/0/14859/coverbig.jpg?v=37d288ddeea71a43a1bcacb32d34fef6)
Kisah cinta Mahya tidak seindah kisah cinta gadis pada umumnya. Gadis kelahiran 1991 ini memiliki sahabat yang sangat langka. Setiap dia menjalin hubungan, sabahatnya itu datang dengan topeng keluguhan dan selalu menebar duri dalam hubungan Mahya. Sayangnya, Mahya selalu mempercayai setiap ucapan sahabatnya yang memiliki hati licik. Namun, di suatu ketika Mahya melihat yang membuatnya murka. Lantas apa yang Mahya lihat? Apakah dia mengetahui sifat buruk sahabatnya? Atau ada peristiwa lain yang membuat itu samara...
Pagi itu suasana kelas tampak ramai karena akan di adakan pengetesan pada semua santri.
"Aku harus bisa bersaing dengan santri lain," ucap Mahya melipat tangan dengan mata terpejam, berpikir tentang pelajaran beberapa bulan yang lalu.
"Hai, apa yang kamu pikirkan?" tangan Aliyah menepuk pundak Mahya, hingga membuyarkan lamunannya.
"Aliyah!" Mata Mahya terbelalak karena kaget.
"Sudah aku duga, kamu pasti sedang melamun!" Aliyah mengulurkan tangan dengan senyum miring.
Mahya tersenyum dan menyambut uluran tangannya.
"Begini lebih baik," ucap Aliyah lalu melangkah dan meletakan buku di sisi Mahya.
"Apa yang kamu lakukan disini? Pergilah! Aku ingin sendiri!" Tangan Mahya mendorong Aliyah kuat.
Aliyah menjerit, matanya melotot tidak tidak terima.
"Sudah kukatakan tinggalkan aku sendiri, aku tidak butuh ditemanimu!" Mata Mahya nyalang, menujukan tidak suka.
"Sejak kapan kamu bersikap beringas seperti ini Mahya!" Aliyah menatap Mahya tajam.
"Kamu yang memulai, sudah aku katakan tinggalkan aku sendiri!" bentak Mahya gemas.
Aliyah sangat marah melihat kelakuan Mahya yang tidak biasa, tangannya mengepal menahan gejolak jiwa.
"Aliyah! mengapa kamu masih di situ! Apa kamu tidak mendengarku!" bentak Mahya kembali saat melihat Aliyah masih tetap di tempat semula.
"Tidak perlu kamu repot-repot menyuruhku untuk pergi Mahya." Aliyah mundur mencari tempat duduk yang tidak jauh dari Mahya.
Acara akan segera dimulai, keadaan kelas kini tenang semua menjadi fokus dengan pikirannya masing-masing termasuk Mahya dan Aliyah yang sempat bersetrupun ikut berusaha mengikuti.
"Silahkan maju untuk yang paling depan!" suruh sang guru, dengan suara tegasnya.
"Ss-saya, Pak?" tanya Mahya yang kebetulan duduk di bangku paling depan tepat berhadapan dengan sang guru. Matanya terbelalak tangan dan juga bibir gemetar.
"Ya, kamu," jawab sang guru. Dia adalah Rafa. Laki-laki dengan tubuh kekar dan bibir tipis.
Gadis itu maju selangkah bersamaan dengan langkah sang guru, hingga keduanya bersitatap.
"Majulah, dan bacalah!" seru Rafa dengan berusaha menyembunyikan wajahnya. Tangannya berusaha membuka lembaran Al-Qur'an dan menunjuk surat yang harus dibaca.
"Ba-ba baik, Pak," Mahya berbicara dengan suara terputus-putus. Gadis itu tidak mampu menutupi rasa malu dan grogi di hadapan guru ngaji. Baru kali ini dia melihat secara dekat, sebelumnya Rafa tidak pernah ditugaskan untuk acara seperti saat ini.
Wajah tampan Rafa membuat Mahya terus mencuri pandang hingga menjadi tidak konsentrasi. Mahya lupa untuk segera membaca surat yang sudah di tujuknya.
"Dasar cewek caper," gumam Aliyah. Dia duduk tidak jauh dari bangku Mahya.
"Harap semua perhatikan, dan simak baik-baik!" Rafa berdiri dan mengangkat kitab Al-Qur'an.
Semua santri mengikuti petunjuk Rafa, menundukkan kepala dan mulai konsentrasi.
Sementara Mahya masih terdiam, mulutnya terasa tercekat.
"Siapa, namamu?" tanya Rafa gemas.
Mahya kaget dan wajahnya menjadi pucat pasi.
"Mahya," jawabnya tanpa berani mengangkat wajah.
Rafa melangkah lagi berdiri lalu duduk tepat di hadapannya. Rafa menunjuk salah satu surat yang berbeda agar segera di baca.
Mahya mulai membaca dengan sangat berhati-hati, namun apalah daya rasa grogi membuat suaranya terputus-putus.
"Hem, berhentilah!" Printahnya. Rafa merasa kecewa dengan sikap muridnya.
"Duduklah kembali!" perintahnya.
Rafa menoleh ke belakang menunjuk salah seorang santri untuk mengulang.
"Saya, Pak?" tanya salah satu santri yang merasa di tunjuk mengangkat tangan.
"Ya, berdirilah maju ke depan!"
Saat di hadapan Rafa Santri laki-laki itu terlihat bingung dia sendiri kurang paham tentang bacaan, tangannya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Apakah kamu tidak mendengarku berbicara!" Dengan gemas tangan Rafa meraih pundak Burhan lalu menghadapkan wajahnya.
Burhan ketakutan. Tapi, Mahya yang sejak tadi masih duduk, seketika berdiri melangkah lebih dekat dan menunjukan kesalahan yang telah di lakukan.
"Bagus, ternyata kamu peka dan tahu letak kesalahanmu sendiri," ujar Rafa dengan tersenyum senang.
Rafa mempersilahkan keduanya untuk kembali ketempat duduknya masing-masing. Gadis itu terlihat lega dan sesekali mencuri pandang.
"Aliyah sekarang giliranmu," ucap Mahya saat menoleh ke belakang.
"Sabarlah Mahya, pak Rafa juga belum memanggilku." Aliyah menjawab dengan alis dinaik turunkan.
Mahya kembali menghadap ke depan dengan perasaan kesal.
"Menyebalkan!"
"Kamu selalu ingin membuatku marah,"Aliyah menelisik tepat di telinga kirinya.
Mahya membalikkan tubuh kesal.
"Kamu yang mulai duluan!"
Rafa mendengarnya.
"Diam! Apakah kalian pikir ini tempat untuk berdebat!" Rafa menggebrak meja, menimbulkan bunyi keras.
Semua santri tidak ada yang berani mengkat wajah, termasuk Mahya dan juga Aliyah. "Jika kalian masih merasa belum bisa setidaknya diam itu lebih baik," lanjutnya. Kini semua berlanjut hingga selesai.
Pukul 16:00.WIB.
"Aliyah! Berhentilah!" Mahya melambaikan tangan, kaki melangkah lebih cepat.
Aliyah mendesah terpaksa menoleh dan berhenti meski sejujurnya masih sangat marah, "apalagi sih! Aku pikir kamu sudah tidak mau lagi denganku."
Mahya mendesah, mengatur nafas
sebelum lanjut bicara, "Aliyah aku minta maaf, kamu tahu? mengapa tadi aku kesal sama kamu?" Aliyah menggeleng acuh.
"Aku sedang konsentrasi, pikiranku kalut sehingga mudah marah," lanjutnya. Mahya sejenak menghentikan langkah menatap Aliyah lekat.
"Hee-em."
Rafa sengaja berdehem agar Mahya menyadari keberadaannya di belakang.
"Pak Rafa!" ucap Mahya lirih.
Mahya menjadi salah tingkah, dan menghentikan bicara.
"Ada apa Mahya? Mengapa kamu jadi berhenti bicara?" tanya Aliyah. Rupanya kekesalan pada Mahya membuat Aliyah tidak mendengar ucapannya.
Mahya hanya menggeleng tidak mampu menjawab pertanyaan Aliyah.
rupanya Aliyah tidak menyadari jika di belakangnya ada Rafa, karena tidak mendengar saat Rafa berdehem.
"Santri jaman sekarang memang susah di atur," ujarnya.
Rafa mendengus kesal, melanjutkan langkah tanpa permisi.
Mahya dan Aliyah hanya mampu saling pandang, tubuh bergeser memberi jalan.
"Mahya, apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Aliyah penasaran.
"Ah, bukan apa-apa," jawab Mahya dengan wajah masih clingukan memastikan. "Cuma perasaan kamu saja Aliyah," lanjutnya dengan mempercepat langkah.
"Tunggu Mahya! mengapa jalannmu menjadi cepat? lihatlah aku sampai ngos-ngosan mengejarmu!" Tangan Aliyah berusaha menggapai baju Mahya. Kini giliran Aliyah yang justru mengejar Mahya.
Mahya hanya tersenyum dan tidak menghiraukan Aliyah, hingga mereka sampai di asrama.
Di pagi harinya saat waktu makan telah tiba semua santri berdesak-desakan memenuhi kantin, mereka biasanya ada yang tinggal menggambil jatah makan dan ada pula yang makan dengan uang kes. Keadaan asrama pun menjadi sepi hanya Mahya yang masih tetap di tempatnya.
"Mengapa hatiku menjadi tidak karuan setiap kali melihat pak Rafa, dia sangat tegas, dingin tapi manis, aku harus berusaha bersikap biasa padanya," ucap Mahya lirih. Matanya terus memandangi langit-langit asrama dengan senyuman mengembang.
"Mahya, apa kamu tidak mau makan?Mengapa masih di situ terus? Ingat ya, ini sudah hampir waktunya masuk kelas," tanya Aliyah yang baru saja dari kantin dengan membawa sepiring nasi.
"Makanlah dulu! Aku sedang tidak selera," jawabnya dengan tangan mengambil sepatu dan memakainya.
Aliyah menggelengkan kepala dengan mulut tetap mengunyah,"Kamu mulai aneh sekarang, Mahya."
Mahya tidak menghiraukan temennya, dan segera berlalu.
Pukul 08.00.WIB.
Tidak seperti biasanya pagi itu, saat pelajaran hampir di mulai suasana aman terkendali hanya Mahya yang terlihat gusar.
Gadis itu merasa debaran hatinya semakin kencang, pikiran menjadi semrawut bahkan peluhpun ikut merembes ke sela-sela jarinya entah karena apa.
"Selamat pagi semuanya?" sapa seorang guru yang baru masuk. Dia melambaikan tangan dan juga tersenyum merekah.
"Oh, rupanya ini yang membuatku gusar," ucap Mahya dalam hati.
"Waduh-waduh, mengapa hatiku semakin berdebar ya, huuuh."
Mahya membuang nafas dalam-dalam. Berusaha untuk tetap bersikap wajar di depan semua teman-temannya.
Tidak sengaja sang guru menoleh ke arah Mahya. Dia merasa di perhatikan, dan entah mengapa hatinya juga mulai berdebar.
"Kamu," tunjuknya dengan pandangan serius.
"S-saya, pak?" tanya Mahya kurang percaya.
"Iya, kamu. Majulah!"
"Baik, Pak." Mahya dengan takut maju, menengok ke kanan dan kiri, berharap ada yang mau menyemangati.
"Apa yang kamu lihat? majulah, tidak usah takut!" printahnya dengan suara serak.
Mahya masih tetap diam di tempat seoalah tidak mendengarnya. Bukan karena takut tapi, debaran hatinya belum mampu di kendalikan.
"Mahya! apa yang kamu tunggu!" Aliyah berbisik.
Aliyah sedikit menjawel baju Mahya dari belakang. "Mahya, ayo cepatlah!" lanjutnya. Aliyah bangkit dan duduk dekat Mahya. Namun, Mahya masih diam tidak menjawab.
"Mahya, jangan permalukan dirimu di depan santri banyak"
Seketika Mahya terpancing lalu menoleh ke arahnya Aliyah. "Apa pedulimu! Sejak tadi kau ingin membuatku marah."
"Apakah kamu masih tetap mau diam di tempat!" tanya guru tersebut dengan nada tinggi.
Tetap ikuti kelanjutannya, siapakah guru itu sebenarnya mengapa Mahya menjadi diam tidak berkutik.
Istriku yang nampak lelah namun tetap menggairahkan segera meraih penisku. Mengocok- penisku pelan namun pasti. Penis itu nampak tak cukup dalam genggaman tangan Revi istriku. Sambil rebahan di ranjang ku biarkan istriku berbuat sesukanya. Ku rasakan kepala penisku hangat serasa lembab dan basah. Rupanya kulihat istriku sedang berusaha memasukkan penisku ke dalam mulutnya. Namun jelas dia kesulitan karena mulut istriku terlalu mungil untuk menerima penis besarku. Tapi dapat tetap ku rasakan sensasinya. Ah.... Ma lebih dalam lagi ma... ah.... desahku menikmati blowjob istriku.
Tessa Willson dan Leonil Scoth telah menikah hampir dua tahun lamanya. Kesibukan Leo membuat Tessa merasa kesepian. Apa lagi akhir-akhir ini Leo tak pernah membuatnya puas di atas ranjang. Akibatnya Tessa sangat kecewa. Sampai akhirnya Arnold Caldwell datang di kehidupan Tessa dan Leo. Arnold adalah ayah sambung Leo. Arnold datang ke kota New York tadinya untuk urusan bisnis. Namun siapa sangka justru Arnold malah tertarik pada pesona Tessa. Keduanya pun berselingkuh di belakang Leo. Arnold memberikan apa yang tidak Tessa dapatkan dari Leo. Tessa merasakan gairahnya lagi bersama Arnold. Namun di saat Tessa ingin mengakhiri semuanya, dirinya justru malah terjebak dalam permainan licik Arnold. Mampukah Tessa terlepas dari cengkeraman gairah Arnold, dan mempertahankan pernikahannya dengan Leo?
Kisah seorang ibu rumah tangga yang ditinggal mati suaminya. Widya Ayu Ningrum (24 Tahun) Mulustrasi yang ada hanya sebagai bentuk pemggambran imajinasi seperti apa wajah dan bentuk tubuh dari sang pemain saja. Widya Ayu Ningrum atau biasa disapa Widya. Widya ini seorang ibu rumah tangga dengan usia kini 24 tahun sedangkan suaminya Harjo berusia 27 tahun. Namun Harjo telah pergi meninggalkan Widy sejak 3 tahun silam akibat kecelakaan saat hendak pulang dari merantau dan karna hal itu Widya telah menyandang status sebagai Janda di usianya yang masih dibilang muda itu. Widya dan Harjo dikaruniai 1 orang anak bernama Evan Dwi Harjono
Rumornya, Laskar menikah dengan wanita tidak menarik yang tidak memiliki latar belakang apa pun. Selama tiga tahun mereka bersama, dia tetap bersikap dingin dan menjauhi Bella, yang bertahan dalam diam. Cintanya pada Laskar memaksanya untuk mengorbankan harga diri dan mimpinya. Ketika cinta sejati Laskar muncul kembali, Bella menyadari bahwa pernikahan mereka sejak awal hanyalah tipuan, sebuah taktik untuk menyelamatkan nyawa wanita lain. Dia menandatangani surat perjanjian perceraian dan pergi. Tiga tahun kemudian, Bella kembali sebagai ahli bedah dan maestro piano. Merasa menyesal, Laskar mengejarnya di tengah hujan dan memeluknya dengan erat. "Kamu milikku, Bella."
"Usir wanita ini keluar!" "Lempar wanita ini ke laut!" Saat dia tidak mengetahui identitas Dewi Nayaka yang sebenarnya, Kusuma Hadi mengabaikan wanita tersebut. Sekretaris Kusuma mengingatkan"Tuan Hadi, wanita itu adalah istri Anda,". Mendengar hal itu, Kusuma memberinya tatapan dingin dan mengeluh, "Kenapa tidak memberitahuku sebelumnya?" Sejak saat itu, Kusuma sangat memanjakannya. Semua orang tidak menyangka bahwa mereka akan bercerai.