli. Aku nggak mau kayak kamu," jawab Ningsih tegas.
Mirna menghela napas. "Kamu nggak ngerti. Aku kayak gini juga demi uang. Di sini, para pria hidung belang itu yang kasih kita uang. Mereka rela kasih uang banyak cuma buat ditemenin minum. Kalau kita mau tambah, ya kita tinggal kasih *service* lebih," ucap Mirna.
"Servis? Maksudmu... masuk kamar sama mereka?" tanya Ningsih, matanya memanas.
Mirna tidak menjawab, tapi senyumnya memudar. "Dengerin aku, Ningsih. Aku tahu ini berat buat kamu. Tapi kalau kamu mau cepat kaya dan bantu orang tua, ya ini jalannya. Di sini kita cuma akting. Kamu nggak perlu benar-benar suka sama mereka. Anggap aja ini kerjaan, seperti artis," ujar Mirna mencoba meyakinkan Ningsih.
Ningsih menggeleng. "Aku nggak bisa, Mir. Aku malu. Gimana kalau orang tua tahu?"
"Mereka nggak akan tahu kalau kamu nggak bilang. Kan kamu bilang mau kerja di Jakarta. Lagipula, aku nggak pernah bilang ke orang tua kalau kerjaanku kayak gini. Aku cuma bilang aku kerja di perusahaan hiburan," kata Mirna.
Ningsih terdiam. Pikirannya kalut. Ia ingin pulang, kembali ke desanya, kembali ke keluarganya. Ia tidak ingin mengorbankan kehormatan demi uang.
"Mir, aku... aku mau pulang besok," kata Ningsih.
Mirna terkejut. "Kamu serius? Setelah semua ini?"
"Iya. Aku nggak sanggup, Mir," jawab Ningsih. "Aku lebih baik kerja di sawah daripada harus kerja seperti itu."
Mirna menghela napas panjang. "Baiklah. Tapi jangan langsung pulang. Kamu pikirin dulu. Nanti aku bilang ke bos kalau kamu masih perlu waktu. Anggap aja ini kesempatan buat kamu lihat-lihat dulu."
Ningsih tak bergeming. Ia tahu keputusannya sudah bulat. Ia tidak akan pernah mau mengorbankan dirinya demi uang. Ia hanya bisa berharap, jalan pulang menuju desanya, tidak sesulit yang ia bayangkan. Namun, Mirna tidak menyerah. Ia tahu, Ningsih adalah kunci baginya untuk mendapatkan uang lebih dari bosnya, dan ia akan melakukan apa saja untuk mempertahankan Ningsih di sisinya.