Di sampingnya, Damon Aldrich tampak tenang, hampir terlalu tenang. Dengan setelan jas hitam yang sempurna, dia lebih mirip seorang eksekutif yang baru saja menandatangani kontrak penting daripada pria yang baru menikah.
Dan memang, bagi mereka, ini bukan pernikahan. Ini hanya transaksi.
"Pernikahan ini tidak mengubah apa pun," suara Damon terdengar rendah namun tajam, hanya cukup untuk didengar oleh Aurelia.
Dia menoleh, menatap mata kelam pria itu yang tak menunjukkan emosi apa pun.
"Aku tahu." Aurelia mengangkat dagunya, berusaha menyembunyikan kekecewaan yang selama ini dia pendam.
"Dalam beberapa tahun, kita akan bercerai," lanjut Damon. "Aku mendapatkan warisan yang seharusnya menjadi milikku, dan kau bisa melanjutkan hidupmu tanpa ada lagi beban keluargamu di pundakmu."
Aurelia menelan ludah, menahan kepedihan yang mulai menjalari hatinya. Pernikahan ini memang bukan keinginannya. Dia tidak pernah ingin menjadi istri seseorang yang bahkan tidak bisa berpura-pura peduli. Tapi saat keluarganya di ambang kehancuran, dia tidak punya pilihan lain.
Kepala keluarganya, ayahnya, telah mempertaruhkan segalanya dalam bisnis yang salah. Keluarga Voltaire, yang dulu terpandang, kini nyaris bangkrut. Hanya satu jalan keluar yang tersisa: pernikahan ini.
"Kau tidak perlu mengingatkanku," jawab Aurelia akhirnya, suaranya datar.
Damon hanya menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke para tamu yang mengelilingi mereka, memberikan senyum tipis yang penuh kepalsuan.
Di kejauhan, Aurelia bisa melihat wajah orang tuanya-terutama sang ayah, yang terlihat lega karena kesepakatan ini telah berjalan lancar. Aurelia seharusnya merasa lega juga. Seharusnya dia merasa beruntung karena berhasil menyelamatkan keluarganya.
Tapi mengapa hatinya terasa begitu kosong?
Malam itu, Aurelia berdiri di balkon kamar hotel mereka, menatap cahaya kota yang berkelap-kelip. Di belakangnya, Damon berdiri dengan satu tangan menyelipkan sebatang rokok di antara jemarinya. Dia tidak merokok, hanya sekadar kebiasaan lama yang muncul ketika pikirannya sedang penuh.
"Jadi, bagaimana kita melakukannya?" tanya Aurelia, akhirnya memecah keheningan.
Damon mengangkat alis. "Apa maksudmu?"
"Kita menikah, tapi kita tidak benar-benar bersama." Aurelia berbalik, menatapnya. "Kau ingin kita tinggal di rumah yang berbeda?"
Damon mengembuskan napas, lalu berjalan mendekat. "Aku akan tetap tinggal di penthouse-ku. Kau bisa tinggal di mana pun yang kau mau, asal tidak mengganggu hidupku."
Aurelia tersenyum miring. "Begitu mudahnya, ya?"
Damon menatapnya dengan mata gelap yang sulit dibaca. "Kita sudah sepakat, Aurelia. Ini hanya kontrak. Jangan mengharapkan apa pun dariku."
Ada sesuatu dalam suaranya yang menusuk, tapi Aurelia menolak untuk menunjukkan kelemahan.
"Aku tahu."
Tanpa berkata apa-apa lagi, Damon berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Aurelia sendirian dengan perasaan yang entah mengapa terasa lebih dingin daripada angin malam di balkon itu.
Hari ini, dia telah menjadi istri seorang pria yang bahkan tidak ingin mengenalnya lebih dalam. Dan dalam beberapa tahun, dia akan menjadi mantan istrinya.
Itulah rencana awal.
Namun, tidak ada yang tahu bahwa rencana bisa berubah.