Kirana menghempaskan ponselnya ke sofa. Dadanya sesak, kepalanya terasa penuh. Perasaan dikhianati membuatnya muak, dan satu-satunya hal yang terpikir olehnya saat itu hanyalah keluar dari tempat ini.
Tanpa berpikir panjang, ia meraih jaket dan tas, lalu melangkah keluar dari apartemen tanpa peduli hujan yang masih mengguyur jalanan kota.
---
Bar kecil di sudut kota tampak remang-remang dengan alunan musik jazz lembut. Kirana duduk di kursi tinggi dekat meja bartender, jemarinya membelai gelas cocktail yang baru saja disajikan.
"Minuman pertama?" suara berat seorang pria terdengar di sebelahnya.
Kirana menoleh. Seorang pria duduk di kursi sampingnya, mengenakan kemeja hitam yang digulung hingga siku. Wajahnya tegas, dengan rahang kokoh dan tatapan tajam yang entah mengapa terasa menenangkan.
Ia mengangkat bahu. "Pertama, kedua... siapa yang menghitung?" jawabnya, berusaha terdengar santai.
Pria itu tersenyum tipis. "Sepertinya kau butuh lebih dari sekadar satu gelas."
Kirana menatap minumannya, lalu menyesapnya perlahan. "Aku hanya ingin melupakan sesuatu."
"Hm." Pria itu mengaduk minumannya dengan es batu. "Melupakan atau kabur?"
Kirana tertawa kecil, tapi suaranya pahit. "Mungkin keduanya."
Pria itu tak bertanya lebih lanjut, tapi tatapannya seolah mengatakan bahwa ia mengerti. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Kirana merasa aman, meskipun mereka baru bertemu.
Seiring percakapan mengalir, Kirana merasa bebannya sedikit berkurang. Ia tidak tahu apakah itu efek alkohol atau hanya karena pria di sampingnya ini terlalu nyaman untuk diajak bicara. Yang jelas, malam itu, ia tidak ingin pulang sendirian.
---
Musik semakin pelan. Bar mulai sepi. Kirana menatap pria di sampingnya dengan napas yang sedikit berat.
"Aku tak ingin pulang malam ini," ucapnya, hampir seperti bisikan.
Pria itu menatapnya dalam. Sejenak, ada keheningan di antara mereka sebelum akhirnya pria itu mengulurkan tangan.
"Adrian," katanya, mengenalkan diri.
Kirana menatap tangan itu sesaat, lalu menggenggamnya. "Kirana."
Adrian tersenyum tipis. "Ayo."
Tanpa banyak kata, mereka meninggalkan bar bersama.
---
Sinar matahari menembus tirai jendela, menusuk kelopak mata Kirana yang masih berat. Ia menggeliat pelan, merasakan kehangatan yang asing.
Begitu matanya terbuka, ia tertegun.
Ia berada di sebuah kamar hotel, selimut tebal melingkupinya. Jantungnya langsung berdegup kencang saat menyadari seseorang ada di sampingnya.
Adrian.
Lelaki itu masih tertidur, napasnya teratur. Wajahnya terlihat lebih tenang dibandingkan tadi malam, membuat Kirana semakin panik.
"Astaga..." Kirana menutup wajahnya. Ingatan samar tentang malam itu mulai kembali, dan ia sadar betapa impulsifnya keputusannya semalam.
Tidak ingin membangunkan Adrian, Kirana segera bangkit, mencari-cari bajunya yang berserakan di kursi. Dengan gerakan cepat, ia mengenakan pakaiannya, lalu melangkah menuju pintu.
Namun, sebelum ia berhasil keluar, suara berat yang familiar menghentikannya.
"Kemana?"
Kirana membeku. Ia menoleh pelan dan menemukan Adrian menatapnya dengan sorot mata tajam, separuh mengantuk.
"Aku..." Kirana menelan ludah. "Aku harus pergi."
Adrian menatapnya beberapa detik sebelum mengangguk pelan. "Baiklah."
Tanpa menunggu lebih lama, Kirana segera melangkah keluar, menutup pintu di belakangnya dengan perasaan yang campur aduk.
Ia tidak tahu apakah akan bertemu pria itu lagi atau tidak. Tapi satu hal yang pasti, malam itu akan menjadi kenangan yang sulit ia lupakan.
Kirana berjalan cepat di koridor hotel, jantungnya masih berdetak kencang. Ia menggigit bibirnya, merasa panik sekaligus menyesali keputusannya tadi malam.
Apa yang kupikirkan? Bagaimana bisa aku melakukan ini?
Begitu mencapai lobi, ia langsung merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dan menarik napas dalam. Ia berharap tidak ada yang memperhatikannya saat ia melangkah keluar dari hotel menuju trotoar yang masih basah sisa hujan semalam.
Pagi kota Jakarta sudah ramai, tetapi Kirana merasa seolah berada dalam dunianya sendiri, penuh kekacauan. Ia merogoh tasnya, mencari ponsel, lalu memeriksa pesan-pesan yang belum terbaca.
Satu dari ibunya, menanyakan apakah ia baik-baik saja.
Satu dari sahabatnya, Lita, yang bertanya apakah Kirana ingin curhat setelah kejadian kemarin.
Dan satu lagi... dari Malvin.
Kirana mendadak merasa mual. Ia tidak ingin melihat isinya. Ia sudah cukup terluka, dan sekarang, ia tidak ingin memberikan ruang bagi lelaki itu lagi.
Ia segera menghentikan taksi dan masuk ke dalamnya, memberikan alamat apartemennya kepada sopir dengan suara lelah.
Saat mobil mulai melaju, Kirana menyandarkan kepalanya ke jendela. Pikirannya melayang ke malam tadi, senyuman samar Adrian, tatapan tajamnya, dan bagaimana ia membuatnya melupakan rasa sakitnya, walau hanya sementara.
Ia menggelengkan kepala.
"Sudah cukup," gumamnya pada dirinya sendiri.
Malam itu hanya sebuah pelarian. Tidak lebih.
---
Begitu sampai di apartemennya, Kirana langsung mandi, berharap air hangat bisa menghapus kebingungan yang masih menggelayutinya. Ia menatap bayangannya di cermin, mata sembab karena kurang tidur dan mungkin sisa tangisan semalam.
Ia menarik napas panjang.
Mulai hari ini, aku harus benar-benar move on.
Ia keluar dari kamar mandi dan mengenakan pakaian kasual, lalu mengambil laptopnya. Ini adalah hari pertama di tempat kerja barunya, sebuah perusahaan konsultan bisnis ternama. Ia sudah terlalu lama terjebak dalam drama masa lalu, sekarang saatnya fokus pada karier.
Ia tersenyum kecil, mencoba membangun kepercayaan diri.
"Aku bisa melupakan semua ini," bisiknya.
Kirana meraih tasnya dan melangkah keluar. Ia tak tahu bahwa dunia kecil ini akan mempermainkannya lagi.
Ia tak tahu bahwa pria yang ingin ia lupakan... akan kembali hadir di hadapannya dengan cara yang tak terduga.
Setelah perjalanan yang cukup lama, Kirana akhirnya tiba di gedung megah tempatnya akan bekerja. Ia berdiri sejenak di depan lobi, menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
"Ini awal baru," bisiknya.
Dengan langkah mantap, ia memasuki gedung dan berjalan menuju resepsionis. Setelah memperkenalkan diri sebagai karyawan baru, seorang staf HRD datang menghampirinya dan mengantar ke ruang meeting untuk perkenalan awal dengan tim.
Kirana tersenyum ramah saat bertemu beberapa rekan kerja barunya. Mereka tampak profesional dan menyambutnya dengan baik. Sedikit demi sedikit, kecemasannya berkurang.
"Sebentar lagi, direktur kita akan datang," ujar seorang senior dengan nada hormat.
Kirana mengangguk. Ia sudah membaca sekilas tentang bos barunya, seorang pemimpin muda yang cerdas dan berpengaruh di dunia bisnis. Namun, ia tidak terlalu memperhatikan detailnya karena fokusnya adalah bekerja, bukan siapa pemimpinnya.
Pintu ruang rapat terbuka.
Semua mata langsung tertuju pada pria yang melangkah masuk dengan aura dominannya.
Kirana, yang tadinya sibuk mencatat sesuatu di bukunya, perlahan mengangkat wajahnya.
Dan saat itu juga, dunianya seakan berhenti berputar.
Sosok itu. Tatapan itu.
Adrian.
Pria yang semalam bersamanya, yang seharusnya ia lupakan... kini berdiri di hadapannya sebagai bos barunya.
Kirana membeku. Napasnya tercekat.
Di sisi lain, Adrian hanya menatapnya sekilas tanpa ekspresi, tanpa reaksi berlebihan.
Seolah-olah malam itu tidak pernah terjadi.
Namun, ada sesuatu di matanya... sesuatu yang membuat Kirana yakin, ia tidak akan bisa lari dari kenyataan ini.