/0/21638/coverbig.jpg?v=93a4504fb4f119a1df890d35f8343a67)
Tepat ketika Kiran mengetahui bahwa dirinya tengah hamil, kenyataan pahit menghantamnya. Ia mengetahui bahwa suaminya, Arka, yang selama ini dianggapnya setia, ternyata sudah berkhianat. Yang lebih menyakitkan lagi, ternyata mereka sudah memiliki anak. Hati istri mana yang tak sakit hati bila mengetahui suaminya berselingkuh dengan wanita lain. Di tengah kebahagiaan yang seharusnya ia rasakan karena kehamilannya, Kiran harus menghadapi pengkhianatan yang menghancurkan hatinya dan meruntuhkan rumah tangganya. Lalu, bagaimana Kiran bisa menghadapi kenyataan pahit ini? Mampukah ia bangkit dari keterpurukan dan menemukan kebahagiaan sejati? Ataukah cinta dan kepercayaannya pada Arka sudah terlalu hancur untuk bisa diperbaiki?
Diajeng Kirana Ardani, wanita yang kerap disapa Kiran itu segera berdiri dari lantai yang dingin ketika ia mendengar suara pintu kamar terbuka. Wanita yang berusia 27 tahun itu mengangkat pandangannya dari lantai, melihat ke arah suaminya, Arka, yang telah pulang kerja.
"Mas, kamu sudah pulang?"
"Malam ini banyak pekerjaan yang harus diurus. Jadi, aku baru sempat pulang sekarang," jawab Arka sambil menaruh tas dan ponselnya di meja.
Arkana Wirasena, anak tunggal dari almarhum Wirasena itu bekerja sebagai seorang manajer proyek di sebuah perusahaan konstruksi besar. Tanggung jawabnya besar, mulai dari mengawasi pembangunan hingga memastikan segala sesuatu berjalan sesuai jadwal. Hari-harinya sering kali dihabiskan di lokasi proyek, yang membuatnya selalu pulang larut malam, bahkan kadang tak pulang ke rumah.
"Mas, aku ingin bicara," ujar Kiran, sambil mengangkat pandangannya, menatap ke arah Arka begitu gelisah.
Arka yang sedang melepas kancing kemejanya, sejenak menghentikan aktivitasnya, dan menatap Kiran yang sedang berjalan ke arahnya. "Apa yang ingin kamu bicarakan?"
Tepat di hadapan suaminya, Kiran menyodorkan sebuah alat tes kehamilan ke arah Arka.
Arka yang melihat itu, segera meraih alat berbentuk panjang tersebut dari tangan Kiran dengan wajah bingung. "Apa ini?"
"Aku hamil, Mas."
Wajah Arka seketika berubah menjadi marah mendengar itu. "Kenapa bisa kamu hamil? Bukannya kita sudah berjanji untuk menunda kehamilanmu?"
Selama ini, Arka selalu meminta agar mereka menunda memiliki momongan terlebih dahulu, meskipun mereka sudah menikah selama lima tahun.
Sorot mata Arka yang berwarna coklat tajam menembus dinding hati Kiran. Tak ayal, Kiran selalu takut dengan sorot mata tersebut. Dia terdiam, bibirnya terkatup rapat, tubuhnya bergetar ketika mendapatkan tatapan tajam dari suaminya.
"Ayo jawab, kenapa kamu diam saja? Bukannya aku juga selalu menyuruhmu untuk minum pil KB?" Lagi, suara Arka semakin menggema di malam yang sudah larut.
Kiran menundukkan kepalanya, ia mencoba mengumpulkan keberanian untuk menjawab pertanyaan suaminya itu. "Maaf, Mas. Aku sudah tidak minum obat itu lagi. Perutku kram bila minum obat itu."
Arka terkejut mendengar penjelasan Kiran. "Kenapa kamu tidak bilang? Kenapa kamu diam saja?"
"Aku takut, Mas," jawab Kiran, suaranya nyaris hampir tak terdengar. "Aku takut kamu marah, aku tidak tahu harus bagaimana."
"Tapi seharusnya kamu bilang bila tidak minum obat itu lagi, setidaknya aku bisa mencegahnya!"
Dengan perasaan kesal, Arka menjatuhkan bobot tubuhnya di tepi ranjang. Ia membuang test pack ke sembarang arah, tangannya segera menyanggah kepalanya yang terasa berat. Bagaimana tidak, beban di pundaknya semakin bertambah, belum lagi pekerjaan yang menguras tenaga, dan juga tagihan yang semakin membengkak.
Baru sekitar tiga bulan lalu, ia membeli mobil impiannya dengan kredit, belum juga hutang bank, dan tagihan lainnya yang membuatnya pusing. Sekarang ditambah lagi dengan kehamilan dari istrinya.
Kiran memandang suaminya yang terlihat frustrasi. "Mas, kenapa kamu seperti ini? Seharusnya kamu bahagia, bukan? Kita akan memiliki anak."
Bukannya ucapan Kiran membuat Arka bahagia, tapi malah membuat lelaki itu murka. Arka mengangkat pandangannya ke arah Kiran dan menatapnya tajam. "Kamu tahu, aku ini sedang pusing! Aku sedang memikirkan bagaimana caranya membayar tagihan yang sudah membengkak, dan sekarang ditambah lagi dengan beban kamu yang sedang hamil," sergah Arka, tanpa ia sadari, ucapannya itu begitu menyakitkan di telinga Kiran.
Kiran tertegun, ia tidak habis pikir dengan perkataan suaminya itu. Beban? Apakah suaminya menganggap anak yang dikandungnya itu adalah beban?
"Mas, kenapa kamu bilang begitu? Anak itu adalah anugerah yang Tuhan kasih untuk kita. Seharusnya kamu bahagia, bukan kesal seperti ini. Kamu tahu, Mas, semua suami temanku merasa bahagia ketika tahu istrinya sedang hamil. Tapi kenapa dengan kamu?" Suara Kiran mulai terdengar putus asa. Wanita itu melanjutkan perkataannya lagi dengan kesal. "Di luar sana banyak orang yang mendambakan keturunan bahkan harus mengeluarkan uang banyak agar bisa memiliki anak. Harusnya kamu bersyukur!"
Arka menghela napas panjang, mencoba untuk tenang, tetapi rasa frustrasi dan beban yang menghimpitnya masih terlalu besar. "Kiran, kamu tidak mengerti. Aku tidak bilang aku tidak bersyukur, tapi situasi kita sekarang ini ... semuanya sangat berat. Aku hanya tidak tahu bagaimana kita akan menghadapinya."
Kiran meraih tangan suaminya, ia berjongkok di hadapan Arka, berharap suaminya mau menerima anak yang ada dalam kandungannya itu.
"Aku tahu, Mas, kita sedang menghadapi banyak masalah. Tapi kita bisa melaluinya bersama. Aku butuh kamu dan anak kita juga akan membutuhkan kamu."
Arka menarik napas dalam-dalam, ia begitu frustrasi, bagaimana caranya agar Kiran bisa mengerti posisinya. Arka menggenggam tangan Kiran, lelaki itu menundukkan kepala, sebelum akhirnya berkata dengan suara bergetar. "Kiran, mungkin lebih baik kalau kita menggugurkan saja anak itu."
Deg!
Kiran tercengang, wajahnya memucat mendengar perkataan suaminya. Murka menguasai hatinya, jelas. Dia menarik tangannya dari genggaman Arka dan berdiri dengan cepat. "Apa?! Bagaimana bisa kamu mengusulkan hal seperti itu, Mas? Anak ini adalah darah daging kita! Darah daging kamu!"
"Kiran, dengarkan aku dulu." Arka mendongak menatap Kiran yang sudah marah. "Aku hanya berpikir tentang bagaimana kita akan menghadapi semua ini. Kita tidak siap secara finansial, dan aku tidak ingin melihat kita semakin terpuruk."
Kiran menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kamu tidak berpikir tentang aku, tentang anak kita. Kamu hanya berpikir tentang dirimu sendiri dan masalahmu. Bagaimana bisa kamu meminta aku untuk menggugurkan anak yang baru hadir di rahimku?"
"Bukan begitu, Kiran." Suara Arka mulai melemah. "Aku hanya ingin memastikan kita bisa memberikan yang terbaik untuk anak kita di masa depan. Jika kita tidak siap sekarang, aku takut kita akan gagal sebagai orang tua."
Kiran menggelengkan kepala, satu tetes air matanya akhirnya jatuh menggelinding menyatu dengan bibir tipisnya. Ia tak pernah menyangka bila suaminya akan berkata demikian. "Mas, tidak ada waktu yang sempurna untuk memiliki anak. Setiap orang tua pasti menghadapi tantangan. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah sebelum kita mencoba. Anak ini adalah berkah, dan aku akan berjuang untuknya, dengan atau tanpa dukunganmu."
Arka merasa terpukul oleh kata-kata Kiran. "Kiran, aku ...."
"Aku tidak ingin mendengar alasanmu lagi, Mas. Jika kamu tidak bisa mendukungku dalam hal ini, maka aku akan melakukannya sendiri. Tapi aku harap kamu bisa melihat bahwa anak ini adalah bagian dari kita berdua, dan dia berhak mendapatkan kesempatan untuk hidup."
"Terserah kamu mau bilang apa, aku capek!" Arka berdiri dan langsung pergi dari hadapan Kiran.
"Mas, kenapa kamu seperti ini?"
Kiran menatap kepergian suaminya dari hadapannya. Lelaki yang berusia 30 tahun itu memasuki kamar mandi, meninggalkannya dalam diam yang menyesakkan.
Sudah lima tahun mereka menikah, tapi suaminya itu terus saja meminta agar mereka menunda memiliki anak. Alasannya tetap sama, karena banyak tagihan yang harus dibayar. Namun, itu tidak membuat Kiran kehilangan harapan dan keinginan untuk menjadi seorang ibu.
Setelah suaminya tak terlihat lagi dan menghilang dibalik pintu, tiba-tiba terdengar satu notifikasi dari ponsel Arka yang tergeletak di atas meja.
Pandangan Kiran tertuju pada layar ponsel yang sudah menyala, ia meraih ponsel tersebut. Mata coklatnya melebar ketika melihat sekilas pesan yang masuk. Tanpa sengaja, matanya menangkap beberapa kata yang membuat hatinya berdegup kencang.
"Mas, kamu di mana? Kamu jadi ke mari, 'kan? Cleo demam, kita harus membawanya ke rumah sakit."
Deg!
Jantung Kiran terasa berdenyut nyeri ketika membaca pesan tersebut. "Siapa ini? Kenapa dia mengirim pesan seperti ini?" gumam Kiran, suaranya bergetar saat membaca pesan tersebut.
"Nak, tolong Papa, hanya kamu yang bisa menolong kehormatan keluarga Wijaya dan Maduswara. Kalau pernikan ini dibatalkan, nama baik keluarga Maduswara pasti hancur, begitu juga dengan perusahaan Papa yang sudah Papa kelola selama ini."
Haris dan Lidya sedang berada di ranjang tempat mereka akan menghabiskan sisa malam ini. Tubuh mereka sudah telanjang, tak berbalut apapun. Lidya berbaring pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar. Kepala Haris berada disana, sedang dengan rakusnya menciumi dan menjilati selangkangan Lidya, yang bibir vaginanya kini sudah sangat becek. Lidah Haris terus menyapu bibir itu, dan sesekali menyentil biji kecil yang membuat Lidya menggelinjang tak karuan. “Sayaaang, aku keluar laghiiii…” Tubuh Lidya mengejang hebat, orgasme kedua yang dia dapatkan dari mulut Haris malam ini. Tubuhnya langsung melemas, tapi bibirnya tersenyum, tanda senang dan puas dengan apa yang dilakukan Haris. Harispun tersenyum, berhasil memuaskan teman tapi mesumnya itu. “Lanjut yank?”
Warning 21+ Harap bijak memilih bacaan. Mengandung adegan dewasa! Bermula dari kebiasaan bergonta-ganti wanita setiap malam, pemilik nama lengkap Rafael Aditya Syahreza menjerat seorang gadis yang tak sengaja menjadi pemuas ranjangnya malam itu. Gadis itu bernama Vanessa dan merupakan kekasih Adrian, adik kandungnya. Seperti mendapat keberuntungan, Rafael menggunakan segala cara untuk memiliki Vanessa. Selain untuk mengejar kepuasan, ia juga berniat membalaskan dendam. Mampukah Rafael membuat Vanessa jatuh ke dalam pelukannya dan membalas rasa sakit hati di masa lalu? Dan apakah Adrian akan diam saja saat miliknya direbut oleh sang kakak? Bagaimana perasaan Vanessa mengetahui jika dirinya hanya dimanfaatkan oleh Rafael untuk balas dendam semata? Dan apakah yang akan Vanessa lakukan ketika Rafael menjelaskan semuanya?
Istriku Lidya yang masih berusia 25 tahun rasanya memang masih pantas untuk merasakan bahagia bermain di luar sana, lagipula dia punya uang. Biarlah dia pergi tanpaku, namun pertanyaannya, dengan siapa dia berbahagia diluar sana? Makin hari kecurigaanku semakin besar, kalau dia bisa saja tak keluar bersama sahabat kantornya yang perempuan, lalu dengan siapa? Sesaat setelah Lidya membohongiku dengan ‘karangan palsunya’ tentang kegiatannya di hari ini. Aku langsung membalikan tubuh Lidya, kini tubuhku menindihnya. Antara nafsu telah dikhianati bercampur nafsu birahi akan tubuhnya yang sudah kusimpan sedari pagi.
Warning! Banyak adegan dewasa 21+++ Khusus untuk orang dewasa, bocil dilarang buka!
Hidup itu indah, kalau belum indah berarti hidup belum berakhir. Begitu lah motto hidup yang Nayla jalani. Setiap kali ia mengalami kesulitan dalam hidupnya. Ia selalu mengingat motto hidupnya. Ia tahu, ia sangat yakin akan hal itu. Tak pernah ada keraguan sedikitpun dalam hatinya kalau kehidupan seseorang tidak akan berakhir dengan indah. Pasti akan indah. Hanya kedatangannya saja yang membedakan kehidupan dari masing – masing orang. Lama – lama Nayla merasa tidak kuat lagi. Tanpa disadari, ia pun ambruk diatas sofa panjang yang berada di ruang tamu rumahnya. Ia terbaring dalam posisi terlentang. Roti yang dipegangnya pun terjatuh ke lantai. Berikut juga hapenya yang untungnya cuma terjatuh diatas sofa panjangnya. Diam – diam, ditengah keadaan Nayla yang tertidur senyap. Terdapat sosok yang tersenyum saat melihat mangsanya telah tertidur persis seperti apa yang telah ia rencanakan. Sosok itu pelan – pelan mendekat sambil menatap keindahan tubuh Nayla dengan jarak yang begitu dekat. “Beristirahatlah sayang, pasti capek kan bekerja seharian ?” Ucapnya sambil menatap roti yang sedang Nayla pegang. Sosok itu kian mendekat, sosok itu lalu menyentuh dada Nayla untuk pertama kalinya menggunakan kedua tangannya. “Gilaaa kenyel banget… Emang gak ada yang bisa ngalahin susunya akhwat yang baru aja nikah” Ucapnya sambil meremas – remas dada Nayla. “Mmmpphhh” Desah Nayla dalam tidurnya yang mengejutkan sosok itu.
Setelah menikahi akhwat cantik yang lama diidam-idamkan, pria milyarder itu merasa sangat bahagia. Mereka menikmati kehidupan rumah tangga yang bahagia, meski baru seminggu. Namun, ada satu hal yang membuat sang istri merasa terganggu. Suaminya mempunyai kebiasaan yang cukup mengkhawatirkan. Hampir setiap saat, suaminya meminta jatah. Sebelum tidur, saat menyiapkan makanan, bahkan saat mereka sedang santai di ruang keluarga. Sang istri merasa kewalahan. Dia tidak pernah menyangka bahwa suaminya begitu rakus akan kepuasan duniawi. Suatu hari, ketika sang istri sedang memasak di dapur, sang suami mendekatinya dan mulai merayunya. "Sayang, ayo kita berduaan sebentar di kamar," bisik suaminya, sambil mencium leher istri. Dengan wajah merah padam, sang istri mencoba menolak. "Aku sedang memasak, nanti saja ya, Sayang," ujarnya lembut. Namun, suaminya tidak terima penolakan. Dia semakin mendesak, bahkan mulai meraba tubuh sang istri. "Aku tidak bisa menahan nafsu ini, Sayang," desahnya. Akhirnya, sang istri menyerah pada desakan suaminya. Mereka pun bergegas ke kamar untuk melampiaskan hasrat mereka. Sang istri merasa kewalahan menghadapi keperkasaan suaminya yang mencapai 27cm. Dia merasa tubuhnya terlalu lemah untuk mengimbangi nafsu suaminya yang tidak pernah habis. Setelah berhubungan intim, sang istri terkapar lemas di tempat tidur, sementara suaminya bangkit dengan senyum puas