Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Pernikahan Si Mungil
Pernikahan Si Mungil

Pernikahan Si Mungil

5.0
380 Bab
265.6K Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

“Kita hanya akan menikah selama sebulan. Setelah itu, kita akan segera bercerai.” Meskipun pernikahan mereka telah diatur oleh kakek buyut mereka sebelum mereka lahir, Hiram percaya bahwa wanita yang kasar dan berisik seperti Rachel tidak pantas menjadi istrinya. Sedikit yang mereka tahu saat itu bahwa mereka ditakdirkan untuk bersama. Hiram, CEO muda tampan yang tidak pernah bisa terangsang oleh seorang wanita, dan Rachel, si cantik yang entah bagaimana selalu membawa nasib buruk bagi semua pria yang dia kencani, akan menikah, meskipun kemungkinannya sangat rendah.

Bab 1 Pertemuan Tak Terduga di Kampung Halaman

Rachel Rustadi menopang dagunya sambil memerhatikan Fannie Rustadi mengemasi setumpuk barang di meja. Rachel hanya bisa menghela napas tanpa bisa melakukan apa-apa.

Fannie bertanya, "Kenapa kamu menghela napas? Mama melakukan semua ini demi kebaikanmu."

Dengan hati-hati, Fannie memasukkan dupa, lilin dan kertas bakar* yang telah dipersiapkannya ke dalam tas, kemudian tak lupa dia menoleh untuk menatap putrinya sebentar.

(*Ket: Kertas bakar adalah lembaran kertas yang biasanya dibakar sebagai persembahan dalam upacara keagamaan tradisional etnis Tionghoa. Contohnya: upacara pemujaan dewa atau penghormatan pada leluhur saat Festival Cheng beng. Kertas ini melambangkan mata uang di dunia akhirat.)

Melihat mamanya sudah hampir selesai membereskan barang-barang, dia baru menundukkan kepala, dengan berat hati dia memasukkan ponsel dan charger ke dalam tas cokelat kesayangannya. Perjalanan kembali ke kampung halaman kali ini, setidaknya mereka akan menginap selama dua hari. Walaupun sebenarnya Rachel tidak terlalu berniat untuk ikut mamanya pulang ke kampung halaman mereka, tapi Rachel tetap mengambil tas dari tangan mamanya sembari merangkul lengan wanita paruh baya itu.

Tak lama kemudian, kedua ibu dan anak itu pun menumpang bus pariwisata menuju ke kampung halaman mereka. Hujan yang turun kemarin malam membuat jalan desa itu terlihat basah dan licin.

Di dalam bus, Rachel memilih tempat duduk di sebelah jendela. Dia menatap pemandangan di luar jendela bus dengan tatapan melankolis, sedangkan mamanya terus mengoceh.

Fannie berkata, "Rachel, maafkan mama, nak! Mama juga tidak ada cara lain. Kamu sendiri juga tahu, baik itu perjodohan maupun kisah asmaramu di kampus, tidak ada satu pun yang berjalan lancar dan berakhir dengan normal. Kamu membuat mama kehilangan muka di depan tetangga dan keluarga kita di kampung halaman!"

Kelihatannya Fannie tidak berniat untuk berhenti berbicara. Setiap kali Fannie mengungkit kisah cinta putri semata wayangnya ini, dia selalu menghela napas panjang. Selalu ada orang yang bergosip di belakangnya, "Lihat, dia adalah ibu si pembawa sial itu!"

Dalam kurun waktu dua tahun terakhir, Rachel telah menghadiri puluhan acara perjodohan.

Di antara para kandidat, ada beberapa pria yang terlihat tidak bermasalah, tapi setiap kali Rachel mencoba menjalin hubungan dengan pria-pria tersebut, mereka tiba-tiba mengalami hal buruk. Yang mengalami kecelakaan lalu lintas saja sudah ada dua orang, ada dua orang yang pupus di tengah jalan, dan dua orang lainnya terdiagnosa menderita penyakit mematikan saat pemeriksaan kesehatan menjelang pernikahan.

Walaupun di dunia ini ada banyak hal yang kebetulan terjadi, tapi persentase kejadian serupa tampaknya terlalu sering terjadi pada Rachel. Ini juga agak terlalu berlebihan, 'kan?

Sampai sekarang, sama sekali tidak ada pria yang berani mendekati Rachel, mereka takut malapetaka yang sama akan menimpa diri mereka!

Rachel berkata, "Ma, bisakah kamu berhenti mengatakannya lagi? Zaman sekarang, sudah berapa kali ikut acara perjodohan pun bukan masalah serius. Itu hal yang sangat sering terjadi. Apalagi, di dunia ini, setiap saat juga mungkin terjadi kecelakaan, juga ada orang yang bisa tiba-tiba sakit. Bagaimana itu bisa hanya menyalahkan aku sih?"

Namun, kejadian yang begitu kebetulan seperti ini di mata Rachel, bukan karena nasibnya yang kurang beruntung, melainkan berat jodoh, tapi bagaimanapun juga dia pasti bisa menemukan seseorang yang tepat nantinya.

Fannie hanya bisa mengelus dada setelah mendengarkan perkataan putrinya, dia merenggut tas dari tangan Rachel dan berkata, "Kamu ini memang keras kepala, jika kamu tidak cepat-cepat membuang sial, mungkin saja mama juga akan celaka, ketimpa nasib buruk!"

Setelah melewati tikungan, mereka bergegas menuju ke rumah mereka yang di kampung. Rachel mengangkat bahu, kemudian berjalan menyusul di belakang mamanya.

Saat di tikungan, dia mendengar suara mobil yang mengarah ke mereka. Tanpa berpikir panjang, Rachel menoleh dan melihat, sekilas sebuah mobil mewah Maybach berwarna hitam sedang melaju menuju ke arah rumah tua yang berada di barisan belakang.

Dia bergumam sambil melirik kakinya sendiri, 'Dasar orang kaya!, mengemudi mobil mewah ini ke tempat seperti ini, apakah dia tidak takut mobilnya itu terjebak di lumpur, tidak bisa keluar? Apa dia tidak takut mobilnya itu menjadi kotor!'

Sejak tadi sepatunya penuh dengan lumpur, kemudian dengan langkah santai dia berbalik badan dan berjalan menuju ke rumah mereka.

Desa Suka Maju adalah desa kuno yang memiliki sejarah lebih dari tiga ratus tahun lalu. Ada banyak bangunan tua peninggalan Belanda yang masih berdiri kokoh, terutama sebuah kuil tua.

Kuil tua itu adalah rumah ibadah etnis Tionghoa yang masih terpelihara dengan sangat baik sehingga banyak peziarah dari luar kota yang datang sembayang dan berdoa. Dupa yang ada di atas altar kuil, selalu dijaga agar tetap menyala setiap hari.

"Tuan Muda Hiram, mohon Anda dapat bergerak lebih cepat, Nyonya Besar sudah lama menunggu di luar. Beliau berpesan, waktu terbaik untuk mempersembahkan dupa adalah pukul 09.00 pagi." kata kepala pengurus rumah.

Di depan sebuah cermin tua berukuran setinggi badan, seorang pria merapikan kemejanya. Dengan kesal dia mengerutkan kening, menoleh ke belakang menatap kepala pengurus rumah dengan dingin.

Bola matanya yang gelap menyerupai langit malam penuh bintang dan aura penuh wibawa membuat orang di sekitarnya merasakan tekanan bagaikan tembok yang tak terlihat. Tatapan mematikan ini membuat kepala pengurus rumah langsung terdiam, tidak berani menguber-uber lagi.

"Aku tidak suka corak dasi ini. Berikan yang lain." Pria itu berkata dengan dingin, lalu melempar dasi yang ada di tangannya.

Sang kepala pengurus rumah bereaksi cepat, dengan secepat kilat dia mengulurkan tangan, membungkuk badannya untuk mengambil dasi itu. Kemudian sang pengurus rumah itu kembali dengan dasi lain untuk dipilih tuan muda Hiram.

"Model sabuk pinggang ini tidak cocok dengan pakaianku. Berikan aku sabuk pinggang yang lain." sambil berkata, Hiram menarik sabuk pinggang berwarna hitam dari pinggang dan melemparnya ke belakang.

Sang pengurus rumah bergegas mengulurkan tangannya untuk meraih sabuk pinggang itu. Kemudian dia kembali dengan sabuk pinggang yang lain untuk dipilih tuan muda Hiram.

Sang Tuan Muda ini, Hiram Setiawan, memiliki sebuah kebiasaan, bisa dibilang itu adalah hobinya. Dia suka melempar barang.

Semua yang tidak dia sukai, yang tidak nyaman di matanya, dia akan membuang semuanya tanpa berpikir dua kali. Semua sekretaris dan asistennya memiliki badan yang kuat dan gesit karena kebiasaan uniknya ini. Dengan kemampuan yang mereka miliki, bahkan jika ada lalat yang melintas di depan mata mereka sekali pun, mereka sanggup menangkapnya dengan tangan kosong!

Di balik pintu, terlihat seorang wanita paruh baya dengan penampilan elegan, raut mukanya menunjukkan rasa ketidaksabaran. Wanita ini adalah ibunya Hiram. Dia mengetuk pintu dengan tidak sabar dan mendesak putranya untuk segera keluar dari ruangan.

"Hiram, upacara penghormatan leluhur ini berkaitan dengan keberuntungan Keluarga Setiawan sepanjang tahun. Tolong kamu serius sedikit! Waktunya hampir tiba, cepatlah keluar."

Melihat bayangan dirinya di cermin perunggu, Hiram Setiawan mengangguk dengan puas. Hiram mengambil ponselnya dari meja antik yang dibuat dari kayu jati dan berjalan menuju ke arah pintu.

Sang pengurus rumah menghela napas lega dan bergegas membukakan pintu untuk Hiram. Joanna Firmanda, ibu Hiram, dengan tidak sabar menunggu putranya di luar.

Di sisi lain, Fannie dan Rachel melangkah keluar dari rumah mereka. Kebetulan rumah keluarga Rustadi terletak di depan rumah Keluarga Setiawan yang mewah. Ibu dan anak itu berjalan berdampingan menuju arah kuil tua.

Sepanjang perjalanan, Fannie memberitahu putrinya mengenai tata cara melakukan ritual dan peraturan di dalam kuil tua dekat rumah mereka. Fannie merasa sangat khawatir dengan Rachel, dia cemas Rachel mungkin akan melakukan kesalahan dan menyinggung para leluhur yang ada di kuil, sehingga dia tetap melajang sepanjang hidupnya.

Rachel merasa kesal dan membuang pandangannya, dia merasakan kesabarannya mulai menipis. Setiap kali mereka mendatangi kuil untuk berdoa, ibunya selalu mengocehi dirinya terus menerus di sepanjang perjalanan dengan hal yang sama.

"Fannie-ku tersayang, apakah tidak salah? Aku ini putrimu, bukan nenek yang sudah tua dan pikun. Aku sudah menghafal semua yang mama katakan!"

Fannie sudah terbiasa dengan kelakuan putrinya yang agak kurang ajar itu. Dia memandang putrinya sambil tersenyum, kemudian membantu Rachel merapikan pakaiannya sambil berkata, "Mama hanya mengingatkan saja, siapa tahu kamu sudah lupa."

Mereka berdua berjalan memasuki kuil tua dan langsung menuju ke aula yang terletak di bagian belakang kuil. Warga desa Suka Maju yang berkunjung ke kuil itu memiliki aturan khusus yang sedikit berbeda dengan daerah lain.

"Bawa lilin dan kertas bakar ini bersamamu, Sayang. Dengar kata Mama, setelah kamu memasuki ruangan, matamu jangan sembarangan melirik ke sekeliling. Ingat semua hal yang telah Mama beri tahukan padamu." Fannie menasihati Rachel sembari menyerahkan beberapa barang.

Ini adalah tradisi warga Desa Suka Maju. Orang-orang harus membawa persembahan dan lilin ke kuil itu dan berdoa dengan tulus, agar keinginan mereka dapat terwujud.

"Rachel mengerti, Ma! Jangan khawatir!" Setelah menerima barang-barang dari ibunya, Rachel bergegas berjalan menuju pintu Ruang Berdoa Buddhis. Begitu sampai di dalam ruangan itu, Rachel akhirnya bisa merasa sedikit lebih tenang, tanpa harus mendengar ceramah dari ibunya.

Di ruangan lain, di kuil yang sama ....

Keluarga Setiawan merupakan keluarga pertama yang berhasil menjadi keluarga kaya raya di Desa Suka Maju. Mereka juga banyak menyumbang uang dan materi untuk merenovasi dan meremajakan kuil tua itu. Hal ini membuat Keluarga Setiawan menikmati banyak perlakuan khusus di Desa Suka Maju.

Papan nama para leluhur Keluarga Setiawan ditempatkan dengan terhormat di aula yang terletak di sebelah Ruang Doa Buddhis. Papan-papan nama para leluhur tersebut mendapat limpahan berkah dari doa pada sang Buddha.

"Hiram, sekarang kamu adalah kepala Keluarga Setiawan. Kamu harus memimpin upacara secara langsung." kata Joanna Firmanda dengan lembut. Mata sang Ibu menatap putranya yang berprestasi besar itu dengan bangga.

Sejak kecil, hal yang paling tidak suka dilakukan Hiram adalah sembahyang di kuil.

Dia hanya memercayai kemampuan dirinya sendiri.

Meskipun tidak suka, Hiram tetap mengikuti nasihat ibunya. Pendidikan tata krama yang diterima Hiram sejak kecil tidak memungkinkan dia untuk menunjukkan rasa tidak puasnya di depan sang ibunda. Hiram mengambil keranjang dari ibunya, membalikkan badan dan berjalan menuju ke aula leluhur.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY