Adeline berdiri di sudut ruangan, jemarinya meremas erat gelas kosong yang sejak tadi tak tersentuh. Dia tak pernah membayangkan dirinya berada di pesta ini, terlebih sebagai bagian dari rencana yang tak pernah dia setujui. Dia datang hanya sebagai tamu, sebagai undangan biasa. Namun, detik berikutnya, dia telah menjadi pusat perhatian.
Sebuah bisikan tajam menusuk telinganya.
"Pernikahannya batal."
Adeline menoleh, matanya bertemu dengan seorang wanita paruh baya dengan ekspresi panik. Sang pengantin wanita-saudara sepupunya, Celestine-telah melarikan diri di menit terakhir, meninggalkan calon pengantin pria dan keluarganya dalam aib yang tak tertahankan. Pernikahan yang seharusnya menjadi simbol kekuatan antara dua keluarga kini berantakan dalam sekejap.
Dan dalam kekacauan itu, hanya ada satu solusi yang tersisa.
"Kamu yang akan menggantikannya," suara dingin dan berkuasa itu datang dari ayahnya, Adriel Vyantara. Tatapan tajam pria itu menusuk langsung ke dalam jiwa Adeline, membuat napasnya tercekat.
"Tidak mungkin," bisiknya, tubuhnya menegang.
"Ini bukan permintaan," balas sang ayah dengan nada mengancam. "Ini perintah."
Adeline merasa tubuhnya membeku. Kepanikan menjalar ke seluruh nadinya. Dia bukan Celestine. Dia bukan yang seharusnya berdiri di altar itu. Namun, di sekelilingnya, tekanan semakin kuat. Pihak keluarga Mahendra menuntut jawaban. Mereka tak bisa membiarkan pewaris mereka dipermalukan.
Dan di tengah keributan itu, mata Adeline bertemu dengan sosok pria yang selama ini hanya dia kenal dari berita bisnis-Alaric Mahendra.
Tatapan pria itu gelap, penuh kemarahan. Rahangnya mengeras saat dia menatap Adeline seolah dia adalah duri yang menusuk harga dirinya.
"Kau pasti bercanda," suaranya rendah namun mengandung ancaman.
"Aku juga tidak ingin ini terjadi," Adeline membalas dengan suara bergetar, jantungnya berdetak tak beraturan.
Alaric melangkah mendekat, berdiri hanya beberapa inci darinya. Mata tajamnya menelanjangi Adeline, seolah menimbang apakah dia layak untuk menggantikan Celestine.
"Lalu kenapa kau masih berdiri di sini?" desisnya.
Adeline menggigit bibir bawahnya, menahan guncangan emosinya. "Karena aku tidak punya pilihan."
Beberapa jam kemudian, di ruangan pernikahan yang telah dihiasi dengan mawar putih, Adeline berdiri di pelaminan dengan gaun pengantin yang bukan miliknya. Cincin di jari manisnya terasa lebih berat dari yang seharusnya, seakan melambangkan beban takdir yang kini menghimpitnya.
Di sisinya, Alaric berdiri kaku, wajahnya tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya penuh kemarahan yang tak terselubung. Pernikahan mereka telah resmi. Namun, tak ada senyum bahagia, tak ada ucapan selamat yang sungguh-sungguh.
Dan saat para tamu bertepuk tangan, hanya satu hal yang memenuhi benak Adeline-dia telah terjebak dalam pernikahan yang seharusnya tidak pernah terjadi.