Waktu terus berlalu, menit-menit terasa seperti jam, tapi pria yang seharusnya berdiri di sisinya tak kunjung muncul. Matanya melirik ke arah pintu gereja-berharap, berdoa, mendambakan sosok itu muncul dan berkata bahwa ini semua hanya kesalahpahaman. Tapi yang ada hanya tatapan kasihan dari para tamu dan wajah tegang kedua orang tuanya.
Wajah ibunya tampak memerah karena marah dan malu, sementara ayahnya duduk dengan ekspresi keras, rahangnya mengatup erat.
"Ini aib!" bisik seseorang dari barisan depan.
Evelyn menutup matanya. Ia ingin menghilang, ingin kabur dari tempat ini, ingin berteriak dan memaki laki-laki yang telah mengkhianatinya.
Tapi sebelum dia sempat mengambil langkah, suara langkah sepatu terdengar dari belakangnya.
Adrian.
Pria itu berjalan dengan tenang, setelan hitamnya sempurna seperti biasanya, posturnya tegak dan tak terbaca. Mata abu-abu yang tajam itu menatap lurus ke arah pendeta, lalu ke arah Evelyn yang masih terperangkap dalam keterkejutan.
"Aku akan menggantikannya."
Suasana gereja langsung hening.
Evelyn menoleh, tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Apa?"
Adrian tidak mengulangi kata-katanya, seolah dia tak peduli apakah Evelyn menerimanya atau tidak. Pria itu hanya berdiri di sana, penuh ketenangan, sementara semua orang menatap mereka dalam kebingungan.
Ayah Evelyn bangkit dari kursinya. "Kau serius, Adrian?"
"Daripada mempermalukan kedua keluarga, bukankah ini pilihan terbaik?" Jawab Adrian tanpa ekspresi.
Evelyn tidak bisa bernapas. Ini lelucon, bukan? Adrian-kakak Nathan-pria yang selalu dingin dan menjaga jarak darinya, kini menawarkan diri menjadi suaminya?
Tidak! Ini gila.
"Aku tidak setuju," gumam Evelyn, suaranya bergetar.
"Tidak ada pilihan lain," kata ibunya, suaranya rendah namun penuh tekanan.
Evelyn menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya. "Tidak. Aku tidak bisa menikah dengan seseorang yang bahkan tidak kucintai!"
Adrian menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Lalu, apa yang kau inginkan?"
Evelyn tidak tahu.
Jika ia berlari keluar, nama baik keluarganya akan hancur. Ia akan menjadi gadis yang ditinggalkan di altar, menjadi bahan gosip, menjadi korban penghinaan. Tapi jika ia menerima pernikahan ini... ia harus mengikat diri dengan pria yang bahkan tidak pernah tersenyum padanya.
Semua mata tertuju pada mereka.
Evelyn menggigit bibirnya, mencoba menahan semua emosi yang berkecamuk dalam dadanya. Ia bisa merasakan tatapan penuh harap dari keluarganya-dan tatapan tajam Adrian, seolah menunggunya untuk menyerah pada keadaan.
Akhirnya, dengan suara yang nyaris tak terdengar, Evelyn berkata, "Baik. Aku akan menikah denganmu."
Senyap.
Tapi bagi Evelyn, ini adalah awal dari neraka yang sesungguhnya.