ngat yang menenangkan. Langit masih menyisakan bir
algia, musik lawas terdengar mengalun membawa siapapun pada kenangan yang tak perna
terus hidup dalam ingatan. Kami rata-rata sudah menginjak usia senja. Beberapa rambut mulai memutih, langkah melambat, suara tida
alan ke Semarang rupanya!" seru seorang pr
ih terasa di badan, tapi ada semangat yang menyala di dalam dada. "Dua
ak di seki
panggung itu-suaramu fals setengah mati!" celetuk seo
rang disuruh nyanyi, baru tar
a, tubuh yang mulai sering 'protes' diam-diam. Tentang cucu-cucu yang melelahkan tapi juga jadi alasan bangun lebih
api tak ada yang peduli. Malam ini, kami semua sepakat: kami sedang menjadi remaja lagi. Remaja yang du
ut taman belakang, di antara keramaian, duduk seorang pria sendiri. Topi lebar warna krem berteng
. Ada sesuatu yang k
batu-batu kecil. Pria itu mengan
Al-Gib
g belum benar-benar sembuh. "Darma, Jakarta bel
nya. "Astaga, Joko! Kamu ke mana aja? T
sibuk mikir rumus, dan aku... anak Baha
los buat nulis puisi di ta
ramatis, sambil merapikan topinya. "Dan
artikel opini dan forum sastra daring. Penyair yang dikenal tajam, radikal, bahkan pernah dianggap berba
lis?" tan
g mulai gelap. "Meski sekarang duniag makin keras bagi mereka yang terlalu peka. Aku sempat mengajaknya bergabung dengan teman-teman lai
oko?" tanya Juna, temanku y
ya? Kayak ogah gabung. Mentang-mentang
an karena penyair. Tapi kar
leh. "Ma
menikahi mantan mena
Angin malam lewat se
nya?" b
Duta mandul. Mereka cerai. Tapi beberapa bulan kemudian, Lastri hamil. Awalnya oran
tarku seperti
rena terlan
ntingan. Tahu sendirilah dia kan introvert. Susah dia
rnanya memudar. Dulu dia menggugat dunia lewat puisi. Kini... jadi cerita yang bahka
n dari novel kan
ir. Dan Joko, menulisnya sengaja menghapus
n menyala temaram. Seperti ingin menerangi
an angkatan berpamitan dengan pelukan singkat, lambaian tangan, dan janji-janji
aran rumah makan, aku berdiri sendirian, menyaksikan mobil teman-temanku yang
buk mencari kunci mobil atau berdebat dengan Google Maps. Kota mulai hening. Suasana berubah sepe
n belakang. Lampu-lampu kecil di sepanjang taman memantulkan cahaya kun
t miring, menutupi sebagian wajahnya. Satu-satunya yang tak berubah dari t
npa bicara. Beberapa detik b
Darma," katanya lirih, ny
ari di kota ini, kangen." jawabku. "Tap
a pelan, mengundangku tanpa ka
tanyaan. Bukan tuduhan. Hanya nama y
rti seseorang yang tahu ia sedang menapaki jalan y
ita, ya?"
," jawabku menunggu dia
isi dan prosa tentang cinta dan moral, tapi kenyataa
begitu, Jok?"
ermain-main di tepi bangku, seperti m
alu sibuk dengan urusannya sendiri. Rumahku sering kosong, Lastri kadang datang menemani. Dan dua oran
antan menan
merasa seperti... mayat hidup yang tersesat dalam tubuh sendiri. Namun
elan. Di kejauhan, suara seran
ntai Lastri?" t
untuk apa yang terjadi di antara kami. Tapi... ada rasa ingin melin
ah. "Lalu kenap
nia tidak menerima anak terlahi
aku melihat sekelebat luka yang tidak sedang memi
aknya?"
nyaris retak. "Namanya Langit. Aku tidak tahu apakah dia kutukan
kut di kepalaku. Dunia terasa terlalu rumit untuk diDarma. Atau membelaku. Tapi aku tahu... aku harus
i titik ini, tak dibutuhkan lagi penil
alu menatap lan
ang... puisi yang paling jujur adalah hidu
u. Senyum tipis,
tidaknya aku sudah bicara jujur pada seorang kawan lama," pungkasny
aku tahu-kadang kejujuran memang tidak memerdekakan
rasa asing bukan hanya Joko... tapi diriku sendiri juga
ju hotel yang berjarak tak lebih dari 100meter. Tang
lebih baik dari Joko. Bahkan aku tak akan pernah berani jujur seperti Joko da
ku. Tapi apa yang kami lakukan selama ini tak bisa dikatakan benar. Tidak cukup
nya lorong gelap masing-masing. Dan tidak semua orang sanggup menyalakan lampu
ahl
tel dengan mata terbuka, ingatanku melayang pada gur
, pada sua
*