Rasa ngeri yang dingin langsung menusukku. Itu adalah undangan untuk putranya, seorang putra yang tidak pernah kuketahui keberadaannya. Aku pergi ke gereja, bersembunyi di balik bayang-bayang, dan aku melihatnya menggendong seorang bayi, anak laki-laki dengan rambut dan mata gelapnya. Rania Adeline, sang ibu, bersandar di bahunya, sebuah potret kebahagiaan rumah tangga.
Mereka tampak seperti sebuah keluarga. Keluarga yang sempurna dan bahagia. Duniaku runtuh. Aku teringat dia menolak punya anak denganku, dengan alasan tekanan pekerjaan. Semua perjalanan bisnisnya, malam-malamnya yang larut-apakah dihabiskan bersama mereka?
Kebohongan itu begitu mudah baginya. Bagaimana bisa aku sebodoh ini?
Aku menelepon Program Fellowship Arsitektur di Singapura, sebuah program bergengsi yang kutunda demi dirinya. "Saya ingin menerima fellowship itu," kataku, suaraku terdengar sangat tenang. "Saya bisa segera berangkat."
Bab 1
Notifikasi email itu muncul di layar laptop Bima, sebuah pop-up minimalis yang elegan dari kalendernya. Suamiku sedang mandi, suara air yang menghantam kaca menjadi irama yang akrab di pagi hari kami. Aku baru saja meletakkan secangkir kopi di mejanya, sebuah ritual kecil dalam lima tahun pernikahan kami yang kukira sempurna.
Mataku menangkap kata-kata itu sebelum aku bisa berpaling.
"Anda diundang ke Pembaptisan Leo Nugraha."
Nama itu membuatku membeku. Leo Nugraha. Nama belakang kami.
Sebelum aku bisa mencernanya, notifikasi itu lenyap. Sekejap, dan hilang. Ditarik kembali. Seolah-olah tidak pernah ada.
Tapi sudah terlambat. Gambaran itu telah terpatri di benakku. Pengirimnya: Rania Adeline. Nama itu samar-samar kukenal, seorang influencer media sosial yang kehidupannya yang sempurna sering kali muncul di berandaku. Seorang wanita cantik dengan pengikut yang sangat banyak.
Rasa tidak nyaman, dingin dan tajam, menjalari perutku. Ini bukan sekadar email acak. Ini adalah undangan untuk putranya. Seorang putra yang tidak pernah kuketahui keberadaannya.
Alamatnya adalah sebuah gereja di pusat kota, waktunya ditetapkan sore itu juga.
Sebagian dari diriku ingin membanting laptop itu dan berpura-pura tidak melihat apa-apa. Kembali ke ilusi sempurna yang telah kubangun dengan hati-hati bersama Bima, CEO teknologi yang brilian dan karismatik yang mencintaiku.
Tapi sebagian diriku yang lain, yang lebih dingin dan lebih mendesak, tahu aku harus pergi. Aku harus melihatnya.
Kutinggalkan kopi di mejanya dan berjalan keluar dari rumah kami yang bersih dan minimalis, rumah yang telah kurancang sebagai monumen cinta kami.
Gereja itu terbuat dari batu tua, sinar matahari menyaring melalui jendela kaca patri. Aku berdiri di belakang, tersembunyi dalam bayang-bayang, jantungku berdebar kencang dan menyakitkan di dalam dada.
Dan kemudian aku melihatnya.
Bima. Bimaku. Dia berdiri di dekat bagian depan, tidak mengenakan setelan bisnisnya yang tajam, tetapi pakaian kasual yang lembut. Dia tampak santai, bahagia. Dia sedang menggendong seorang bayi, seorang anak laki-laki tampan yang terbungkus renda putih.
Seorang anak laki-laki dengan rambut gelap dan mata ekspresif Bima.
Anak itu, Leo, meniup gelembung dan terkikik, mengulurkan tangan mungilnya untuk menyentuh wajah Bima.
"Aku harap dia besar nanti jadi sepertimu ya, Yah," kata suara seorang wanita, lembut dan posesif.
Rania Adeline melangkah ke depan, lengannya melingkari pinggang Bima. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Bima, sebuah potret kebahagiaan rumah tangga. Senyumnya berseri-seri, matanya terpaku pada pria yang kusebut suamiku.
Mereka tampak seperti sebuah keluarga. Keluarga yang sempurna dan bahagia.
Pikiranku kosong. Gelombang rasa kebas menyelimutiku, begitu dalam hingga aku merasa seperti melayang di luar tubuhku sendiri. Aku menyaksikan Bima mencium kening Rania, lalu mengalihkan perhatiannya kembali ke bayi itu, menggumamkan sesuatu yang membuat Rania tertawa.
Ini nyata. Semuanya. Wanita itu, bayi itu. Kehidupan rahasianya.
Aku melihat beberapa wajah yang kukenal di bangku gereja, rekan bisnis Bima, orang-orang yang pernah datang ke rumah kami untuk pesta makan malam. Mereka tersenyum pada pasangan bahagia itu, tidak menyadari sang istri yang berdiri dalam bayang-bayang, dunianya hancur berkeping-keping.
Aku tidak bisa bernapas. Aku tidak sanggup berjalan ke sana, berteriak, menghancurkan momen sempurna mereka. Semangat juangku padam, digantikan oleh keputusasaan yang dalam dan hampa.
Aku berbalik dan melangkah pergi, menyelinap keluar dari pintu gereja yang berat itu dan kembali ke hiruk pikuk kota. Suara-suara itu terdengar teredam, jauh. Dunia terasa dingin, dan aku lebih dingin lagi.
Aku teringat percakapan beberapa bulan yang lalu, di hari jadi pernikahan kami.
"Bima," kataku, suaraku lembut. "Aku rasa aku sudah siap. Ayo kita punya anak."
Dia terdiam. Dia membuang muka, mengusap rambutnya dengan tangan. Sebuah gerakan yang selalu kukira berarti dia sedang berpikir, memproses.
"Jangan sekarang, Alana," katanya akhirnya. "Perusahaan sedang dalam tahap kritis. Beri aku satu tahun lagi. Aku ingin bisa memberikan segalanya untuk anak kita."
Aku telah memercayainya. Aku telah memercayai pria yang mengejarku tanpa henti di kampus, satu-satunya yang bisa melihat melampaui ambisiku menuju wanita di baliknya.
Dia adalah sainganku saat itu, kami berdua berada di puncak program arsitektur kami. Dia brilian, penuh semangat, dan dingin pada semua orang kecuali aku.
Aku ingat dia membawakanku sup hangat ketika aku begadang semalaman di studio, tangannya dengan lembut menggosok punggungku saat aku membungkuk di atas sketsa.
Aku ingat ketika aku terkena radang paru-paru, begitu sakit hingga aku nyaris tidak bisa berdiri. Dia tinggal di samping tempat tidur rumah sakitku selama tiga hari penuh, tidak tidur, hanya menjagaku.
Dia melamarku di kamar rumah sakit itu, suaranya bergetar dengan kerentanan yang belum pernah kulihat sebelumnya.
"Aku tidak bisa kehilanganmu, Alana," bisiknya, keningnya menempel di keningku. "Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpamu."
Aku baru tahu belakangan kalau ibunya meninggal di rumah sakit yang sama. Ketakutannya terasa nyata, cintanya mutlak.
Kami menikah tepat setelah lulus. Perusahaan rintisan teknologinya meledak, dan dia menjadi pria yang diinginkan semua orang. Aku membangun karierku sendiri, tetapi aku selalu mengutamakannya. Aku mengubah rencana lima tahunku sendiri demi dia, demi kami.
Dan selama ini, dia punya keluarga lain.
Cinta itu, pengabdian yang kuyakini hanya untukku, adalah sebuah kebohongan. Sebuah pertunjukan.
Ponselku bergetar di sakuku. Itu dia. Aku menatap namanya di layar, tanganku gemetar. Akhirnya aku menjawab.
"Hei, kamu di mana?" Suaranya hangat, nada penuh kasih yang selalu dia gunakan padaku.
Di latar belakang, aku bisa mendengar suara samar bayi menangis, lalu suara Rania menenangkan anak itu.
Aku berdiri di seberang jalan dari gereja, mengawasinya melalui pintu yang terbuka. Dia memegang ponsel di telinganya, tersenyum saat berbicara denganku.
"Aku hanya sedang jalan-jalan," jawabku, suaraku sendiri terdengar asing dan rapuh.
"Aku terjebak rapat mendadak," katanya dengan lancar. "Aku akan segera pulang. Aku kangen kamu."
Kebohongan itu begitu mudah baginya. Meluncur begitu saja, mulus dan sempurna, seperti semua hal lain tentangnya. Setetes air mata akhirnya jatuh dan mengalir di pipiku, panas di kulitku yang dingin. Semua perjalanan bisnis itu, malam-malam larut di kantor. Berapa banyak yang dihabiskan di sini, bersama mereka?
Bagaimana bisa aku sebodoh ini?
Aku menelan benjolan di tenggorokanku, memaksakan suaraku agar tetap stabil. "Bima, aku perlu bertemu denganmu."
Dia ragu-ragu. Aku bisa melihatnya mengubah tumpuan berat badannya, senyumnya goyah sejenak. "Aku masih rapat, sayang. Bisa tunggu sampai aku pulang?"
"Tidak."
Tepat pada saat itu, anak laki-laki kecil itu, Leo, berjalan terhuyung-huyung dan memeluk kaki Bima.
"Ayah!" pekik anak itu.
Mata Bima melebar panik. Dia cepat-cepat membungkuk, mencoba membungkam anak itu sambil menjaga suaranya tetap rendah dan tenang untukku. "Itu hanya... anak salah satu rekan kerjaku."
Telepon mati. Dia menutup teleponku.
Aku menyaksikan dia menggendong anak itu, mencium pipinya dan membisikkan sesuatu yang membuat anak itu terkikik. Dia terlihat begitu alami, begitu nyaman. Ayah yang begitu baik.
Jantungku terasa seperti dicungkil keluar, hanya menyisakan kehampaan yang kosong dan menyakitkan. Bertahun-tahun hidupku, cintaku, terasa seperti lelucon.
Aku mengeluarkan ponselku lagi, jari-jariku bergerak sendiri. Aku tidak menelepon Ayla, sahabatku. Aku tidak menelepon pengacaraku.
Aku menelepon direktur Program Fellowship Arsitektur Internasional di Singapura. Program bergengsi selama enam bulan yang telah kuterima tetapi kutunda demi Bima. Sebuah program yang menuntut fokus total tanpa gangguan. Isolasi total.
"Saya ingin menerima fellowship itu," kataku, suaraku terdengar sangat tenang. "Saya bisa segera berangkat."