Ia mengusap wajahnya, memastikan itu bukan bagian dari mimpi buruk. Namun suara itu kembali terdengar, lebih jelas-mendayu dalam hujan. Dengan langkah tergesa, wanita paruh baya itu menyambar jaket dan payung sebelum membuka pintu utama panti.
Di balik gerbang besi yang tertutup setengah, sesosok kecil tampak terbungkus kain flanel usang. Sebuah keranjang anyaman, basah kuyup, tergeletak di sana. Jantung Ibu Marisa seperti berhenti berdetak sesaat. Dengan tangan gemetar, ia membuka selimut itu.
Seorang bayi perempuan. Pucat. Tubuhnya menggigil. Tapi matanya-mata bening seperti kaca-menatap langit malam dengan tenang, seolah tak menangisi dirinya sendiri, tapi seluruh dunia.
Ada selembar kertas terselip di sudut keranjang, huruf-hurufnya tergesa: Maafkan aku. Aku tidak bisa merawatnya. Tolong... jangan biarkan dia sendiri.
Ibu Marisa terdiam sejenak, merasakan campuran antara kasihan, marah, dan iba. Lalu tanpa berkata apa-apa, ia mengangkat bayi itu ke pelukannya, mendekap erat dalam dekap hangat tubuhnya. Hujan masih mengguyur dunia, tapi di dada wanita tua itu, bayi kecil itu menemukan ketenangan.
Namanya adalah Nayra-nama yang dipilih Ibu Marisa karena artinya: cahaya di tengah kegelapan. Ia tumbuh di antara dua belas anak panti lainnya, menjadi yang paling sunyi tapi paling lembut. Sejak kecil, Nayra tahu dirinya berbeda. Ia tidak punya kenangan tentang ibu atau ayah. Tidak ada nama keluarga, tidak ada hari ulang tahun yang pasti. Yang ia tahu hanyalah, dirinya ditemukan di malam hujan, di depan gerbang yang dingin.
Namun Nayra bukan anak yang suka mengeluh. Ia belajar menyimpan luka dalam diam. Ia tidak cerewet seperti Sari, tidak nakal seperti Vano, dan tidak cengeng seperti Dito. Ia hanya... ada. Diam, tenang, dan selalu membantu saat dibutuhkan.
"Anak itu seperti air," kata Ibu Marisa suatu hari pada salah satu pengurus. "Tenang, jernih, tapi jika terlalu lama disakiti, bisa membanjiri apa pun yang ada di depannya."
Tapi dunia luar tak sebaik hati panti kecil itu.
Di sekolah, Nayra sering jadi bahan ejekan. Anak-anak lain memanggilnya dengan nama-nama kasar: "anak buangan," "bayi pembuangan," atau yang lebih kejam-"anak tak diinginkan."
Ia mencoba tak mendengarkan. Ia mencoba tetap kuat. Tapi kata-kata itu seperti duri, menancap pelan dan perlahan-lahan merobek kepercayaan dirinya. Tak jarang, ia menangis diam-diam di sudut kamar, saat semua anak panti sudah tertidur. Ia bertanya dalam hati, mengapa ibunya membuangnya? Apakah ia benar-benar tidak diinginkan oleh siapa pun?
Tapi ia tak pernah menanyakan itu kepada Ibu Marisa. Ia terlalu takut akan jawaban yang mungkin menyakitkan.
Suatu sore, ketika Nayra berusia lima belas tahun, badai datang bukan dari langit, tapi dari dalam panti sendiri.
Seorang anak baru bernama Jelita tiba. Cantik, kaya, dan menyimpan dendam terhadap Nayra entah kenapa. Mungkin karena Nayra terlalu disukai oleh para pengurus. Mungkin karena diamnya membuat orang penasaran.
Dan seperti api kecil yang disiram bensin, gosip pun menyebar.
"Nayra mencuri uang kas panti," bisik salah satu anak.
"Aku lihat dia masuk ke ruang Ibu Marisa malam-malam," ujar yang lain.
Tidak ada yang melihat Nayra melakukannya. Tidak ada bukti. Tapi tuduhan itu terus bergulir seperti bola salju. Bahkan Jelita dengan air mata buaya mengaku kehilangan kalung warisan ibunya, dan menuduh Nayra yang mengambilnya.
"Cukup!" bentak Ibu Marisa suatu malam. Semua anak dikumpulkan di aula.
Matanya menatap Nayra tajam, meskipun ia terlihat ragu. "Nayra, kau tahu, kami mempercayaimu selama ini. Tapi terlalu banyak yang terjadi. Kalung milik Jelita... uang yang hilang... jika benar kau tidak melakukannya, katakan sekarang."
Nayra berdiri, tubuhnya gemetar. Matanya basah.
"Aku... tidak mencuri, Bu," bisiknya lirih.
"Tapi kau tidak punya saksi. Tidak ada bukti mendukungmu."
"Tidak ada yang peduli mendengarkanku sejak awal..."
Kalimat itu seperti bisikan dari jurang dalam. Seisi ruangan terdiam. Tapi sunyi tak cukup kuat menahan fitnah yang telah terlanjur tumbuh. Dan keputusan pun dijatuhkan.
Ibu Marisa memandang Nayra, penuh luka yang tidak bisa ia tutupi.
"Untuk sementara, kau harus keluar dari panti. Sampai semua jelas..."
Suara itu memukul Nayra lebih keras dari semua ejekan yang pernah ia terima. Ia mematung. Napasnya tercekat.
"Ke mana aku harus pergi?" tanyanya pelan.
Tak ada yang menjawab.
Dan malam itu, dengan tas kecil berisi pakaian seadanya dan selembar selimut tua, Nayra melangkah keluar dari gerbang yang dulu menjadi tempat ia ditemukan.
Sendirian. Lagi.
Jakarta tak pernah benar-benar tidur. Tapi bagi Nayra, malam terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Ia duduk di bangku taman yang basah, menyandarkan kepala ke ranselnya. Perutnya lapar, tubuhnya dingin. Tapi pikirannya lebih kacau dari segalanya.
Ia ingin marah. Ingin menangis. Tapi air matanya sudah habis.
Namun jauh di dasar hatinya, ada suara kecil yang tak mau mati. Suara yang berbisik: Jangan menyerah, Nayra. Jangan biarkan mereka menentukan siapa kamu.
Hari-hari berikutnya bukanlah hal yang mudah. Ia bekerja apa saja-membersihkan meja warung, mengangkat barang di pasar, bahkan memungut botol plastik untuk dijual kembali. Setiap sen yang ia kumpulkan adalah hasil dari keringat dan luka.
Orang-orang melihatnya sebagai gadis biasa. Mereka tak tahu bahwa ia pernah memiliki tempat untuk pulang. Mereka tak tahu bahwa ia bukan hanya sedang bertahan, tapi juga sedang membuktikan sesuatu: bahwa ia pantas hidup, pantas dihormati, meski dilahirkan tanpa nama, tanpa asal.
Dan saat ia menatap matahari terbit dari bawah jembatan tempatnya bernaung, ia berjanji dalam hati-suatu hari, dunia akan tahu siapa Nayra sebenarnya.
Bukan sebagai "anak buangan." Tapi sebagai seseorang yang membangun hidupnya sendiri, dari debu hingga jadi bintang.