/0/24755/coverbig.jpg?v=ee86e12aaace1fe2856d40a7f59d7812)
Kisah tak biasa, sangat menegangkan dan menguras emosi.
Kisah tak biasa, sangat menegangkan dan menguras emosi.
Udara sore Kota Semarang terasa seperti selimut hangat yang menenangkan. Langit masih menyisakan biru lembut, meski waktu mulai beringsut menuju senja.
Di sebuah rumah makan bergaya kolonial yang disewa khusus untuk tertawa dan bernostalgia, musik lawas terdengar mengalun membawa siapapun pada kenangan yang tak pernah kehilangan indahnya. Lampu-lampu terang dan temaram berpadu menyemarakan suasana.
Buatku, reuni ini bukan sekadar temu kangen. Ini adalah perayaan usia, perjalanan panjang, dan kenangan yang tak bisa diulang tapi terus hidup dalam ingatan. Kami rata-rata sudah menginjak usia senja. Beberapa rambut mulai memutih, langkah melambat, suara tidak lagi sekuat dulu. Tapi satu hal tetap sama: kami anak-anak SMA angkatan 1990 yang untuk satu malam ini saja kembali jadi remaja.
"Eh, itu Darma ya? Ya ampun, masih inget jalan ke Semarang rupanya!" seru seorang pria berkemeja batik sambil memelukku erat.
Aku tersenyum lebar. Lelah dari perjalanan panjang Jakarta–Semarang masih terasa di badan, tapi ada semangat yang menyala di dalam dada. "Dua puluh tahun, Pakdhe... terakhir aku datang reuni di Jakarta tahun 2005."
Tawa meledak di sekitar kami.
"Masih inget juga tah? Yang kita nyanyi bareng di atas panggung itu-suaramu fals setengah mati!" celetuk seorang perempuan berjilbab ungu-bekas ketua kelasku dulu.
Aku tertawa malu. "Kalau sekarang disuruh nyanyi, baru tarik napas aja udah ngos-ngosan."
Meja-meja dipenuhi cerita tentang anak-anak yang sudah menikah, tentang masa pensiun yang mendekat bahkan sudah tiba, tubuh yang mulai sering 'protes' diam-diam. Tentang cucu-cucu yang melelahkan tapi juga jadi alasan bangun lebih pagi. Tawa tetap mengisi ruang, meski lebih lembut; candaan tetap hangat, meski tak lagi disambut tenaga yang sama.
Ada yang datang bersama pasangan, ada yang sendiri. Ada yang tetap langsing, ada yang berubah bentuk. Tapi tak ada yang peduli. Malam ini, kami semua sepakat: kami sedang menjadi remaja lagi. Remaja yang dulu pernah menertawakan dunia sambil menggambar masa depan dengan tangan yang ceroboh tapi penuh semangat.
Aku baru saja selesai menyendok es buah ketika mataku menangkap sosok asing tapi familiar. Di sudut taman belakang, di antara keramaian, duduk seorang pria sendiri. Topi lebar warna krem bertengger di kepalanya, mencolok di antara batik-batik yang lebih formal. Wajahnya teduh... tapi getir.
Aku menyipitkan mata. Ada sesuatu yang kutahu dari wajah itu.
Perlahan aku mendekat, menapaki batu-batu kecil. Pria itu mengangkat wajah saat aku hampir sampai.
"Joko Al-Gibrani?"
Senyumnya muncul kecil. Seperti senyum luka yang belum benar-benar sembuh. "Darma, Jakarta belum bikin kamu lupa wajah teman lamamu ini, ya?"
Aku tertegun. Lalu tertawa, dan memeluknya. "Astaga, Joko! Kamu ke mana aja? Terakhir kita sebangku itu... kelas satu!"
"Ya, setelah itu kamu jadi anak IPA yang sibuk mikir rumus, dan aku... anak Bahasa yang sibuk melamun," balasnya ringan.
"Ngaku aja, kamu sering bolos buat nulis puisi di taman belakang sekolah, kan?"
"Puisi itu perlawanan, Darma," katanya dramatis, sambil merapikan topinya. "Dan kadang, perlawanan harus disembunyikan."
Aku tersenyum setengah geli. Nama Joko Samudro atau biasa disapa Joko Al-Gibrani, tak asing di berbagai artikel opini dan forum sastra daring. Penyair yang dikenal tajam, radikal, bahkan pernah dianggap berbahaya hingga dipantau oleh rezim penguasa. Tapi malam ini, dia tampak seperti lelaki yang sudah kelelahan.
"Masih nulis?" tanyaku lagi.
"Masih," katanya, menatap langit yang mulai gelap. "Meski sekarang dunia lebih suka meme daripada metafora."
Kami terus berbincang ringan. Tentang guru-guru favorit, kelas IPS yang suka bolos, hingga dunia yang makin keras bagi mereka yang terlalu peka. Aku sempat mengajaknya bergabung dengan teman-teman lain, tapi dia tetap memilih menyendiri. Duduk diam di sudut, seperti puisi yang belum selesai ditulis.
"Ngobrol apa tadi sama si Joko?" tanya Juna, temanku yang kini tinggal di Bandung.
"Ya... masa lalu. Tapi dia aneh juga, ya? Kayak ogah gabung. Mentang-mentang penyair, jadi harus menyendiri gitu?"
Juna terkekeh. "Mungkin bukan karena penyair. Tapi karena merasa dihakimi semesta."
Aku menoleh. "Maksudnya?"
"Dia menghamili dan menikahi mantan menantunya," bisik Juna.
Sunyi mendadak turun. Angin malam lewat seperti membawa rahasia.
"Maksudnya?" bisikku.
"Lastri pernah menikah sama Duta, anaknya Joko. Lima tahun gak punya anak, katanya Duta mandul. Mereka cerai. Tapi beberapa bulan kemudian, Lastri hamil. Awalnya orang mikir rebound, atau selingkuh. Ternyata Joko, mantan mertuanya yang menghamilinya."
Dunia di sekitarku seperti menahan napas.
"Menikah karena terlanjur hamil?"
Juna mengangguk. "Katanya begitu yang aku dengar selentingan. Tahu sendirilah dia kan introvert. Susah diajak komunikasi, bahasa berbelit-belit ala sastrawan."
Aku menoleh ke taman. Joko masih di sana. Duduk seperti patung dalam lukisan yang warnanya memudar. Dulu dia menggugat dunia lewat puisi. Kini... jadi cerita yang bahkan mungkin bagi sebagian orang terlalu ganjil untuk fiksi, namun tidak terlalu buatku.
"Ini bukan bagian dari novel kan, Jun," gumamku.
"Kisah nyata yang ditulis sendiri oleh takdir. Dan Joko, menulisnya sengaja menghapus batas-batas moral antara nyata dan absurd."
Aku menarik napas panjang. Lampu-lampu taman menyala temaram. Seperti ingin menerangi luka yang disembunyikan dalam diam oleh Joko.
Selang beberapa jam kemudian, Reuni pun berakhir begitu saja. Satu per satu teman angkatan berpamitan dengan pelukan singkat, lambaian tangan, dan janji-janji klise yang dilemparkan sambil tertawa, "Jangan nunggu reuni 10 tahun lagi, ya!"
Udara malam terasa sedikit lebih sunyi saat mereka benar-benar bubar. Di pelataran rumah makan, aku berdiri sendirian, menyaksikan mobil teman-temanku yang pergi satu per satu, seperti bab terakhir dalam buku tua yang akhirnya ditutup.
Beberapa orang masih sempat berfoto terakhir, tertawa meski semangatnya mulai menurun. Sisanya sibuk mencari kunci mobil atau berdebat dengan Google Maps. Kota mulai hening. Suasana berubah seperti habis pesta-keramaian yang mendadak padam, menyisakan semacam kehampaan yang sulit dijelaskan.
Langkahku terasa berat saat kembali menyusuri jalan setapak menuju taman belakang. Lampu-lampu kecil di sepanjang taman memantulkan cahaya kuning pucat di atas rumput yang mulai basah embun. Udara malam mendingin.
Joko masih di sana. Duduk sendiri, masih dengan topi krem yang kini sedikit miring, menutupi sebagian wajahnya. Satu-satunya yang tak berubah dari tadi adalah ekspresinya: sepi, dan seakan pasrah menjadi bagian dari latar.
Aku berdiri di hadapannya tanpa bicara. Beberapa detik berlalu sebelum ia mendongak.
"Kukira kamu sudah pulang, Darma," katanya lirih, nyaris seperti gumaman angin.
"Aku akan menghabiskan waktu beberapa hari di kota ini, kangen." jawabku. "Tapi... malam ini ada yang belum selesai..."
Ia menepuk bangku di sampingnya pelan, mengundangku tanpa kata. Maka aku pun duduk di sana.
"Lastri," kataku akhirnya. Bukan pertanyaan. Bukan tuduhan. Hanya nama yang dibiarkan melayang di antara kami.
Joko tertawa kecil. Bukan tawa gembira. Lebih seperti seseorang yang tahu ia sedang menapaki jalan yang tak bisa dibela, tapi juga tak bisa disangkal.
"Juna cerita, ya?" tanyanya.
Aku mengangguk, "Sedikit," jawabku menunggu dia yang bicara lebih banyak.
"Dunia ini aneh, Darma. Kita bisa menulis ratusan puisi dan prosa tentang cinta dan moral, tapi kenyataan cuma butuh satu malam untuk mengacaukan semua itu."
"Kenapa bisa begitu, Jok?" Suaraku pelan.
Ia menarik napas panjang. Jemarinya bermain-main di tepi bangku, seperti menulis huruf-huruf yang tak kasat mata.
"Awalnya cuma pelarian. Dia hancur setelah bercerai dengan Duta. Aku juga kesepian karena istriku terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Rumahku sering kosong, Lastri kadang datang menemani. Dan dua orang yang terluka, ketika bersama, kadang lebih jujur dari dua orang utuh yang pura-pura baik-baik saja."
"Tapi dia mantan menantumu, Jok?"
"Aku tahu itu," katanya cepat. "Setiap hari aku tahu. Setiap pagi aku merasa seperti... mayat hidup yang tersesat dalam tubuh sendiri. Namun setidaknya saat aku bersamanya, Lasti sudah bukan istrinya Duta lagi."
Kami terdiam. Angin berdesir pelan. Di kejauhan, suara serangga malam mengisi celah sunyi.
"Apa kamu mencintai Lastri?" tanyaku akhirnya.
Joko memejamkan mata sebentar. "Cinta itu kata yang terlalu bersih untuk apa yang terjadi di antara kami. Tapi... ada rasa ingin melindungi. Dan mungkin rasa bersalah yang berubah jadi ketergantungan."
Aku menatap tanah. "Lalu kenapa menikahinya?"
Dia menatapku lurus. "Karena dunia tidak menerima anak terlahir tanpa ayah, kecuali Nabi Isa."
Aku menoleh, menatap wajahnya. Di balik kelelahan, aku melihat sekelebat luka yang tidak sedang meminta maaf-hanya minta dimengerti bahwa luka itu ada.
"Dan anaknya?" tanyaku.
"Lahir lima bulan yang lalu, sehat dan normal," jawabnya, suara nyaris retak. "Namanya Langit. Aku tidak tahu apakah dia kutukan... atau justru anugerah dan pengampunan yang tak pantas kudapat."
Aku terdiam. Kata-katanya penuh metafora dan tersangkut di kepalaku. Dunia terasa terlalu rumit untuk dijelaskan hanya dengan kata 'baik' dan 'buruk' semata.
"Aku tidak mintamu setuju dengan semua perbuatanku, Darma. Atau membelaku. Tapi aku tahu... aku harus tetap ada untuk Langit anakku. dan Lastri istriku."
Aku mengangguk pelan. Mengerti bahwa di titik ini, tak dibutuhkan lagi penilaian orang lain tentang baik dan buruk.
Joko berdiri, lalu menatap langit yang kelam.
"Aku tahu aku bukan lagi penyair. Tapi kadang... puisi yang paling jujur adalah hidup itu sendiri. Sekacau apapun bait-baitnya."
Ia menoleh padaku. Senyum tipis, rapuh tapi nyata.
"Terima kasih sudah datang kembali, Darma. Itu lebih dari cukup. Setidaknya aku sudah bicara jujur pada seorang kawan lama," pungkasnya, lalu berjalan pergi, menyusuri jalan setapak yang tadi kulewati.
Aku melihat punggung Joko yang menjauh. Dan saat itu aku tahu-kadang kejujuran memang tidak memerdekakan, tapi paling tidak, ia berhenti membunuh dari dalam.
Aku tetap duduk. Mendadak sadar bahwa malam ini, yang terasa asing bukan hanya Joko... tapi diriku sendiri juga semesta yang terlalu sunyi untuk diceritakan sepenuhnya.
Beberapa menit kemudian aku keluar dan berjalan menuju hotel yang berjarak tak lebih dari 100meter. Tangan masuk ke saku celana, langkahku tenang tapi berat.
Dalam sunyi yang menggantung di antara lampu-lampu jalan, aku sadar, aku tidak lebih baik dari Joko. Bahkan aku tak akan pernah berani jujur seperti Joko dalam hal mengakui segalanya. Termasuk bergulatan kelamku dengan Rika, menantuku.
Sebenarnya Rika bukan menantuku secara garis darah, dia istri Andy, anak angkatku. Tapi apa yang kami lakukan selama ini tak bisa dikatakan benar. Tidak cukup untuk membuat aku dan dia dikatakan bersih, bahkan setelah anak kami terlahir.
Aku tidak ingin menghakimi Joko. Karena aku tahu, pada akhirnya, kita semua punya lorong gelap masing-masing. Dan tidak semua orang sanggup menyalakan lampu di sana. Mungkinkah suatu hari nanti aibku akan terbuka seperti aibnya Joko?
Entahlah.
Kota Semarang semakin malam, aku tiduran di kamar hotel dengan mata terbuka, ingatanku melayang pada guratan aib yang kelam yang terjadi pada diriku dan Rika.
Ketika itu, pada suatu pagi....
^*^
Raina terlibat dengan seorang tokoh besar ketika dia mabuk suatu malam. Dia membutuhkan bantuan Felix sementara pria itu tertarik pada kecantikan mudanya. Dengan demikian, apa yang seharusnya menjadi hubungan satu malam berkembang menjadi sesuatu yang serius. Semuanya baik-baik saja sampai Raina menemukan bahwa hati Felix adalah milik wanita lain. Ketika cinta pertama Felix kembali, pria itu berhenti pulang, meninggalkan Raina sendirian selama beberapa malam. Dia bertahan dengan itu sampai dia menerima cek dan catatan perpisahan suatu hari. Bertentangan dengan bagaimana Felix mengharapkan dia bereaksi, Raina memiliki senyum di wajahnya saat dia mengucapkan selamat tinggal padanya. "Hubungan kita menyenangkan selama berlangsung, Felix. Semoga kita tidak pernah bertemu lagi. Semoga hidupmu menyenangkan." Namun, seperti sudah ditakdirkan, mereka bertemu lagi. Kali ini, Raina memiliki pria lain di sisinya. Mata Felix terbakar cemburu. Dia berkata, "Bagaimana kamu bisa melanjutkan? Kukira kamu hanya mencintaiku!" "Kata kunci, kukira!" Rena mengibaskan rambut ke belakang dan membalas, "Ada banyak pria di dunia ini, Felix. Selain itu, kamulah yang meminta putus. Sekarang, jika kamu ingin berkencan denganku, kamu harus mengantri." Keesokan harinya, Raina menerima peringatan dana masuk dalam jumlah yang besar dan sebuah cincin berlian. Felix muncul lagi, berlutut dengan satu kaki, dan berkata, "Bolehkah aku memotong antrean, Raina? Aku masih menginginkanmu."
Kirani dipaksa menikah dengan Devon, seorang preman terkenal. Adik perempuannya mengejeknya, "Kamu hanya anak angkat. Nasibmu benar-benar sial karena menikah dengannya!" Dunia mengantisipasi kesengsaraan Kirani, tetapi kehidupan pernikahannya ternyata disambut dengan ketenangan yang tak terduga. Dia bahkan menyambar rumah mewah dalam undian! Kirani melompat ke pelukan Devon, memujinya sebagai jimat keberuntungannya. "Tidak, Kirani, kamulah yang memberiku semua keberuntungan ini," jawab Devon. Kemudian, suatu hari yang menentukan, teman masa kecil Devon mendatanginya. "Kamu tidak layak untuknya. Ambil seratus miliar ini dan tinggalkan dia!" Kirani akhirnya memahami perawakan sejati Devon, orang terkaya di planet ini. Malam harinya, gemetar karena gentar, dia membicarakan masalah perceraian dengan Devon. Namun, dengan pelukan yang mendominasi, pria itu mengatakan kepadanya, "Aku akan memberikan semua yang kumiliki. Perceraian tidak bisa dilakukan!"
Kulihat ada sebuah kamera dengan tripod yang lumayan tinggi di samping meja tulis Mamih. Ada satu set sofa putih di sebelah kananku. Ada pula pintu lain yang tertutup, entah ruangan apa di belakang pintu itu. "Umurmu berapa ?" tanya Mamih "Sembilanbelas, " sahutku. "Sudah punya pengalaman dalam sex ?" tanyanya dengan tatapan menyelidik. "Punya tapi belum banyak Bu, eh Mam ... " "Dengan perempuan nakal ?" "Bukan. Saya belum pernah menyentuh pelacur Mam. " "Lalu pengalamanmu yang belum banyak itu dengan siapa ?" "Dengan ... dengan saudara sepupu, " sahutku jujur. Mamih mengangguk - angguk sambil tersenyum. "Kamu benar - benar berniat untuk menjadi pemuas ?" "Iya, saya berminat. " "Apa yang mendorongmu ingin menjadi pemuas ?" "Pertama karena saya butuh uang. " "Kedua ?" "Kedua, karena ingin mencari pengalaman sebanyak mungkin dalam soal sex. " "Sebenarnya kamu lebih tampan daripada Danke. Kurasa kamu bakal banyak penggemar nanti. Tapi kamu harus terlatih untuk memuaskan birahi perempuan yang rata - rata di atas tigapuluh tahun sampai limapuluh tahunan. " "Saya siap Mam. " "Coba kamu berdiri dan perlihatkan punyamu seperti apa. " Sesuai dengan petunjuk Danke, aku tak boleh menolak pada apa pun yang Mamih perintahkan. Kuturunkan ritsleting celana jeansku. Lalu kuturunkan celana jeans dan celana dalamku sampai paha.
"Aku menginginkanmu! Maka jadilah milikku! Aku tidak menerima penolakan!" Ucap Devien penuh penakanan. Mata Nindy sudah berembun. "Tolong! Tolong!" Nindy berusaha meminta tolong dengan berteriak sekuat tenanga. "Huuust! Simpan suaramu untuk mendesah, karena suaramu hanya akan terbuang sia-sia saja, kau tahu 'kan jika ruangan ini kedap suara, siapa yang akan mendengarmu hm?" Devien sekarang benar-benar di pengaruhi nafsu, gairahnya yang terpendam sudah menguar. baca selengkapnya di bawah ;)
Keseruan tiada banding. Banyak kejutan yang bisa jadi belum pernah ditemukan dalam cerita lain sebelumnya.
Siska teramat kesal dengan suaminya yang begitu penakut pada Alex, sang preman kampung yang pada akhirnya menjadi dia sebagai bulan-bulannya. Namun ketika Siska berusaha melindungi suaminya, dia justru menjadi santapan brutal Alex yang sama sekali tidak pernah menghargainya sebagai wanita. Lantas apa yang pada akhirnya membuat Siska begitu kecanduan oleh Alex dan beberapa preman kampung lainnya yang sangat ganas dan buas? Mohon Bijak dalam memutuskan bacaan. Cerita ini kgusus dewasa dan hanya orang-orang berpikiran dewasa yang akan mampu mengambil manfaat dan hikmah yang terkandung di dalamnya
© 2018-now Bakisah
TOP