"Papa," suaranya parau.
Tuan Aditya tersenyum, menepuk bahunya. "Kamu makin kuat, Nak. Dokter bilang besok udah bisa pulang."
Niko menarik napas dalam. Tangannya mengepal.
"Papa..."
"Ya?"
"Ada yang salah dengan tubuhku."
Tuan Aditya terdiam. Alisnya mengerut. "Maksudmu?"
Niko menunduk. Wajahnya memerah, tapi bukan karena malu melainkan marah pada dirinya sendiri.
"Alat vitalku... beda, Pa. Sejak aku sadar... dia enggak... dia enggak hidup. Sama sekali."
Hening panjang.
Tuan Aditya terdiam, wajahnya berubah kaku. Bukan syok, tapi seperti sedang menahan emosi yang rumit antara bingung, takut, dan menyangkal.
"Apa kamu yakin? Mungkin masih proses pemulihan-"
"Aku udah coba, Pa," potong Niko lirih. "Aku udah coba semua hal yang biasanya bikin... bangun. Tapi sekarang kayak... kosong. Mati rasa," ucap Niko sambil menatap pandangan kosong.
Tuan Aditya hanya terdiam dan mengangguk.
"Aku udah mencoba berkali-kali, sejak hari pertama bangun sampai sekarang sudah hari kelima. Mencoba menyentuh, menggoda, membayangkan, bahkan memaksa."
Tuan Aditya menghela napas berat. Ia berdiri, membelakangi anaknya, menatap jendela rumah sakit.
Beberapa jam kemudian...
Dokter masuk ke kamar dengan tablet di tangan, wajah penuh sopan tapi canggung.
"Mas Niko... kami sudah lakukan semua tes lanjutan. MRI, hormon, neurologi. Secara struktur... semua organ vital Anda sehat, tidak ada kerusakan pada testis, prostat, atau saraf pusat."
Niko mengangkat wajah. "Tapi?"
"Tapi secara fungsi... tubuh Anda tidak merespons terhadap stimulasi. Kami menyebutnya disfungsi ereksi permanen akibat trauma psikis dan neurologis jangka panjang."
"Permanen?" suaranya nyaris tak terdengar.
"Dalam kasus seperti Anda... peluang pemulihan alami sangat kecil. Kecuali ada keajaiban."
Hening. Lagi-lagi hening. Rasanya rumah sakit itu seperti kuburan.
Saat pintu tertutup, Niko memejamkan mata. Tenggorokannya kering.
"Pa..." katanya perlahan, "kalau aku enggak bisa jadi laki-laki utuh lagi... untuk apa aku hidup?"
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Tuan Aditya tak menjawab.
Jika dunia modern tak bisa menyembuhkan anaknya...
maka ia akan mencari dunia yang lain.
..
..
..
Tuan Aditya meletakkan sebuah map merah di atas meja. Di dalamnya, foto-foto kabur dan selembar print-out artikel dari blog tak dikenal.
'Ki Gedhang Tabib Sakti dari Selatan. Penyembuh misterius yang konon bisa menyembuhkan penyakit yang tak masuk akal... dengan syarat yang juga tak masuk akal.'
Mata Tuan Aditya menyipit. "Tabib?"
"Di desa terpencil di daerah Wonosobo. Orang-orang bilang, dia bukan hanya menyembuhkan... dia 'menyelaraskan jiwa dan tubuh'. Termasuk... kelaki-lakian."
Aditya menatap kertas itu, tak bicara.
Malam itu...
Tuan Aditya duduk di sisi ranjang Niko yang masih lemah.
"Ada seseorang yang perlu kita temui besok," katanya tenang.
Niko mengangkat alis.
"Bukan dokter. Tapi seseorang yang... bisa membantu dengan cara berbeda."
"Dukun?" Niko mencibir pelan.
"Tabib. Namanya Ki Gedhang," kata Aditya mantap. "Orang bilang dia bisa menyembuhkan apa pun... asal syaratnya dipenuhi."
Niko tertawa pendek pahit. "Papa serius?"
"Aku serius. Karena aku bukan cuma mau kamu hidup, Niko."
"Dan apa syaratnya?"
Aditya menatap putranya dalam-dalam. "Kita cari tahu langsung."
Di tengah malam, sebuah mobil SUV hitam melaju meninggalkan Jakarta. Di dalamnya, Niko duduk diam di samping ayahnya.
..
..
..
Mobil SUV yang mereka tumpangi berhenti di ujung jalan tanah berbatu. Dari sana, mereka harus melanjutkan dengan berjalan kaki melewati ladang kabut, sawah becek, dan suara jangkrik yang tak pernah berhenti.
Langit mendung, udara dingin menusuk tulang. Aroma tanah basah dan dupa samar-samar tercium dari kejauhan.
"Ini seperti cerita film horor," gumam Niko, nafasnya pendek.
Tuan Aditya tetap diam. Matanya lurus ke depan, langkahnya mantap.
Akhirnya mereka sampai.
Sebuah rumah kayu berdinding anyaman bambu berdiri tenang di tengah hutan kecil. Di depannya, berdiri seorang lelaki tua berambut panjang, berjubah kain kasar, dengan mata setajam pisau.
"Ki Gedhang?" tanya Tuan Aditya sopan.
Lelaki itu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil dan memutar badan.
Tanpa bicara, mereka mengikuti sang tabib masuk ke rumahnya.
Niko duduk. Kaku. Tidak nyaman.
Ki Gedhang menatapnya lama... seolah menembus jiwanya.
"Kamu yang baru sadar dari koma selama lima tahun," suaranya dalam, bergetar rendah. "Tubuhmu pulih, tapi jiwamu tercerai."
Niko menahan diri untuk tidak menyela. Tapi tatapan itu... membuatnya merasa telanjang.
"Ada penyumbatan antara hawa nafas dan hawa tanah. Di dunia lelaki, itu berarti kamu... mati, di bagian paling hidup."
Niko menelan ludah.
Tuan Aditya menyela, "Apa bisa disembuhkan?"
Ki Gedhang mengangguk pelan.
"Bisa. Tapi butuh syarat."
"Syarat apa?" Niko akhirnya angkat bicara.
Tabib itu menatapnya lama, lalu menjawab dengan tenang seperti membacakan takdir.
"Kamu harus menikahi seorang janda... yang masih perawan."
Hening. Suara jangkrik di luar pun seperti berhenti.
Tuan Aditya mengerutkan dahi. "Maaf... apa?"
"Janda yang belum tersentuh," lanjut Ki Gedhang. "Yang sudah halal... tapi tak pernah disentuh oleh suaminya. Hanya dengan menyatu dengannya, tubuh dan jiwamu akan selaras kembali."
Tuan Aditya mencoba menahan ekspresinya.
"Kenapa harus janda?" tanya Niko dengan nada tak percaya.
"Karena dia pernah jadi milik orang lain secara sumpah sakral agama dan negara, tapi tak pernah disentuh secara jasad. Dialah penjaga energi yang menggantung... penghubung antara dunia yang kamu tinggalkan, dan dunia yang harus kamu masuki."
Tabib itu menatap mereka berdua. Tajam. Tak bisa dibantah.
Niko tertawa kecil karena misi gila ini... baru saja menjadi nyata.
..
..
..
..
Meja kayu besar dibersihkan. Tirai ditutup. CCTV dimatikan. Hanya mereka di sana Tuan Aditya, Niko, dan pria paruh baya bernama Bayu, informan setia yang telah bekerja dengannya sejak zaman awal bisnisnya berdiri.
"Ini yang paling mendekati," kata Bayu pelan, meletakkan amplop cokelat di meja.
Tuan Aditya membuka isinya dengan cepat.
Di dalamnya ada lima lembar foto perempuan muda, lengkap dengan data pribadi: nama, usia, latar belakang keluarga, status, hingga catatan medis dan sosial.
Niko menatap setiap wajah dengan rasa tak percaya.
Ini gila. Benar-benar gila.
Bayu menunjuk satu foto.
"Yang ini, statusnya janda. Suaminya meninggal malam resepsi. Rumah sakit konfirmasi, tidak sempat melakukan hubungan intim. Wanita cerdas, latar belakang sederhana, lulusan beasiswa."
Tuan Aditya menyipitkan mata. "Berarti dia... perawan?"
Bayu mengangguk. "Secara hukum janda. Tapi secara biologis... belum pernah disentuh siapa pun."
Niko menatap wajah itu. Ia tidak mengenal gadis di foto tersebut. Wajahnya biasa.
Bayu menjawab singkat, "Akan saya laporkan setelah saya pastikan dia belum menikah lagi dan belum terikat siapa pun."
Tuan Aditya bersandar. Tangannya mengepal di atas meja.
"Temukan dia. Pastikan dia bersih. Dan... siapkan semua yang dibutuhkan."
Bayu mengangguk dan pergi tanpa suara
Salam Penulis
darkcom