Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Gadis malam tuan Lee
Gadis malam tuan Lee

Gadis malam tuan Lee

5.0
5 Bab
51 Penayangan
Baca Sekarang

Tentang

Konten

"Ketika pesona menjadi senjata, dan rahasia menjadi kutukan." Jo Anna bukan sembarang gadis malam. Di balik gemerlap lampu klub Cleo, ia berdiri anggun sebagai primadona yang tak tersentuh, menyimpan pesona sekaligus luka. Tak seorang pun tahu siapa dia sebenarnya-hingga serangkaian peristiwa membawanya menelusuri jejak masa lalu yang penuh rahasia. Dibayang-bayangi teka-teki tentang jati dirinya, Di tengah kekacauan batin dan permainan kekuasaan, muncul sosok Ling Sing Chuan-laki-laki dingin, penuh intrik, dan misterius. Kedatangannya mengusik stabilitas Jo Anna, membuka pintu pada masa lalu yang selama ini terkunci rapat. Jo Anna memulai pencarian yang membawanya pada nama besar Go Ma Sung-seorang penguasa bisnis yang ternyata punya ikatan tak terduga dengannya. Namun ketika cinta, ambisi, dan dendam bertabrakan, akankah Jo Anna mampu menjaga harga dirinya? Atau justru ia akan tenggelam dalam permainan yang jauh lebih berbahaya dari sekadar dunia malam?

Bab 1 Laki-laki dibalik siluet

Langit di atas Marseille malam itu berwarna kelabu, seperti lukisan tua yang kehilangan kilau warnanya. Awan tebal menggantung rendah, menyembunyikan cahaya bulan di balik tirai gelap yang terus bergerak perlahan. Embun tipis mulai turun, menggantung di udara seperti rahasia yang enggan dijatuhkan, lalu merambat perlahan di pelataran atap sebuah hotel tua. Bangunannya megah namun diam, tersusun dari batu kapur putih yang kini tampak kusam-saksi bisu dari sejarah panjang kota pelabuhan yang selalu menyimpan cerita di balik bayangannya.

Udara malam menyusup lewat celah dinding, dingin dan menggigit, menari-nari di antara tiang dan lengkungan jendela seperti desahan napas dari sesuatu yang belum selesai. Udara itu tidak hanya membekukan kulit, tapi membawa kesan seolah malam itu sendiri sedang menyampaikan peringatan-bahwa sesuatu akan berubah. Bahwa malam itu bukan malam biasa.

Di sana, di tengah pelataran yang lembap dan sepi, berdiri sosok seorang laki-laki. Punggungnya membelakangi cahaya kuning pucat dari lentera gantung yang bergoyang pelan tertiup angin. Bayangannya terpantul panjang di lantai batu, menyatu dengan gelap malam yang mengitarinya.

Tinggi, tegap, seolah dipahat dari granit yang tak bisa retak. Ia berdiri seperti cemara muda yang tumbuh sendirian di lereng terjal-menantang angin, menantang waktu. Kulitnya seputih pualam, bersih dan tak bercela, seperti karya seni dari tangan dewa yang tak dikenal. Pundaknya lebar, dadanya bidang, dan lekuk tubuhnya memperlihatkan latihan fisik yang keras dan konsisten. Bukan sekadar tampilan, tapi kekuatan yang tertahan. Jari-jarinya panjang dan ramping, luwes seperti tangan seorang pianis klasik yang mengenal betul tuts demi tuts emosi manusia. Tapi satu sentuhan dari tangan itu bisa mengubah nada menjadi kehancuran.

Namun malam itu, bukan tubuhnya yang menyita seluruh atmosfir. Tapi wajahnya.

Sempurna. Mungkin terlalu sempurna untuk bisa dimiliki dunia nyata. Garis rahangnya tajam dan kokoh, seperti pahatan patung dewa Yunani yang penuh kemegahan. Hidungnya tinggi, tegas, dan sejajar dengan struktur wajah yang tak bisa dibantah keindahannya. Tapi matanya... matanya lebih dalam dari teluk gelap di bawah pelabuhan Marseille. Mata itu tidak hanya melihat, tapi menilai, mengukur, dan menyimpan. Ada ribuan rahasia di balik kilatan mata itu, dan semuanya dikunci rapi, jauh dari jangkauan siapa pun. Alisnya gelap dan rapi, membingkai tatapan dingin yang memancarkan wibawa. Bibirnya tertutup rapat-bukan karena takut berbicara, melainkan karena dia tahu, setiap kata yang keluar darinya bisa menjatuhkan atau membangkitkan dunia.

Di hadapannya, berdiri seorang perempuan. Tidak muda, namun tak bisa disangkal pesonanya yang angkuh. Tubuhnya ramping, elegan, dan berdiri dengan posisi tegap yang menunjukkan dia bukan perempuan biasa. Di belakangnya, terpampang lambang perusahaan yang mewakili kekuasaan absolut: MA Group. Perusahaan itu bukan sekadar korporasi; ia adalah entitas, sebuah kerajaan yang dibangun dengan darah, kecerdasan, dan rahasia yang dikubur dalam-dalam.

Tatapan perempuan itu menusuk seperti belati. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan, tapi suaranya-lembut, namun tajam seperti belati yang baru diasah-menyeruak dalam dinginnya udara.

"Dia sudah dekat," ucapnya pelan. Tapi setiap kata seperti palu yang menghantam tembok sunyi.

Laki-laki itu menoleh perlahan, nyaris anggun. Tatapannya tidak sekadar tajam, tapi dingin dan penuh kalkulasi. Namun dia tahu, perempuan di hadapannya bukan orang yang bisa diterobos hanya dengan pandangan. Wajahnya tetap kosong-bukan karena tanpa ekspresi, tapi karena ia memilih untuk tidak memberikan isyarat apa pun. Seperti catur, perempuan itu adalah bidak yang menyembunyikan seluruh strateginya di balik gerakan yang tampak acak.

"Aku ingin memastikan," katanya dengan suara dalam dan berat, namun nyaris seperti gumaman. "Gadis itu... tidak tahu apa pun tentang permainan ini."

Nada bicaranya mengandung kekuasaan, kendali, dan kemantapan. Seorang lelaki yang lahir bukan untuk berjalan di antara manusia biasa, tapi untuk berdiri di atas mereka.

"Tentu saja tidak," jawab perempuan itu sambil mulai berjalan perlahan mengelilinginya. "Dan itu kelebihanmu. Kau bebas mendekatinya. Tapi kau tahu aturannya-lakukan dengan cara yang paling halus... paling licik."

Dia berhenti sejenak di sisi laki-laki itu, lalu memiringkan kepalanya. "Seperti racun di dalam anggur. Tak terdeteksi... tapi mematikan."

Laki-laki itu diam. Matanya menyipit, memandangi sosok di hadapannya yang kini nyaris tak menyentuh tanah. Diamnya bukan tanda ragu, tapi karena ia sedang menganalisis-menimbang-seperti seorang algojo yang memilih detik paling sempurna untuk mengayunkan pedang.

"Menggagalkan pernikahanmu dengan saudara tirimu adalah pilihan..." lanjut perempuan itu. "Dan kau tahu, setiap permainan butuh pion untuk menggeser raja."

"Dan dia... pionnya?" tanya laki-laki itu lirih.

"Bukan pion," sang perempuan menyeringai. "Dia bisa menjadi kunci atau kehancuranmu. Kau tidak hanya ditugaskan untuk mendekatinya. Kau harus masuk ke dalam hidupnya, mengukir ruang di benaknya, menjadi denyut dalam nadinya. Kau harus membuatnya jatuh... hingga tak bisa bangun."

Laki-laki itu menunduk sedikit, membiarkan angin membawa rambut hitamnya berterbangan. Tapi tubuhnya tetap tegak, kokoh. "Dan jika aku yang jatuh lebih dulu?"

Perempuan itu terdiam sejenak. Lalu tersenyum samar. "Maka permainan ini akan lebih menarik dari yang pernah kami perkirakan."

Laki-laki itu memutar lehernya perlahan, menatap langit kelabu di atas mereka. Kabut mulai menebal, dan suara lonceng dari pelabuhan terdengar dari kejauhan.

"Apa jaminannya?" tanyanya akhirnya.

Perempuan itu tertawa pelan. Tawa yang tidak lucu-tapi menyeramkan. "Jaminan?" bisiknya. "Kau tidak butuh jaminan. Karena bahkan kau sendiri adalah bagian dari permainan ini. Bidak sekaligus raja. Tawanan sekaligus penjaga."

Hening menyusup di antara mereka. Hening yang tebal, berat, dan dipenuhi makna. Angin membawa bau asin dari laut, seakan menjadi bagian dari percakapan rahasia itu.

"Siapa dia?" tanya laki-laki itu akhirnya. "Gadis itu."

Perempuan itu tidak langsung menjawab. Dia melangkah pergi, membiarkan keheningan menjawab sebagian dari pertanyaan itu. Lalu, seperti ditarik oleh kekuatan tak kasat mata, ia berhenti.

"Namanya..." katanya pelan. "Tapi itu bukan nama aslinya."

Laki-laki itu mengerutkan alis, matanya menyempit.

"Dia sendiri belum tahu siapa dirinya," lanjut sang perempuan. "Dan itulah tugasmu. Temukan. Bongkar. Nilai. Tapi ingat-jangan terlalu dalam jatuh cinta."

Laki-laki itu menahan napas. Sesuatu dalam dirinya bergetar, meski ia menyangkalnya.

"Karena pesona perempuan itu... bisa mengubah segalanya," ucap perempuan itu pelan, lalu menoleh sedikit. "Dia adalah legenda yang sedang ditulis ulang. Dan hanya kau... yang bisa menuliskan akhirnya."

Ia berbalik, namun wajahnya tetap dalam bayang-bayang.

"Dan kau satu-satunya yang bisa menyakiti dan menyelamatkannya dalam waktu bersamaan."

"Terlalu picik," bisik laki-laki itu.

"Tapi dari permainan picik-lah, kerajaan dibangun," jawab perempuan itu tenang, lalu melangkah mundur dan menghilang ke balik lengkungan.

Dan tepat saat langkahnya menghilang, suara lain terdengar.

Bukan langkah wanita. Tapi langkah berat, pelan, namun tegas. Seperti suara drum perang dari zaman kuno.

Laki-laki itu menoleh.

Di ambang pintu, berdiri seorang pria paruh baya. Sosoknya tinggi dan gelap, mengenakan mantel panjang yang menyapu lantai. Wajahnya tidak terlihat. Tapi auranya... memenuhi seluruh ruang.

Suaranya tenang. Tapi begitu dia berbicara, waktu seolah berhenti sejenak.

"Aku menunggu keberhasilanmu," katanya. "Hanya kau yang bisa menaklukkannya. Dan hanya kau... yang layak menjadi penerus MA Group."

Dan begitu saja, pria itu lenyap ke dalam bayang-bayang, meninggalkan laki-laki muda itu sendirian di atap tua Marseille, dengan satu tugas yang tak hanya bisa mengubah hidupnya-tapi juga sejarah keluarga mereka.

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY