/0/23987/coverbig.jpg?v=65539e85f791a9c83ad480a55e39389c)
Kehidupan pernikahan Andini yang membosankan berubah saat dirinya kedatangan seorang tetangga muda nan tampan yang menarik perhatiannya bernama Andreas. Gairah Andini membara, membayangkan Andreas menyentuh tubuhnya. Tapi tidak! Dia sudah berkeluarga! Namun, siapa yang bisa menolak kharisma brondong tampan itu?! Sampul by Freepik
Banyak orang yang mengira kalau aku menjalani hidup yang sempurna.
Aku menikah dengan pria mapan yang baik hati dan bertanggung jawab. Kedua anakku, Evan dan Rico, tumbuh menjadi anak yang sehat dan ceria. Orang-orang bilang, di umurku yang ke-35 tahun aku masih nampak seperti gadis dengan tubuh molek yang mempesona.
Pokoknya, tidak ada yang kurang dalam hidupku. Semuanya sempurna.
Tapi kesempurnaan yang dilihat orang-orang itu semu.
Sebuah kebohongan besar kusimpan dalam-dalam selama sepuluh tahun pernikahanku dengan suamiku. Kebohongan bahwa aku mencintainya.
*
Kebohongan lainnya adalah aku menikmati semua sesi bercinta dengan Prasetyo, panggilannya Pras–suamiku. Nyatanya, aku tidak pernah terpuaskan oleh suamiku sendiri. Tidak pernah. Sekali pun dalam sepuluh tahun pernikahan kami.
Ha! Menyedihkan memang. Dan aku selalu berpura-pura mencapai kenikmatan itu, memujinya sebagai pria hebat sepanjang masa, yang bisa membawaku melayang ke atas sana. Semua kulakukan hanya untuk menjaga harga dirinya.
Jangan salah, kami sudah membahas masalah ini di awal pernikahan–bahkan sampai ke seksolog segala–yah, tapi hal itu tidak membantu. Pras sepertinya sudah sekuat tenaga menahan agar tidak selesai duluan, tapi tetap saja sulit bagiku untuk mencapai kenikmatan itu.
Jujur, aku tidak pernah merasakan gairah saat kami berhubungan. Mungkin, karena aku memang belum bisa mencintainya.
Kurasa aku layak dapat Piala Oscar sebagai aktris terbaik karena berkat akting menawanku ini aku berhasil mempertahankan rumah tangga kami selama sepuluh tahun.
Kamu sungguh hebat, Andini! Aku selalu memuji diriku seperti itu–sebenarnya ini hanya kamuflase untuk menyemangati diriku sendiri sih.
Tok, tok, tok.
Suara ketukan dari luar kamar mandi membuatku tersentak.
Lamunanku–lebih tepatnya keluhanku–langsung buyar seketika.
"Sayang, udahan belum? Kok lama banget? Aku boleh masuk ya?" Suara Pras terdengar dari luar sana.
Aku berdecak kesal. "Sebentar!" balasku kemudian.
Cepat-cepat aku membasuh seluruh tubuhku hingga bersih. Aku tidak mau suamiku masuk dan memaksaku memulai ronde kedua.
Soalnya, stok kepura-puraanku sudah habis untuk malam ini.
*
Setelah selesai kelas pilates, aku sengaja mampir ke toko buah langganan. Setelah itu aku bergegas pulang untuk istirahat sebentar sebelum nanti aku lanjut les baking pukul dua siang.
Selesai kelas baking, aku harus menjemput kedua putraku, Evan, delapan tahun dan Rico, enam tahun, di sekolah.
Seperti itulah kegiatanku sehari-hari; belanja, les sana-sini, ngopi cantik dengan teman-temanku, ke salon, antar jemput anak. Pokoknya aku harus menyibukkan diri.
Pras tidak mengizinkanku bekerja. Dia ingin aku mengabdi sepenuhnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anak kami. Kata salah satu temanku, itu adalah salah satu cara Pras agar aku tidak mandiri dan bergantung padanya.
Awalnya, aku keberatan. Karena sebelum menikah dengan Pras, aku memiliki pekerjaan yang cukup stabil. Tapi Pras berjanji untuk memenuhi segala kebutuhanku–dan dia melakukannya–jadi, ya sudah, aku menjalani peran sebagai ibu rumah tangga saja selama ini.
Kadang, aku merasa kesepian apalagi kalau teman-temanku sibuk dengan bisnis mereka–Pras juga melarangku berbisnis, katanya aku tidak berbakat–rumah terasa hampa. Kedua anakku sudah beranjak besar dan sibuk dengan kegiatan sekolah.
Makanya, aku mendaftar berbagai macam kursus.
Sepertinya hampir semua kursus pernah aku ikuti, mulai dari memasak, merajut, yoga dan pilates, bahasa asing, sampai yang terakhir aku iseng ikut kursus coding sampai dapat sertifikat segala–tapi entah untuk apa sertifikat itu, toh aku dilarang kerja oleh suamiku?
Aku menyeka keringat yang membasahi pelipis lalu menaruh keranjang belanjaan.
Tiba-tiba telepon rumah berdering. Keningku mengernyit karena tumben-tumbenan ada yang menelepon ke rumah.
"Halo?"
"Selamat siang!" Suara seorang pria terdengar ceria dari seberang sana. "Ini benar dengan rumah Bapak Prasetyo Hendrawanto?"
Aku menghela napas pendek. Bisa kutebak, dia pasti sales yang hendak menawarkan kartu kredit, atau mungkin penipu yang bilang suamiku menang undian.
"Iya, benar," jawabku acuh. Huh, seharusnya aku tidak usah mengangkat telepon ini. Buang-buang waktu saja, pikirku.
"Kami dari Showroom Mobil Permata Indah. Saya dengan Wawan sebagai sales executive yang menangani pembelian mobil dari Bapak Prasetyo Hendrawanto."
"Mo-mobil?"
"Benar. Maaf, saya berbicara dengan siapa ya?"
"Saya istrinya."
"Oh, Ibu! Apa kabar, Bu? Sehat? Kebetulan, mobil ini kan dibeli Pak Prasetyo untuk Ibu. Nah, kami lupa, Bu. Waktu itu Bapak pilih mobilnya warna abu metalik atau hitam ya?"
"A-apa? Suamiku beli mobil baru?" Kerutan di keningku semakin dalam.
Sales itu nampak terdiam sesaat di seberang sana. "Iya, Bu. Sebagai hadiah perayaan pernikahan Ibu dan Bapak yang ke...Aduh, maaf Bu, saya lupa."
"Yang kesepuluh."
"Ah, iya yang kesepuluh ya? Jadi, Ibu pilih warna yang abu metalik atau hitam?"
Apa ini hadiah kejutan dari Pras untukku? Tapi perayaan ulang tahun pernikahan kami yang kesepuluh sudah lewat tiga bulan yang lalu dan Pras memberiku hadiah sepasang anting berlapis berlian.
"Entahlah. Aku kurang tahu suamiku pilih warna apa. Tapi kalau mobil itu untukku, aku lebih suka warna hitam," jawabku.
"Baiklah. Kalau begitu besok kami akan kirim mobilnya ke rumah."
Sales itu lantas mengkonfirmasi alamat rumah kami dan aku terus bertanya-tanya untuk apa Pras memberiku mobil baru padahal garasi kami saja tidak muat untuk menampung mobil lagi.
Setelah menutup telepon, aku masih termenung. Kurasa aku harus menanyakan hal ini langsung pada Pras. Kulirik pergelangan tanganku. Hm, aku bisa datang ke kantornya sambil membawakannya makan siang. Yah, hitung-hitung sebagai kejutan karena sudah membelikanku mobil baru.
Lalu aku pun bergegas menyuruh, Miyem, ART-ku agar menyiapkan makan siang untuk Pras.
*
Aku melangkah santai di koridor menuju ruangan Pras. Masih ada sepuluh menit lagi menuju jam makan siang. Mudah-mudahan saja Pras masih ada di ruangannya.
Namun, aku tidak menemukan asisten Pras di mejanya. Maka, aku masuk begitu saja ke arah pintu ruangan Pras yang ada di ujung koridor.
Alisku langsung bertautan begitu pintu ruangan Pras terkunci. Apa dia sedang keluar? Namun, saat aku hendak balik badan, aku mendengar suara kaki meja yang berdecit dari dalam sana.
Tok, tok, tok.
"Mas Pras? Mas?" tanyaku dari luar. "Mas ada di dalam? Mas Pras?"
Aku lalu menempelkan kupingku di permukaan pintu untuk mengetahui apakah ada orang di dalam atau tidak.
Tiba-tiba saja aku mendengar suara slot pintu yang bergeser dan tubuhku hampir limbung ke depan karena pintu ruangan Pras membuka begitu saja.
"Andini?" Pras berdiri di hadapanku dengan sedikit terkejut. Tangannya membenarkan posisi kerah kemejanya yang miring. "Kenapa kamu datang enggak bilang-bilang?"
"Sorry, Mas. Aku mau kasih kejutan untuk kamu."
"Kejutan?"
Aku mengangkat kantung bekal yang kutenteng sedari tadi. "Makan siang spesial untuk kita!"
"Tumben," kini Pras mengancingkan salah satu mansetnya.
Aku tersenyum tipis, menatapnya. "Aku tahu, Mas."
Pras nampak menelan ludahnya dalam-dalam. Astaga, kenapa dia jadi tegang begitu sih? Apa karena kejutan hadiah mobil untukku batal gara-gara sales itu menelepon ke rumah?
"Tahu soal apa?" Suara Pras terdengar sedikit parau kali ini.
Aku mendahuluinya, masuk ke dalam ruangannya. "Bahwa kamu..."
Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, langkahku seketika tertahan begitu melihat seorang wanita cantik yang berdiri di samping meja Pras. Wanita itu tersenyum padaku namun aku membalasnya dengan tatapan tajam.
Kepalaku menoleh ke arah Pras yang berdiri di belakangku. "Siapa dia?" tanyaku dingin.
Dan Pras hanya terdiam seperti patung.
Livia ditinggalkan oleh calon suaminya yang kabur dengan wanita lain. Marah, dia menarik orang asing dan berkata, "Ayo menikah!" Dia bertindak berdasarkan dorongan hati, terlambat menyadari bahwa suami barunya adalah si bajingan terkenal, Kiran. Publik menertawakannya, dan bahkan mantannya yang melarikan diri menawarkan untuk berbaikan. Namun Livia mengejeknya. "Suamiku dan aku saling mencintai!" Semua orang mengira dia sedang berkhayal. Kemudian Kiran terungkap sebagai orang terkaya di dunia.Di depan semua orang, dia berlutut dan mengangkat cincin berlian yang menakjubkan. "Aku menantikan kehidupan kita selamanya, Sayang."
Cerita Khusus Dewasa... Banyak sekali adegan panas di konten ini. Mohon Bijak dalam Membaca. Basah, Tegang, bukan Tanggung Jawab Autor. Menceritakan seorang pria tampan, bekerja sebagai sopir, hingga akhirnya, seorang majikan dan anaknya terlibat perang diatas ranjang.
Arga adalah seorang dokter muda yang menikahi istrinya yang juga merupakan seorang dokter. Mereka berdua sudah berpacaran sejak masih mahasiswa kedokteran dan akhirnya menikah dan bekerja di rumah sakit yang sama. Namun, tiba-tiba Arga mulai merasa jenuh dan bosan dengan istrinya yang sudah lama dikenalnya. Ketika berhubungan badan, dia seperti merasa tidak ada rasa dan tidak bisa memuaskan istrinya itu. Di saat Arga merasa frustrasi, dia tiba-tiba menemukan rangsangan yang bisa membangkitkan gairahnya, yaitu dengan tukar pasangan. Yang menjadi masalahnya, apakah istrinya, yang merupakan seorang dokter, wanita terpandang, dan memiliki harga diri yang tinggi, mau melakukan kegiatan itu?
Yuvina, pewaris sah yang telah lama terlupakan, kembali ke keluarganya, mencurahkan isi hatinya untuk memenangkan hati mereka. Namun, dia harus melepaskan identitasnya, prestasi akademisnya, dan karya kreatifnya kepada saudara perempuan angkatnya. Sebagai imbalan atas pengorbanannya, dia tidak menemukan kehangatan, hanya pengabaian yang lebih dalam. Dengan tegas, Yuvina bersumpah akan memutus semua ikatan emosional. Berubah, dia sekarang berdiri sebagai ahli seni bela diri, mahir dalam delapan bahasa, seorang ahli medis yang terhormat, dan seorang desainer terkenal. Dengan tekad yang baru ditemukan, dia menyatakan, "Mulai hari ini dan seterusnya, tidak ada seorang pun di keluarga ini yang boleh menyinggungku."
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."