"Sendirian?" ucap Tante Monica.
"Aku dengar ayahmu masuk rumah sakit. Dan kamu butuh banyak uang," lanjutnya.
Putra mengangguk pelan. "Apa Tante ada pekerjaan untukku?"
Senyum itu muncul di sudut bibir Monica. Tipis, menghantui.
"Tante bisa membantu membayar itu semua. Tapi kamu juga harus membantu Tante."
Putra mematung. Tenggorokannya kering.
"Apapun akan saya lakukan, Tante! Saya berjanji."
"Ada arisan," jawab Tante Monica setengah berbisik.
"Arisan?" Alis Putra terangkat.
"Tapi bukan arisan uang."
"Bukan uang? Jadi...?"
"Yah, benar sekali. Arisan... arisan bergilir brondong tampan sepertimu."
Putra mengerutkan dahi. "Maksud Tante... saya harus ngapain?"
"Kamu hanya perlu tampil rapi, menarik, tahu cara bersikap... dan menyenangkan. Para anggota Lingkaran Dalam akan menilaimu. Setelah itu, kamu akan tahu apa yang mereka harapkan."
Suasana berubah. Angin malam menyusup masuk ke warung kopi itu, membawa aroma kopi pahit dan keputusan pahit.
Putra tercekat. Tapi matanya tak bisa lepas dari bibir Monica, dari dadanya yang naik-turun, dari sorot matanya yang tak memberi pilihan selain tunduk atau tenggelam.
"Bagaimana, Putra? Apa kamu bersedia jadi... bagian dari arisan kami?"
Putra menelan ludah. Lalu berkata pelan, "Kalau itu bisa menyelamatkan keluargaku."
Monica tersenyum puas. Perlahan, dia menyentuh tangan Putra di atas meja. Hangat dan mengendalikan.
"Besok pagi-pagi kita berangkat ke Jakarta. Kamu akan aku perkenalkan ke 'Lingkaran Dalam'. Dan di sana... mereka akan memilihmu."
..
..
..
..
Jam di dinding menunjukkan pukul 05.43 ketika dering pesan masuk dari Tante Monica mengakhiri kegelisahannya.
"Siap-siap. Kita berangkat jam 07.30. Pakai pakaian yang bersih dan rapi. Jangan banyak tanya."
Jam 07.29, sebuah mobil SUV hitam berhenti di ujung gang. Kaca belakang turun perlahan. Monica duduk di dalamnya dengan kacamata hitam dan wajah tanpa senyum.
"Masuk."
Putra membuka pintu mobil tanpa suara. Hatinya berdentam pelan.
Selama perjalanan, Monica tidak banyak bicara. Jalanan mulai lengang, dan Jakarta belum sepenuhnya bangun. Tapi udara dalam mobil itu terlalu dingin. Bukan karena AC, tapi karena hening yang berat. Seolah sedang menuju pengadilan yang belum tahu vonisnya.
"Tempat ini bukan sembarang tempat," kata Monica akhirnya, tanpa menoleh.
Putra hanya menatap ke luar jendela.
"Kamu akan bertemu beberapa wanita penting. Mereka bukan artis, tapi lebih berkuasa dari apa pun yang kamu bayangkan. Mereka bisa membuatmu kaya dalam semalam. Tapi juga bisa membuangmu seperti sampah kalau kamu tidak tahu diri."
Putra mengepal tangannya di atas lutut. "Tante... aku masih belum ngerti. Aku harus ngapain sebenarnya?"
Monica menghela napas. "Kamu hanya perlu jadi... laki-laki."
Putra menoleh dengan ragu.
"Laki-laki yang tahu kapan harus diam, kapan harus menyenangkan, dan kapan harus menyerahkan sesuatu tanpa bertanya terlalu banyak."
..
..
..
..
Mobil berhenti.
Vila itu menjulang dengan pagar besi hitam dan ornamen emas di setiap sudutnya. Bukan seperti rumah. Lebih seperti... tempat ibadah bagi orang yang menyembah kuasa dan hasrat.
"Turun," kata Monica.
Putra membuka pintu dengan tangan bergetar. Entah karena dingin, gugup, atau karena tubuhnya mulai sadar bahwa apa pun yang akan ia hadapi... tidak akan bisa diulang.
Gerbang terbuka pelan.
Dan di baliknya adalah dunia yang akan mencopot nama keluarganya... satu huruf demi satu huruf.
..
..
..
..
Putra melangkah masuk ke dalam vila, diiringi suara langkah sepatunya yang terasa terlalu keras di lantai marmer putih.
Udara di dalam ruangan berbeda. Tidak panas, tidak dingin. Tapi penuh aroma mawar tua dan kayu manis yang menusuk halus ke saraf. Seolah tubuhnya dipaksa rileks, tapi pikirannya tetap terjaga.
"Jangan bicara. Jangan banyak bergerak. Biarkan mereka mengamati," bisik Monica sambil melepas kacamatanya.
Putra berdiri kaku di dekat pilar besar yang menyangga langit-langit ruang tamu mewah itu. Lampu gantung kristal berkilauan di atas kepalanya. Musik lembut mengalun. Suara piano klasik menyatu dengan keheningan yang mengintimidasi.
Lalu muncul tiga wanita dari balik koridor.
Langkah mereka pelan tapi mantap. Tidak tergesa. Tapi setiap gerakan seolah dirancang untuk menunjukkan kendali. Mereka mengenakan gaun malam meski ini masih pagi. Mewah, berpotongan tajam, dan sangat pas di tubuh.
Putra menahan napas.
Yang pertama mendekat. Rambut pendek bergelombang, lipstick merah gelap. Ia menatap Putra dari kepala hingga kaki seperti sedang menilai barang lelang.
"Jadi ini anak barumu?" tanyanya. Suaranya dalam, hampir seperti nyanyian yang dingin.
Monica mengangguk pelan. "Namanya Putra. Sembilan belas tahun. Latar belakang keluarga menengah ke bawah. Ayahnya sakit keras. Dan ya, dia sedang dalam posisi mudah dibentuk."
Tante Jessy tersenyum puas. "Bagus. Yang rapuh biasanya paling enak ditanam loyalitas."
Wanita kedua, lebih tua dan berisi, tersenyum miring. "Pernah disentuh?" tanyanya tajam.
Putra menoleh cepat ke Monica. Tapi wanita itu hanya tersenyum simpul.
"Belum. Masih bersih," jawab Monica.
Ketiga wanita itu tertawa kecil. Suara tawa yang tidak hangat. Lebih seperti senang menemukan mainan baru yang belum pernah dibuka bungkusnya.
Putra ingin bicara, ingin bertanya, ingin pergi. Tapi tubuhnya terasa beku. Hanya matanya yang bisa bergerak, menatap mereka satu per satu, mencoba membaca motif di balik senyum manis dan tatapan menusuk itu.
Wanita pertama maju satu langkah. Ia mendekat hingga jarak napas. Tangannya terulur, menyentuh dagu Putra. Mengarahkannya menatap lurus ke matanya.
"Kamu tahu," bisiknya, "laki-laki muda seperti kamu... lebih enak ketika mereka masih takut."
Putra menahan napasnya.
"Karena dari ketakutan itulah... muncul rasa tunduk yang paling murni."
Ia menarik jarinya pelan dari dagu Putra. Lalu menyapukan ujung kukunya ke bawah dagu, leher, dan berhenti di dada kemeja yang berkancing.
"Tenang," katanya lembut. "Kami tidak memperkosa. Kami hanya membuka pintu. Kamu yang memilih masuk... atau tetap berdiri di pintu."
Monica tersenyum dari belakang. "Ingat, Putra. Satu malam saja bisa membayar seluruh tagihan rumah sakit ayahmu."
"Dan malam ini," lanjut Monica, "adalah malam penilaian. Jika mereka menyukaimu, kamu akan dibagi dalam sistem arisan. Kamu bisa memilih untuk pergi... tapi kamu tidak akan dapat kesempatan kedua."
Putra menatap udara dengan tatapan kosong.
"Kalau saya ikut," bisik Putra, "apa keluarga saya akan aman?"
Monica tersenyum pelan. "Lebih dari aman. Mereka tidak akan pernah tahu kamu dibeli dengan harga rasa sakit."
Putra menunduk. Ia tidak menjawab. Tapi detak jantungnya mulai mengikuti ritme yang bukan miliknya.
..
..
..
..
Ruang utama vila itu telah berubah menjadi panggung elegan.
Beberapa wanita duduk di sofa-sofa mewah, dengan gelas anggur di tangan dan sorot mata tajam yang menilai. Mereka semua tampil anggun. Tapi ada sesuatu yang buas di balik tatapan mereka. Seolah malam ini bukan pesta, tapi lelang tersembunyi.
Monica berdiri di tengah ruangan, tersenyum ringan saat Putra muncul.
"Malam ini kamu hanya perlu menjadi dirimu sendiri... versi yang mereka suka," bisiknya di telinga Putra.
"Duduklah di tengah ruangan."
Putra duduk. Semua mata menoleh ke arahnya.
"Namanya Putra," ucap Monica lantang. "Umur sembilan belas tahun. Belum terjamah. Latar belakang bersih. Tapi bukan polos. Dia tahu dunia tidak adil, dan dia siap dibentuk."
Seorang wanita dengan rambut putih keperakan berusia mungkin lima puluhan berdiri. Wajahnya tetap tajam. Langkahnya pelan tapi pasti. Ia duduk di samping Putra.
"Pernah merayu wanita lebih tua darimu, Putra?" tanyanya sambil memainkan gelang emas di pergelangan tangannya.
Putra menggeleng pelan. "Belum, Nyonya."
"Bagus." Ia tersenyum samar.
Satu per satu, wanita-wanita itu mendekat. Masing-masing dengan caranya sendiri. Ada yang hanya duduk di hadapan Putra, menatapnya tanpa berkedip. Ada yang menyentuh rambutnya.
Malam berubah menjadi ajang seleksi yang tak terucap.
Salah satu dari mereka Tante Jessy berdiri dan menyentuh dagu Putra sekali lagi.
"Kamu tahu kenapa kami tertarik pada anak-anak seperti kamu?"
Putra hanya menatapnya dalam diam.
"Karena kalian masih bisa diajari... mana rasa, mana harga."
Tertawa kecil terdengar dari sudut ruangan. Tawa tipis, tanpa belas kasihan.
Monica akhirnya bicara. "Cukup. Malam ini hanya penilaian awal. Besok, kita akan tahu siapa yang tertarik 'mengadopsi' Putra."
Putra menunduk.
Di dalam dirinya, satu bagian kecil masih berteriak untuk lari. Tapi bagian lainnya... mulai penasaran akan rasa dibutuhkan oleh wanita-wanita yang bahkan tak bisa disentuh oleh pria-pria seumur ayahnya.
Dan rasa penasaran itulah... yang mulai merusak moral paling dasar dari seorang anak lelaki bernama Putra.
Salam Penulis
darkcom