Tiba-tiba, telepon genggamnya bergetar di atas meja, memecah keheningan yang mencekam. Nama yang muncul di layar membuat napasnya tercekat. Rafael Vallenzo.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Arlena mengangkat panggilan tersebut.
"Rafael," ujarnya, suaranya terdengar lebih dingin dari yang ia harapkan.
"Arlena," suara di ujung sana terdengar lembut namun tegas, "kamu baik-baik saja?"
Arlena menelan ludahnya. Rasanya, berbicara dengan Rafael membuat emosinya semakin tak terkendali. Ia mengingat betul bagaimana Rafael selalu hadir di sisi ibunya, mencoba menjadi penolong, namun tak pernah ia sadari bahwa pria itu juga punya hubungan dengan wanita yang kini menjadi musuhnya.
"Baik-baik saja? Bagaimana mungkin aku bisa baik-baik saja setelah semua yang terjadi?" suaranya terpecah, penuh kepahitan.
Terdengar kesunyian di ujung telepon, sebelum akhirnya Rafael berbicara lagi dengan nada lebih hati-hati, "Aku tahu ini sulit, Arlena. Tapi, kamu harus memahami bahwa ibu dan ayah kalian... mereka juga manusia. Ada hal-hal yang tidak bisa kamu lihat dari luar."
Arlena mendesah, merasa kata-kata itu hanya menjadi pembenaran yang tak pernah ia terima. "Tidak, Rafael. Apa yang terjadi itu bukanlah karena kesalahan mereka berdua! Semua ini karena wanita itu," jawabnya dengan nada memuncak. "Karena dia!"
Rafael terdiam sejenak, kemudian berbicara dengan suara yang lebih serius. "Arlena, aku tahu kau sangat marah padanya. Dan aku mengerti. Tapi, mungkin ini saatnya kamu belajar untuk melihat semuanya dari perspektif yang lebih luas."
Arlena merasa hatinya bergejolak. "Perspektif apa lagi yang kau maksud? Setelah ibuku meninggal karena stres dan sakit karena wanita itu? Apa yang harus aku pahami, Rafael?"
Suasana menjadi tegang. Rafael menghela napas dalam-dalam, seolah merasakan setiap kata yang diucapkan Arlena. "Aku hanya ingin kau tahu bahwa hidup ini seringkali tidak berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Kadang, kita harus menerima kenyataan pahit dan mencoba untuk bergerak maju."
Namun, kata-kata itu seperti pisau tajam yang menambah luka di hati Arlena. "Maju? Setelah semuanya hancur?" katanya dengan suara pelan, namun penuh amarah. "Kau bicara tentang maju, tapi tidak ada yang bisa memperbaiki apa yang telah hilang. Ibu, ayah... mereka semua rusak karena kebohongan dan pengkhianatan."
Rafael tahu, meskipun kata-katanya mungkin datang dengan niat baik, ia takkan bisa memperbaiki apa yang telah terjadi. "Aku tidak bisa mengubah masa lalu, Arlena. Tapi aku ada di sini untukmu, jika kau membutuhkan seseorang."
Arlena terkekeh sinis. "Seseorang? Seseorang yang ternyata juga ada hubungan dengan wanita itu? Terima kasih, Rafael. Tapi aku tidak membutuhkan pelipur lara dari orang seperti kamu."
Telepon itu terputus begitu saja. Arlena menatap layar ponselnya dengan pandangan penuh kebencian, namun di dalam hatinya, ada perasaan kosong yang tak kunjung terisi.
Wanita itu-Nadia, istri dari ayahnya yang merebut segalanya-mungkin telah merusak hidupnya. Tapi kini, Arlena merasa ada satu hal yang lebih dari sekedar kemarahan. Ada rencana yang telah lama terpendam dalam dirinya.
Ia tahu, suatu hari nanti, ia akan menghadapinya. Tidak hanya untuk membalas dendam pada wanita yang menghancurkan kebahagiaan keluarganya, tetapi juga untuk membayar harga atas semua kebohongan yang selama ini tersembunyi.
Dan Rafael... meskipun dirinya terhubung dengan orang yang paling dibenci Arlena, ia takkan bisa menghindar dari permainan yang sedang dimulai.
Arlena menghela napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Semuanya akan berakhir. Aku akan memastikan itu."
Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, senyum tipis muncul di wajahnya-senyum yang penuh dengan rencana.