"Ihh, amit-amit! Fio takut sama ular. Kalo kucing Fio suka," katanya dengan lidah cadel yang mengundang senyum.
"Suka Fio, bukan cuka," koreksi sang kakak dengan tegas.
"Ihh, Kakak! Terserah Fio dong mau bilang apa!"
Dari dapur, Freya hanya bisa menggeleng sambil tersenyum kecil mendengar celoteh si kembar. Tangannya sibuk menyiapkan camilan dan dua gelas susu hangat untuk buah hatinya.
Freya Amalia. Seorang ibu muda berusia awal dua puluhan, dengan tinggi sekitar 160 cm, bermata cokelat hangat, dan rambut panjang yang selalu ia ikat kuda saat di rumah. Wajahnya manis, begitu memesona hingga tetangga dan teman kerjanya sering menjulukinya "Barfien"-karena wajahnya mirip dengan aktris ternama Thailand.
"Ayo, sayang, istirahat dulu. Minum susu dan makan camilan, ya," ucap Freya lembut sambil meletakkan nampan di meja.
"Yee... minum susu!" seru Fiona, langsung berlari menyambut.
"Hey, bantuin Kakak beresin dulu mainannya, dong!" panggil Fillio sambil menatap adiknya yang kabur begitu saja.
"Kakak sendiri aja deh! Fio mau minum susu!" jawab Fiona sembari nyengir, suara cadelnya membuat Freya tertawa kecil.
"Fiona, nggak boleh gitu, Sayang. Tadi kan mainnya berdua. Sekarang beresinnya juga harus sama-sama, ya."
"Tapi Fio udah haus, Mom..."
"Bantu Kakak dulu sebentar, baru kita minum susu bareng. Oke?"
Fiona menatap Freya, lalu mengangguk pelan. "Oke deh, Mom..."
Freya selalu berusaha adil. Meskipun kadang si kembar bertengkar atau menangis, ia tak pernah lelah menjadi penengah yang sabar. Mungkin capek, mungkin pusing, apalagi menghadapi Fiona yang selalu aktif, tapi kasih sayangnya tak pernah berkurang.
Si kembar adalah segalanya.
Untuk mereka, Freya rela melakukan apa saja-asal tetap di jalan yang benar. Ia bekerja di minimarket dekat rumah dan kadang menerima jasa mencuci pakaian tetangga untuk menambah penghasilan.
"Cuci tangan dulu, baru kembali ke sini ya," titah Freya, dan si kembar langsung menurut.
Fillio membiarkan adiknya lebih dulu ke arah Freya. Meski sering menggoda Fiona, Fillio sangat menyayangi adiknya. Jika Fiona dijahili anak tetangga, ia yang paling dulu maju membela.
Fillio, bocah empat tahun yang cerdas, cenderung tenang dan serius. Tapi jika bersama Freya dan Fiona, sisi hangatnya muncul. Ia juga cepat tanggap-kadang membuat Freya kewalahan menjawab semua pertanyaannya. Bahkan, ia sudah lihai memainkan ponsel ibunya.
Berbeda dengan Fillio, Fiona masih terbata menyebut beberapa huruf. Tapi justru itu yang membuatnya semakin menggemaskan. Meskipun sering jadi bahan godaan sang Kakak, Fiona tak pernah menyerah.
Setelah beres-beres, mereka duduk bersama menikmati camilan dan susu sambil menonton kartun favorit: Upin & Ipin.
"Mom... kapan kita jalan-jalan seperti Upin dan Ipin?" tanya Fiona sambil menatap TV.
"Kapan-kapan, ya Sayang. Sekarang belum ada pasar malam. Nanti kalau ada, Mommy pasti ajak kalian."
"Oh, gitu ya Mom..." Fiona mengangguk kecil.
"Mom," panggil Fillio, "Lio pernah lihat di TV, ada tempat bermain yang rame banget, banyak permainannya... apa ya namanya? Lio lupa."
"Seperti apa tempatnya?" tanya Freya, berusaha menebak.
"Ada yang naik turun, orang-orang pada teriak... kayak gini." Ia menggambarkan gerakan dengan tangannya.
"Ada juga yang seperti kapal... terus masuk gua..." lanjutnya dengan ekspresi serius.
Freya mengerutkan dahi. "Hmm... maksud Lio mungkin... Dufan?"
"Iya! Itu Mom! Dufan! Lio mau ke sana, boleh ya Mom?"
"Boleh, Sayang. Kapan-kapan kita ke sana, ya. Nanti Mommy ajak Mami Maret juga."
"Yay!" Fillio langsung bersorak girang.
"Mom, kenapa Mami Maret nggak ke sini hari ini?" tanya Fiona sebelum menyantap camilannya.
"Mungkin Mami Maret sedang sibuk, Sayang. Tapi nanti pasti-"
"Hai... hai... hai!"