Unduh Aplikasi panas
Beranda / Romantis / Kau Tak Pernah Mencintaiku
Kau Tak Pernah Mencintaiku

Kau Tak Pernah Mencintaiku

5.0

Aurora, gadis berusia dua puluh tahun, adalah perempuan berparas lembut dengan tatapan mata sejernih embun pagi. Ia menikah muda dengan Leandro Mahesa, pria kaya berusia tiga puluh tahun, pemilik ratusan hektar kebun kelapa sawit di Sumatera. Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena kesepakatan keluarga. Dari luar, hidup Aurora tampak sempurna. Semua kebutuhannya dicukupi-rumah mewah, perhiasan mahal, pelayan pribadi. Tapi di balik dinding megah rumah itu, Aurora hidup dalam kesepian dan keterasingan. Tugasnya hanya satu: melahirkan anak dan merawat mereka. Cintanya diabaikan, pendapatnya tak pernah didengar. Mertuanya, Ny. Diah, adalah sosok dominan yang selalu ikut campur bahkan dalam hal paling pribadi sekalipun. Adik iparnya, Nadira, gadis ambisius dan sinis, sering mempermalukannya di depan pelayan. Yang paling menyakitkan, Leandro tak pernah membelanya. Setiap ada masalah, Aurora selalu menjadi sasaran. Leandro lebih percaya pada ibunya, pada Nadira, pada siapa pun-selain Aurora. Namun badai sebenarnya datang saat seseorang dari masa lalu Aurora tiba-tiba tinggal di rumah itu. Ravela, kakak kandung Aurora. Wanita yang dulu menghilang tanpa kabar, kini kembali-bukan sebagai tamu, tapi sebagai "penumpang gelap" di rumah tangga adiknya. Ravela mendekati Leandro diam-diam. Dengan kecerdasannya yang memikat dan pembawaannya yang memesona, Ravela perlahan merebut perhatian pria itu. Aurora merasakan kehancuran yang perlahan namun pasti menggerogoti jiwanya. Dan di suatu malam ketika Aurora melihat bayangan Ravela keluar dari kamar Leandro, hatinya remuk. Ia tak lagi bisa membedakan mana luka, mana pengkhianatan.

Konten

Bab 1 rahasia yang hanya bisa didengar

Aurora duduk di sudut ruang tamu yang luas. Mata beningnya menatap kosong ke luar jendela besar yang menghadap ke hamparan kebun kelapa sawit milik keluarganya. Sinar matahari sore menembus tirai tipis, menciptakan bayangan samar yang bergetar di dinding. Di luar sana, angin berbisik pelan di antara daun-daun pohon, seolah menyimpan rahasia yang hanya bisa didengar oleh mereka yang benar-benar mendengarkan.

Namun, di balik wajah teduh dan senyum yang jarang muncul itu, ada gelombang perasaan yang tak pernah berhenti bergolak dalam dada Aurora. Kesepian. Kepedihan. Dan harapan yang semakin hari semakin memudar.

Aurora baru berusia dua puluh tahun, tapi hari-harinya terasa seolah berlalu dalam siklus tanpa ujung-melahirkan, merawat anak, mengurus rumah, dan selalu berusaha menyenangkan suaminya, Leandro Mahesa. Leandro, pria tiga puluh tahun yang terlihat sempurna di mata dunia. Pemilik ratusan hektar kebun kelapa sawit yang menghasilkan kekayaan berlimpah, yang membuatnya menjadi salah satu pengusaha muda paling diperhitungkan di daerah itu.

Namun, di balik tumpukan uang dan kemewahan itu, ada jurang yang memisahkan mereka. Jurang yang semakin lebar setiap hari.

"Leandro benar-benar sudah berubah, ya," pikir Aurora ketika mendengar suara gaduh di ruang makan. Suaranya rendah dan nyaris berbisik, seolah takut dinding rumah yang megah itu bisa mendengar.

Suaminya yang dulu pernah memberinya sedikit perhatian kini berubah menjadi sosok dingin yang lebih sering menghindar daripada mendekat. Mertua dan iparnya pun semakin sering menekan dan menghakimi setiap langkahnya. Ny. Diah, ibu Leandro, adalah wanita yang sangat menguasai segalanya. Ia tak pernah menyukai Aurora sejak awal, menganggapnya terlalu lemah dan tidak pantas menjadi menantu.

"Kamu sudah masak belum, Aurora? Anak-anak harus makan tepat waktu. Jangan sampai mereka kelaparan," suara Ny. Diah tajam, memecah hening rumah. "Kalau kamu sibuk sendiri, bagaimana bisa jadi ibu yang baik?"

Aurora menunduk, menghindari tatapan tajam itu. Suara-suara itu selalu membuatnya merasa kecil dan tidak berharga. Namun ia tidak bisa berkata apa-apa, bukan hanya karena takut tapi juga karena Leandro, suaminya, seolah membiarkan semua itu terjadi.

"Sudahlah, Bu, jangan terlalu keras sama Aurora," suara Leandro terdengar lelah dan dingin sekaligus. Namun nada itu tidak membawa kehangatan, hanya sekadar kewajiban yang harus dilontarkan.

Aurora menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. Di dalam hati, ia bertanya-tanya, kapan kebahagiaan itu akan menyentuhnya.

Malam itu, ketika semua orang sudah beristirahat, Aurora masih terjaga di kamar tidur mereka. Ia memandangi suaminya yang terlelap, wajahnya yang tampan tapi tanpa kehangatan. Ada jarak yang begitu dalam, seakan Leandro hidup di dunia yang berbeda darinya.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka perlahan. Sosok wanita itu masuk dengan langkah ringan dan senyum penuh rahasia di bibirnya. Ravela, kakak kandung Aurora, yang sudah lama hilang dan tak pernah memberi kabar.

"Aurora..." suara Ravela pelan tapi tajam, penuh makna.

Aurora terpaku, jantungnya berdebar keras. "Ravela? Kamu... apa yang kamu lakukan di sini?"

Ravela melangkah mendekat, menatap Aurora dengan mata yang penuh rencana. "Aku pulang. Dan aku akan mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."

Kata-kata itu menggantung berat di udara. Aurora tahu, kehadiran Ravela bukan hanya soal keluarga, tapi ancaman besar yang bisa menghancurkan rumah tangganya.

Hari-hari berlalu, dan suasana rumah semakin mencekam. Ravela perlahan tapi pasti merusak kedamaian yang tersisa. Ia pandai membaca kelemahan Leandro dan menggunakan itu untuk memikat hati pria itu.

Aurora merasakan kehancuran di hatinya. Ia tak hanya kehilangan cinta suami, tapi juga harus berhadapan dengan pengkhianatan dari orang yang paling dipercaya.

Leandro, yang dulu pernah bersandar padanya, kini lebih sering menghindar dan mengabaikan. Kata-katanya berubah menjadi dingin dan penuh tuduhan, seolah Aurora yang bersalah atas semua masalah.

"Mengapa kamu selalu membuat masalah? Aku sudah capek dengan semua ini," kata Leandro suatu malam, suara serak penuh amarah. "Kamu tidak bisa seperti Ravela, yang tahu bagaimana membuatku bahagia."

Aurora menahan tangis, tapi hatinya remuk. Ia merasa seperti terperangkap dalam penjara tanpa pintu keluar.

Namun, di balik kesedihan itu, ada satu hal yang membuat Aurora bertahan-anak-anaknya. Mereka adalah cahaya kecil yang selalu memberinya kekuatan untuk bangkit setiap pagi, meski dunia terasa begitu kelam.

Suatu sore, ketika ia menggendong putri kecilnya di kebun belakang rumah, Aurora merenung. Ia tahu, jika terus seperti ini, ia akan hancur.

"Tuhan, berikan aku kekuatan," bisiknya pelan, air matanya mengalir tanpa suara.

Ia sadar, perjuangannya belum selesai. Ia harus menemukan cara untuk melawan, untuk mempertahankan rumah tangganya dan harga dirinya.

Aurora berdiri di depan jendela, memandang ke kebun sawit yang membentang luas, simbol kemewahan sekaligus penjara yang mengurungnya. Di luar sana, angin berhembus pelan, seolah berbisik janji akan perubahan.

Namun, apakah perubahan itu akan datang untuknya, atau justru kehancuran yang menanti?

Lanjutkan Membaca
img Lihat Lebih Banyak Komentar di Aplikasi
Unduh aplikasi
icon APP STORE
icon GOOGLE PLAY