Zaira menghela napas dalam-dalam. Bukan kali pertama dia dipanggil seperti itu dengan nada yang membuatnya merasa seperti beban. Tapi kali ini, dia tidak menjawab. Perlahan, ia mengalihkan pandangannya ke jendela, melihat hujan yang mulai turun tipis di luar.
Dia tahu, menolak mematuhi perintah ibunya adalah hal berbahaya. Tapi hatinya sudah terlalu lelah untuk terus menangis dalam diam.
Kakaknya, Ayla, sudah berada di dapur sejak tadi, terlihat ceria dan tanpa beban. Sementara Zaira? Dia hanyalah bayang-bayang yang tak pernah dianggap ada.
Sejak kecil, Zaira sudah terbiasa dengan perbedaan perlakuan ini. Ketika Ayla mendapat pelukan hangat dan pujian dari kedua orang tuanya, Zaira hanya menerima bisikan dingin dan tatapan penuh kecewa. Kadang, ia bertanya-tanya apa kesalahannya sampai harus hidup seperti ini.
"Zaira, jangan buat aku marah!" suara ibu memecah lamunannya.
Dengan langkah berat, Zaira melangkah ke dapur. Aroma masakan yang harum tidak mampu mengubah suasana hatinya. Ayla tersenyum padanya, tapi senyum itu terasa jauh dan tak tulus, seolah ia tahu sesuatu yang tidak boleh Zaira ketahui.
"Bantuin aku angkat piring, ya?" pinta Ayla.
Zaira mengangguk pelan. Tangan-tangannya bergerak tanpa semangat, membayangkan jika saja dia bisa hilang dari rumah itu. Tapi ia tak punya keberanian untuk pergi, apalagi menghadapi dunia luar yang tak ramah.
Di ruang tamu, sang ayah duduk dengan wajah serius, sibuk menatap layar ponselnya. Ia jarang berkata banyak, tapi kehadirannya seperti menambah tekanan di udara. Ibunya? Ia lebih sering menatap Zaira dengan tatapan dingin penuh penyesalan, seolah melihat sebuah kegagalan yang hidup.
Zaira tahu, bukan tanpa alasan nama "Kliwon" dan "Zaira" diberikan oleh kakeknya dengan penuh harapan. Tapi, sayangnya, harapan itu terasa tenggelam oleh dinginnya keluarga inti yang seharusnya menjadi pelindungnya.
Setelah makan malam yang sunyi, Zaira berlari keluar rumah menuju taman kecil di belakang. Hujan yang mulai turun membuatnya basah, tapi dia tak peduli. Di sana, di bawah pohon rindang, kakeknya sudah menunggu dengan jaket tebal yang membungkus tubuhnya.
"Zee, kamu datang juga," ucap kakeknya dengan suara lembut.
Zaira tersenyum tipis, sebuah senyum yang hanya untuk kakeknya.
"Kenapa kamu selalu di sini, Kakek?" tanya Zaira.
"Karena aku tahu kamu butuh tempat untuk bernapas, tempat yang bisa menerima kamu apa adanya," jawab kakeknya.
Kakek Sedano, seorang pria paruh baya dengan mata penuh kasih, adalah satu-satunya orang yang memahami Zaira tanpa syarat. Dia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan kecil Zaira erat-erat.
"Aku tahu hidupmu sulit, tapi ingatlah, Zee. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira. Kakek percaya kamu akan jadi wanita hebat, seperti karakter yang dikatakan oleh hari kelahiranmu."
Zaira menatap kakeknya, merasakan hangat yang jarang ia dapatkan dari orang lain. Namun, hatinya tetap terasa berat. Ada rahasia yang belum pernah terungkap, sesuatu yang membuatnya merasa terasing bahkan dari keluarganya sendiri.
Keesokan harinya, sekolah menjadi pelarian lain untuk Zaira. Ia berjalan di koridor yang penuh dengan suara tawa dan canda teman-temannya. Tapi baginya, dunia itu terasa asing. Teman yang benar-benar mengerti dirinya sangat jarang.
Guru-gurunya menganggapnya pintar tapi pendiam. Mereka tidak tahu, di balik sikap dinginnya ada luka yang mendalam. Setiap kali pulang, ia harus menghadapi wajah dingin ibu dan tatapan penuh kebanggaan kakaknya.
Suatu siang, saat Zaira sedang duduk di perpustakaan sekolah, seorang teman baru mendekatinya. Namanya Arga, anak baru yang tenang dan ramah.
"Kamu sendiri saja, Zee?" tanya Arga dengan senyum ramah.
Zaira mengangguk pelan.
"Aku juga nggak banyak teman. Mau duduk bareng aku?" ajak Arga.
Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, Zaira merasa ada seseorang yang tidak menghakiminya. Mereka berbicara tentang buku, musik, dan mimpi-mimpi kecil yang tak pernah ia bagi dengan orang lain.
Namun, bahagia itu tak berlangsung lama. Saat pulang sekolah, Zaira melihat ibu dan Ayla berbicara dengan nada serius. Tatapan ibu berubah menjadi dingin saat melihat Zaira.
"Ayo pulang, Zee. Jangan bikin masalah," kata ibu dengan suara rendah tapi mengancam.
Zaira mengerti. Ia bukan bagian dari keluarga yang sebenarnya. Ia hanyalah beban yang harus disembunyikan.
Malam itu, Zaira kembali ke taman, menemui kakeknya. Ia menangis dalam pelukan pria tua itu, membiarkan semua luka yang tertahan keluar.
"Aku ingin hidup lain, Kakek. Aku lelah," bisiknya.
Kakek Sedano mengusap rambut cucunya dengan lembut.
"Kesulitan ini hanya sementara, Zee. Kamu punya kekuatan yang lebih besar dari yang kamu tahu. Jangan pernah menyerah."
Zaira mengangguk, mencoba menyerap kata-kata itu sebagai obat untuk hatinya yang terluka.
Namun, di balik ketenangan kakek Sedano, tersimpan rahasia besar yang belum pernah diungkap. Rahasia yang jika terbongkar, bisa mengubah seluruh hidup Zaira selamanya.
Dan babak baru dalam kehidupan Zaira-yang penuh dengan misteri, pengkhianatan, dan perjuangan-baru saja dimulai.