Zaira mengedarkan pandangannya dengan cepat, jantungnya mulai berdegup kencang. Apa yang terjadi padanya?
Sosok yang kini ia lihat di cermin kecil di dinding membuatnya terkejut - bukan wajah dingin dan tajam penuh luka yang selama ini ia kenal, melainkan wajah seorang gadis muda dengan kacamata besar, rambut hitam panjang yang kusut, dan mata yang tampak takut serta bingung.
"Ini... siapa aku?" pikir Zaira dengan suara hati yang bergemuruh.
Ia mencoba mengingat, tapi yang terlintas hanyalah ledakan, darah, dan suara-suara berbisik penuh ancaman. Namun, ada satu hal yang jelas - tubuhnya bukan miliknya lagi. Ia telah terperangkap dalam tubuh gadis lain, seorang gadis yang sangat berbeda dari dirinya.
Callista Renée. Nama yang asing bagi Zaira, namun menjadi identitas barunya. Gadis yang selama ini hidup dalam bayang-bayang dan tanpa keberanian. Lemah dan sering dijadikan bahan ejekan teman-teman sekelasnya.
Zaira tahu dia harus segera mengerti keadaan ini - tapi bagaimana? Dunia baru ini asing dan terasa seperti jebakan.
"Ini bukan mimpi," gumam Zaira. "Aku benar-benar hidup di dalam tubuh gadis ini."
Panik mulai merayapi pikirannya. Bagaimana bisa seorang mafia tangguh, penguasa gelap yang kejam, terdampar dalam tubuh seorang remaja lemah yang bahkan tak bisa melawan bully di sekolah?
Pukul delapan pagi. Suara dering alarm memecah keheningan kamar yang kecil dan pengap itu. Zaira perlahan bangkit, merasakan tubuhnya yang lebih kecil dan rapuh dibanding biasanya. Ia mencoba menggerakkan jarinya, merasakan sesuatu yang asing: rasa takut, cemas, dan lemah.
"Callista harus bangun," ucap Zaira pelan, mencoba menguasai ketakutannya.
Namun, langkahnya ke depan terasa berat. Setiap gerakan seolah mengingatkannya bahwa dirinya kini terkurung dalam dunia yang jauh berbeda. Dunia yang penuh dengan aturan yang tak pernah ia pelajari, di mana dia bukan siapa-siapa.
Di sekolah, hidup Callista memang penuh tekanan. Sejak pagi, tatapan sinis teman-temannya sudah menyambutnya. "Cupuuu!" teriak salah satu gadis dari sudut kelas, membuat tawa kecil pecah di antara mereka.
Zaira merasakan amarahnya memuncak, sensasi dingin yang dulu selalu hadir saat berhadapan dengan musuh. Tapi tubuh ini tak mampu untuk bertindak seperti dulu.
"Diam!" suara itu menggema dalam kepalanya, tapi ia hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajah di balik rambut.
Hari-hari yang selama ini dipenuhi hinaan dan rasa takut kini harus ia jalani, sementara di dalam hati yang lain, ada api kemarahan yang membara.
Sore hari di ruang kelas, saat pelajaran selesai, Zaira yang kini mengendalikan tubuh Callista merasakan sesuatu yang aneh. Seorang pria muda berjalan masuk - bukan murid biasa. Dia tampak tenang, tapi aura yang dipancarkannya membuat bulu kuduk berdiri.
Kael Evandros. Nama itu terdengar familiar di benaknya, walau ia tak tahu dari mana.
Kael adalah siswa populer yang tampak sempurna: tampan, kaya, dan memiliki karisma yang tak terbantahkan. Namun, Zaira merasakan sesuatu yang lebih gelap dari tatapan matanya. Sesuatu yang membuat darahnya mendidih, namun juga menarik.
Kael mendekati meja Callista, matanya menatap lurus ke arahnya.
"Callista, kau ikut aku," katanya dengan suara rendah dan penuh arti.
"Kenapa aku harus ikut kamu?" suara Callista terdengar lemah, tapi ada nada tantangan yang baru terasa.
Kael tersenyum tipis, penuh misteri. "Kau akan mengerti nanti. Jangan lari."
Zaira tahu itu bukan ancaman kosong. Ada sesuatu yang berbahaya tapi juga penting menanti di balik pertemuan ini.
Dengan ragu, ia mengikuti Kael keluar dari kelas, menuju parkiran sekolah di mana sebuah mobil hitam mengilap menunggu.
Di dalam mobil, suasana hening menyelimuti. Kael akhirnya membuka suara.
"Kau bukan gadis biasa, Callista. Aku tahu siapa kau sebenarnya... dan apa yang kau sembunyikan."
Zaira menahan napas, jantungnya berdegup cepat. "Apa maksudmu?"
Kael menatapnya dalam-dalam. "Tubuh ini... bukan tubuhmu. Aku tahu kau lebih dari sekadar gadis lemah yang semua orang kira."
Zaira terdiam, bagaimana Kael bisa tahu?
"Jika kau ingin bertahan hidup di dunia ini, kau harus belajar bertarung, bukan hanya dengan tangan, tapi juga dengan pikiran dan hati. Karena musuhmu jauh lebih berbahaya dari yang kau bayangkan."
Perjalanan baru itu dimulai. Dunia yang dulu Zaira tinggalkan sebagai ratu mafia kini harus ia taklukkan kembali dalam wujud yang jauh berbeda, penuh ketidakpastian dan bahaya.
Callista yang dulu lemah kini harus belajar mengendalikan dirinya, menghadapi musuh yang tak kasat mata, dan menerima kenyataan pahit: bahwa ia kini menjadi target dalam permainan yang jauh lebih besar dari sekadar sekolah dan ejekan.
Dan satu hal yang pasti - Zaira tidak akan pernah membiarkan takdir menaklukannya begitu saja.
Ketika mobil itu berhenti di sebuah gedung megah yang sama sekali asing, Kael menoleh dan berkata dengan suara dingin, "Ini baru permulaan, Callista. Kau harus siap kehilangan segalanya... bahkan dirimu sendiri."