Unduh Aplikasi panas
Beranda / Adventure / Petualangan Mamat: Ilmu, Nafsu, dan Takdir Wanita
Petualangan Mamat: Ilmu, Nafsu, dan Takdir Wanita

Petualangan Mamat: Ilmu, Nafsu, dan Takdir Wanita

5.0
1 Bab
235 Penayangan
Baca Sekarang

"Perempuan adalah ujian, tapi juga penebusan. Dan aku... bukan lagi lelaki biasa." ________________________________________ Malam menggigil pelan di balik kaca jendela kamar mewah itu. Lampu-lampu kota menyala seperti kilatan bintang-bintang kecil yang lupa jalan pulang ke langit. Di pojok ruangan, seorang lelaki duduk bersila, punggungnya tegak, wajahnya tenang, tapi sorot matanya menyimpan badai yang sudah terlalu lama ditahan. Namanya Mamat. Orang-orang kota mengenalnya sebagai "Ki Prabu Lelana", pemilik jaringan klinik penyembuhan batin yang tersebar di lima negara. Tapi hanya sedikit yang tahu, bahwa tubuh laki-laki itu pernah diselimuti bau keringat dan tanah liat, tinggal di rumah reyot beralaskan tikar goni, dan berjalan tanpa alas kaki dari satu musholla ke musholla lainnya-bukan karena ibadah, tapi karena ingin menghindari rumah. Rumah yang penuh tangis, lapar, dan kesepian. Seorang perempuan cantik berbalut gaun satin melangkah pelan dari balik tirai kamar mandi. Rambutnya masih basah, matanya setengah mabuk oleh kenikmatan yang baru saja ia telan. Ia tersenyum sambil memeluk Mamat dari belakang, mengusap dadanya yang hangat. "Aku belum pernah merasakan seperti ini, Kang... bukan sekadar tubuhku... tapi jiwaku seolah ditelanjangi," bisiknya. Mamat tak menjawab. Ia hanya mengusap jemarinya yang dingin ke tangan sang wanita. Hangat. Lembut. Tapi tak mampu menyentuh hatinya yang kini keras bagai batu kali. Karena di dalam dadanya, sebuah kenangan masih mendesak ingin hidup. Kenangan akan gadis kecil berkerudung merah muda yang dulu menghindari duduk sebangku dengannya, hanya karena... Mamat dianggap bau. Kenangan akan malam-malam di mana ia mengunci diri di kamar mandi karena tubuhnya bergolak tapi tak punya siapa-siapa yang bisa mengerti. Malam-malam di mana ia menangis tanpa suara, hanya ditemani gemericik air di ember yang tak penuh. Dan kenangan itu kembali malam ini, hanya karena ia mencium wangi sabun yang sama. Sabun murahan, yang dulu dipakai ibunya. "Aku tak butuh cinta," bisik Mamat lirih. Wanita itu mengernyit. "Apa, Kang?" Mamat menggeleng. Ia meraih kitab kecil dari balik kopernya. Kitab lusuh, tulis tangan, dengan halaman yang sudah hampir lapuk dimakan waktu dan doa-doa rahasia. "Ilmu Penunduk Jiwa dan Raga" Ia menatap halaman pertama yang ditulis dengan darah dan air mata. Di sana tertulis: "Untuk lelaki yang dicampakkan dunia. Untuk tubuh yang dianggap hina. Untuk jiwa yang ingin menguasai bukan karena cinta- tetapi karena pernah ditolak oleh cinta itu sendiri." Mamat menutup matanya. Dan malam mulai bicara, seperti biasanya. ________________________________________ *Karena inilah awal dari segalanya. Awal dari lelaki bernama Mamat. Awal dari legenda yang tak pernah benar-benar mati.*

Konten

Bab 1 Bau Tubuh, Bau Surga

Langit belum lagi cerah ketika ayam jantan berkokok dari balik pohon nangka di belakang surau. Bau tanah basah masih menggantung di udara. Embun menggantung di ujung daun singkong, menetes perlahan seperti air mata yang malu-malu jatuh dari kelopak mata seseorang yang terbiasa menahan segalanya.

Di sebuah rumah kecil beratap seng dan berdinding anyaman bambu yang sudah bolong di sana-sini, seorang anak laki-laki duduk bersila menghadap dinding kiblat. Mukanya masih lekat dengan sisa kantuk, tapi matanya menyala dengan keyakinan yang belum patah. Ia memegang Iqra' kecil yang sampulnya sudah hampir terkelupas, membacanya pelan-pelan, seakan setiap huruf Arab itu bukan hanya ilmu, tapi doa yang menyembuhkan luka hidup yang terlalu dini datang padanya.

Namanya Mamat.

Lahir dari rahim seorang perempuan penjual sayur keliling dan bapak tukang gali kubur, Mamat dibesarkan dalam dunia di mana lapar bukan musuh, tapi teman yang setia datang setiap malam. Namun dalam kemiskinan itu, ada satu hal yang tak pernah surut dari rumah mereka: shalat lima waktu dan bacaan Al-Qur'an yang tak pernah putus.

Ibunya, Bu Yati, adalah perempuan keras tapi penyayang. Wajahnya tegas, kulitnya legam terbakar matahari, namun hatinya lapang seperti sawah pascapanen. Ayahnya, Pak Leman, nyaris tak pernah bicara selain untuk mengucap salam, memberi nasihat pendek, dan mengajar Mamat tentang mati. Karena baginya, pekerjaan menggali liang kubur bukan sekadar mencangkul tanah-tapi mengingatkan bahwa dunia ini fana, dan hanya amal yang bisa dibawa mati.

Namun dunia tidak pernah sepenuhnya adil pada Mamat.

Meskipun rajin mengaji dan tak pernah membantah orang tua, tubuh Mamat memiliki satu kutukan yang membuatnya dijauhi semua orang di sekolah: bau badan yang menyengat.

Anak-anak memanggilnya "Mamat Kecut".

Gurunya sering memintanya duduk di pojokan. Dan setiap kali pelajaran olahraga, Mamat pasti sendiri. Tak ada yang mau satu tim dengan anak yang katanya, "baunya kayak sepatu kakek-kakek yang tenggelam di got."

Lebih menyakitkan lagi, Mamat pertama kali jatuh cinta pada usia sebelas tahun. Seorang teman sekelas bernama Siti Maesaroh. Putri dari ustaz kampung sebelah. Cantik, manis, dan sangat lembut tutur katanya. Suatu siang, Mamat memberanikan diri duduk di sebelahnya di musholla sekolah saat waktu dhuha.

Tapi Maesaroh langsung berdiri dan menutup hidungnya.

"Astaghfirullah... Mamat, kamu jangan duduk deket-deket dong. Nanti mukenaku ikut bau."

Semua yang mendengarnya tertawa. Termasuk guru tahfidz mereka.

Mamat hanya diam. Tidak marah. Tidak menangis. Tapi malam itu, ia menyiram tubuhnya dengan air sabun keras milik ibunya sampai kulitnya melepuh. Ia mengira, mungkin kulitnya harus dibakar agar aromanya hilang.

Tapi bukan itu intinya.

Aroma tubuh itu bukan masalah sabun. Bukan masalah keringat. Itu adalah kutukan, pikir Mamat.

Kutukan yang hanya bisa dibasuh dengan ilmu, bukan deterjen.

________________________________________

🛐 Waktu Subuh, Empat Tahun Kemudian

Usia Mamat menginjak enam belas. Tubuhnya mulai tinggi dan kurus. Ia masih rajin shalat, masih rajin mengaji, tapi hatinya mulai gelisah. Ia tidak pernah berani mengungkapkan cinta pada perempuan mana pun. Ia hanya menatap dari jauh. Perempuan-perempuan itu seperti bidadari yang dilukis di langit-terlalu tinggi untuk disentuh, apalagi dipeluk.

Malam-malamnya diisi dengan doa yang tak biasa untuk anak seusianya. Ia meminta kepada Tuhan, bukan rejeki atau kekayaan. Tapi hanya satu: "Ya Allah, tolong jadikan aku disukai oleh wanita, walau satu saja."

Namun yang datang bukanlah satu.

Yang datang adalah mimpi.

Mimpi tentang seorang lelaki tua berjubah hitam, duduk di antara pepohonan bambu yang melingkar seperti cincin gaib. Di tangannya, lelaki itu memegang kitab kuno, berwarna coklat tua, bersampul kulit ular.

"Aku bisa mengubah bau tubuhmu menjadi wangi surgawi," kata lelaki itu dalam mimpi.

"Tapi kau harus siap kehilangan kewarasanmu."

Mamat terbangun dengan keringat dingin membanjiri tubuh. Tapi tubuhnya... tidak bau.

Ia mengendus lengan dan lehernya. Harum. Seperti bunga melati dan kayu cendana yang terbakar dalam dupa.

Sejak malam itu, hidup Mamat berubah.

Tapi ia belum tahu, itu bukan berkah semata. Itu adalah pintu gerbang menuju ilmu yang tak boleh disentuh manusia biasa.

Sejak malam itu, aroma tubuh Mamat berubah.

Bukan lagi bau asam yang menyengat, bukan pula keringat remaja miskin yang tak kenal deodoran. Tapi wangi samar yang sulit dijelaskan. Campuran bunga liar dan dupa, seperti wewangian yang kadang tercium samar dari tubuh seorang wali ketika ia berlalu.

Pertama kali yang menyadari perubahan itu bukan Mamat sendiri, melainkan Bu Yati-ibunya.

Pagi itu, saat ia hendak mengajak Mamat sarapan, Bu Yati mendekat dari belakang. Dan tiba-tiba berhenti.

"Kamu pakai minyak wangi dari mana, Mat?"

Mamat mengangkat wajah dari mangkuk nasi tiwul. "Enggak, Bu. Mamat nggak punya minyak wangi."

Ibunya mendekat, mencium lengan baju Mamat. Ada aroma... aneh. Wangi, tapi bukan wangi dari dunia ini.

Wangi yang... membuat bulu kuduk berdiri.

Bu Yati hanya mengangguk pelan, tak berkata apa-apa. Tapi malam itu, ia bangun lebih awal, dan terlihat lebih lama bersujud dalam shalat tahajudnya.

________________________________________

Dua minggu berlalu, dan perubahan itu tak berhenti di aroma tubuh.

Para perempuan di sekitar desa mulai... melirik Mamat.

Bukan perempuan sembarangan. Bahkan janda kaya yang biasa tak menyapa siapa pun, kini tiba-tiba sering mengantar makanan ke rumah Mamat.

"Ini buat Mamat ya, Bu Yati. Dia pasti butuh gizi yang baik buat belajar," kata Bu Narsih, sambil menyelipkan amplop berisi uang di bawah tumpukan tempe goreng.

Mamat merasa bingung. Tapi jantungnya berdebar tiap kali tatapan perempuan datang padanya lebih lama dari yang seharusnya.

Terlebih saat itu ia mulai masuk pengajian remaja masjid di desa sebelah. Di sana, ada banyak gadis-cantik, manis, dan berpendidikan.

Salah satu dari mereka bernama Lilis Anggraeni. Anak kepala desa. Pandai, sopan, dan sangat menjaga auratnya. Tapi sejak Mamat datang beberapa kali ke masjid, Lilis seperti punya ketertarikan yang tak bisa disembunyikan.

Setiap kali Mamat datang, Lilis seperti kehilangan arah. Ia salah sebut ayat, menjatuhkan mukena, atau kadang cuma menatap Mamat terlalu lama.

Sampai suatu malam, saat pengajian bubar lebih lambat, Lilis menghampiri Mamat yang sedang membereskan sandal di serambi masjid.

"Kamu... bisa ajarin aku ngafal surat Al-Waqi'ah, Mat?" tanyanya dengan suara yang nyaris seperti bisikan.

Mamat tak bisa berkata apa-apa.

Matanya menatap wajah Lilis, dan tiba-tiba... ada kilatan dalam matanya.

Pandangan itu-tajam, dalam, penuh magnet-

Dan Lilis... tersentak. Tubuhnya gemetar.

"Kenapa kamu... lihat aku seperti itu...?" gumamnya sambil menunduk.

Mamat tak menjawab.

Karena saat itu, tubuhnya bukan hanya melihat-tapi menundukkan. Tanpa ia sadari, ilmu dalam mimpinya sudah mulai bekerja.

🌘 Malam Tujuh Likur

Malam ganjil di bulan Ramadhan. Angin membawa aroma hio dari rumah tua yang sudah lama kosong di pinggir desa. Rumah itu dulunya milik seorang kakek dukun tua, yang konon menghilang begitu saja setelah mengaku bisa memikat hati siapa saja dengan "ilmu dari dunia sebelah."

Malam itu, Mamat berjalan ke sana. Bukan karena berani, tapi karena ia merasa dipanggil.

Saat ia melangkah masuk, ia melihat seorang lelaki tua duduk bersila di tengah ruangan. Jubah hitamnya seperti menyerap cahaya. Wajahnya terlindungi bayangan, tapi suara yang keluar jelas-suara dari mimpinya.

"Kamu sudah siap?" tanyanya.

Mamat mengangguk, walau tubuhnya gemetar.

"Apa yang kamu cari, Nak?"

Mamat menjawab pelan, "...Aku ingin... agar perempuan tidak lagi menjauhiku."

Lelaki itu tertawa-bukan tawa gembira, tapi seperti suara pintu tua yang dibuka paksa.

"Kalau begitu... mari kita mulai."

________________________________________

Upacara malam itu sederhana.

Setitik darah jari Mamat menetes di halaman pertama kitab. Lalu lelaki tua itu membisikkan sesuatu ke telinga Mamat. Sebuah mantra dalam bahasa Jawa Kuno. Tak semua kata bisa dimengerti, tapi rasanya seperti mendengar bagian dari dirinya sendiri yang lama dikunci.

Setelah itu... langit seperti terbelah.

Mamat pingsan. Tapi di alam bawah sadarnya, ia melihat barisan perempuan berpakaian putih, menari di antara bunga kenanga. Mereka tertawa, memanggil namanya, menyodorkan tubuh, tapi dengan tatapan penuh penghormatan. Seolah ia adalah raja, dan mereka adalah persembahan.

________________________________________

Saat Mamat bangun, pagi telah menyingsing. Tapi tubuhnya tak lagi sama. Ia merasa lebih kuat. Nafasnya lebih panjang. Pandangannya lebih tajam. Tapi yang paling ia rasakan adalah getaran yang muncul setiap kali perempuan menatap matanya.

________________________________________

Sejak saat itu, hidup Mamat tak lagi sama.

Ia masih miskin. Masih tinggal di rumah reyot. Tapi para perempuan mulai menghampirinya satu demi satu.

Dari yang janda, gadis, hingga perempuan terhormat. Mereka semua mendekat tanpa alasan yang jelas. Mereka datang membawa tubuh dan cinta, tapi Mamat belum menyentuh satu pun.

Belum.

Karena ia tahu... ini baru awal. Ilmu ini butuh dituntaskan. Ia belum menguasainya sepenuhnya. Tapi setiap desir tubuh perempuan yang melewatinya kini seperti bisikan, menggodanya untuk mengembangkan ilmu lebih dalam lagi.

Dan malam demi malam, Mamat semakin dalam dalam pencarian.

Bukan cinta yang ia cari.

Tapi penguasaan total atas rasa, jiwa, dan tubuh.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Rilis Terbaru: Bab 1 Bau Tubuh, Bau Surga   05-01 17:51
img
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY